Ini tahun kelima aku tinggal di negeri empat musim. Aku datang ke negara ini untuk tujuan studi master yang sudah aku selesaikan sejak tahun lalu. Studiku di Eropa sepenuhnya atas biaya sendiri. Ibuku membiayai sepenuhnya kuliah dan hidupku di sini. Setelah studi selesai, keluargaku berharap aku bisa pulang kembali ke Indonesia. Mereka berharap aku bisa bekerja dan tinggal di Indonesia lagi.
Sebenarnya aku berharap aku bisa mendapatkan pekerjaan dan tinggal di negara asal studiku. Itu menjadi alasanku pada orang tuaku untuk tidak pulang langsung ke Indonesia setelah studi selesai. Apa daya Pandemi melanda seluruh dunia. Pandemi juga membuat banyak orang kehilangan pekerjaan dan juga krisis keuangan. Pandemi telah membuatku memiliki masalah mental.
Aku sudah tidak meminta bantuan keuangan orang tuaku lagi sejak aku bisa mendapatkan penghasilan sendiri di negeri yang aku tempati. Pekerjaan itu memang memberi aku uang untuk bertahan hidup di Jerman, tetapi pekerjaan itu berat sekali. Pekerjaan itu tidak hanya sulit secara fisik, tetapi juga secara mental juga.
Pada akhirnya aku harus keluar masuk Klinik untuk mengatasi keluhanku. Aku didiagnosa mengalami masalah depresi. Akibatnya aku memutuskan berhenti dari pekerjaan yang sudah dua tahun aku jalani. Aku harus menjalani perawatan mental di klinik secara rutin sampai sekarang. Selain itu, pekerjaan itu tak tepat untukku lagi yang kini tidak lagi menyandang mahasiswa.
Bagaimana caranya aku bertahan di tengah Pandemi? Bagaimana caranya aku bertahan hidup di negeri empat musim ini karena aku sudah kehilangan pekerjaan? Bagaimana caranya aku bertahan hidup di negeri asing yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari, sementara studiku berbahasa Inggris? Kemampuan bahasa lokalku tidak sebaik bahasa Inggris yang mudah buatku.
Mungkin banyak orang akan senang karena lulus studi, aku malahan bingung dan merasa insecure. Aku bingung dan kehilangan arah. Aku mulai khawatir bagaimana aku bertahan di negeri ini. Ini berawal dari diagnosa masalah mental yang aku alami, kemudian aku perlu mendapatkan perawatan rutin hingga aku khawatir dengan keuanganku. Aku tak punya pekerjaan dan tabungan.
Sehari-hari, aku mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah lokal di sini tetapi itu berarti tidak selamanya. Mereka sudah mulai memberikan peringatan agar aku segera mendapatkan pekerjaan. Itu sangat tidak mudah karena aku tidak tinggal di kota besar yang punya banyak peluang kerja untuk para Migran berbahasa Inggris sepertiku.
Aku mulai khawatir dengan hidupku di negeri asing ini karena batas visaku sebagai pencari kerja akan berakhir dalam hitungan bulan. Aku frustrasi dengan kondisi keuanganku karena semua terasa mahal dan berat buatku. Orang tuaku seolah-olah tidak peduli karena aku pun tidak patuh pada mereka untuk pulang ke Indonesia.
Aku tidak percaya diri dengan potensi hidupku karena banyak kali lamaran pekerjaan yang aku kirimkan kerap mendapatkan penolakan. Aku kehilangan arah setelah studiku selesai. Mungkin benar pepatah yang menyatakan: Hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang.
Aku seperti tak berani menatap masa depanku sendiri karena aku tidak punya rencana keuangan yang aku siapkan sebelumnya. Aku tak punya pekerjaan. Aku mengkhawatirkan isi dompetku karena biaya hidup di negeri orang tidak murah. Sementara kembali ke Indonesia, aku belum siap untuk menata kehidupanku lagi. Aku terlalu jatuh cinta dengan negeri ini, meski aku tak tahu bagaimana aku bertahan hidup.
Penulis: Anonim yang sudah lulus studi dan tinggal di negeri empat musim.