
Halo Sahabat Ruanita, namaku Amanda. Di tulisan ini aku mau bercerita tentang pengalamanku transaksi tanpa uang fisik di Cina, tempat aku tinggal sekarang ini.
Saat sampai di Cina pertama kali tahun 2021, aku kesulitan untuk belanja, bahkan membeli makanan di sini. Waktu itu aku, suamiku, dan kedua anak kami harus dikarantina selama tiga minggu di hotel tempat kami tinggal. Sayangnya hotel tersebut dan toko-toko tidak menerima uang fisik, padahal waktu itu kami hanya bawa uang Euro dan Yen saja, belum punya rekening bank Cina. Oh ya, sebelum tinggal di Cina, aku dan suami yang berkewarganegaraan Prancis tinggal di Jerman dan Prancis.
Karena sudah mendapatkan informasi tentang cashless dari forum-forum ekspatriat di Cina, kami membawa tiga kardus popok dari Prancis untuk anak-anak kami yang waktu itu masih berumur di bawah tiga tahun. Makanan memang disediakan oleh catering perusahaan tempat suami kerja, tapi mau tidak mau kami harus makan yang disediakan. Kami tidak bisa memilih. Suamiku yang terbiasa makan roti, terpaksa harus makan nasi. Akhirnya, waktu itu suami pinjam uang ke koleganya yang sudah tinggal lebih lama di Cina dan sudah punya rekening bank Cina. Mereka kirim uang lewat WeChat dan kami ganti dengan Euro ke bank Prancis. Untungnya WeChat dan Alipay, aplikasi yang marak digunakan di Cina untuk transaksi keuangan, bisa digunakan meskipun tidak mempunyai rekening bank Cina.
Setelah selesai karantina, aku dan suami didampingi oleh orang dari agen yang ditunjuk oleh perusahaan suami untuk buka rekening bank di Cina. Di sini setiap orang hanya diperbolehkan punya satu rekening. Pembuatan rekening bank juga mudah, hanya perlu paspor dan surat registrasi tempat tinggal dari kepolisian. Setoran pertama di bank juga tidak perlu banyak. Aku pernah melihat orang-orang tua menyetor uang berkoper-koper atau kantong plastik. Itu masih bisa. Untuk mengambil uang harus dari ATM, tidak bisa di bank langsung. Di ATM tidak hanya untuk mengambil saja, tetapi juga menyetor uang. Nah, registrasi aplikasi seperti WeChat dan Alipay lebih ribet dibandingkan membuat rekening bank. Kami harus memasukkan sumber uang, misalnya rekening bank kami. Paspor, juga harus diverifikasi dengan foto dan scan muka.
Selama hampir dua tahun tinggal di sini, aku mungkin memegang uang hanya 2-3 kali saja, karena itu memang sangat jarang sekali harus pakai uang tunai. Bahkan untuk belanja di pasar tradisional juga memakai aplikasi meskipun pedagangnya orang tua. Aplikasi-aplikasi tersebut juga menggunakan speaker. Setelah kita telah membayar, di hape pedagang akan bunyi, „Anda mendapatkan transaksi uang sebesar 57 yuan“, misalnya. Itu suaranya kencang sekali dan orang-orang di sekitar kami jadi ikut mendengar. Istilah data privacy tidak dikenal di sini.
Aku melihat di sini semua orang dipaksa untuk memahami dan menggunakan cashless. Semua orang harus punya dan bisa pakai hape. Begitu juga dengan orang-orang tua, mereka dipaksa untuk memahami kehidupan sekarang. Banyak orang tua yang menghambat transaksi di kasir karena mereka tidak paham menggunakan hape dan aplikasinya. Di beberapa toko atau restoran, masih ada yang memperbolehkan bayar tunai, walaupun penjual tampaknya tidak senang. Bisa jadi, mereka tidak punya uang tunai untuk kasih uang kembalian ke pembeli. Ini juga yang membuat kesulitan untuk turis-turis yang datang.
Sebelum pindah ke Cina, kami sering baca-baca di forum untuk expat di Cina. Banyak saran untuk mengenal dan bisa menggunakan hape sendiri dulu. Begitu kita turun dari pesawat, QR code ini juga sudah dipakai di bandara di sini. Dulu aku tidak mengerti bagaimana cara scan QR code, aku baru mengetahuinya di sini karena semua harus bisa. Awal tinggal di sini rasanya aku ingin melempar hape. Selain aku tidak mengerti bahasanya, aku tidak tahu menggunakan aplikasi. Kalau aku mau transaksi di toko ada dua cara yakni: aku yang scan QR code mereka atau sebaliknya. Memang sih, cashless memberikan kemudahan dalam bertransaksi, tetapi rasanya seperti dikontrol gadget. Kalau kita tidak mengerti, tidak punya gadget, atau hape mati maka kita akan „lost“. Kita tidak bisa melakukan apa pun. Kita tidak bisa sewa sepeda, tidak bisa naik kereta atau taksi. Kita nothing tanpa hape di sini.
Aku menggunakan kedua aplikasi yang tersedia, yaitu Alipay dan WeChat, karena terkadang ada toko online yang hanya menggunakan salah satunya. Mirip dengan aplikasi GoPay di Indonesia. Sesama aplikasi juga bisa mengirimkan uang dengan gratis. Hanya saja, orang tidak bisa mengirimkan uang dari satu aplikasi ke lainnya. Misalkan, aku mau mengirim uang dari WeChat ke Alipay. Aku harus mengirim uang dulu dari WeChat ke bankku, lalu dari sana baru aku mengirim ke Alipay. Itu lebih ribet dan ada biaya 0,1% untuk setiap transaksi transfer uang dari aplikasi ke rekening bank, sedangkan transfer uang dari bank ke aplikasi gratis. Gaji suamiku masuknya ke rekening bank dia di Prancis. Jadi suami harus transfer uangnya dari bank Prancis ke bank Cina, lalu ke aplikasi. Karena aku tidak bekerja di sini, suami mengirimkan uang dari aplikasinya ke aplikasiku. Cara lain, dia mengirimkannya dari rekening bank Cina, lalu ke aplikasiku. Itu bukan masalah karena uangnya bisa dikirim lewat aplikasi.
Sejak tahun 2022, anakku yang paling besar masuk ke PAUD (=Pendidikan Anak Usia Dini) di sini. Untuk membayar uang sekolahnya, kita harus langsung membayarnya satu tahun yang dibayar lewat WeChat. Misalnya, aku membayar uang sekolah anak 1000 yuan per bulan maka kami harus transfer uang langsung 12.000 yuan. Waktu itu, untungnya aku bisa menegosiasikan dengan kepala sekolah, karena kami tidak bisa mengirimkan uang langsung sebanyak itu dalam sekali. Transfer dari bank Prancis ke Cina juga cuma gratis lima kali. Akhirnya, kami bisa menyicil tiga kali dalam sebulan. Tahun 2022, itu masih lockdown. Jadi, anakku sebenarnya cuma sekolah tiga bulan. Pada tahun ini, dia melanjutkan sekolah di sana dan adiknya juga juga ikut sekolah di sana juga sehingga kami hanya membayar kekurangannya saja. Istilahnya kami sudah mempunyai saldo di sana. Rencananya bulan Juli tahun ini, kami akan kembali ke Eropa. Nanti uang sisanya itu bisa di-refund ke WeChat kami. Kami sudah wanti-wanti ke pihak sekolah untuk mengirimkan uangnya tepat waktu, karena kami juga akan menutup rekening bank Cina.
Ada kejadian menarik di PAUD anakku. Pihak sekolah mengadakan bazar kecil-kecilan untuk anak-anak sebagai latihan. Harga barangnya juga murah, hanya sekitar 2 sampai 5 yen. Tujuan mereka adalah untuk melatih anak-anak menggunakan uang dan melatih belajar berhitung. Nah, sekolah meminta orang tua murid untuk membawa uang tunai untuk anak-anaknya. Aku dan orang tua murid lainnya tidak ada yang punya tunai. Ujung-ujungnya, kami mengirimkan uang ke guru-guru sekolah. Lalu, mereka memberikan uang tunai ke kami. Jadi kami bertukar uang. Menurutku, itu aneh juga sih. Di kehidupan nyata di Cina semua sudah serba cashless sehingga membuat anak-anak tidak perlu memegang uang dan belajar menghitung uang tunai.
Saat anak-anakku pergi fieldtrip dengan PAUD-nya juga, aku hanya perlu mengirimkan uang via WeChat ke sekolah dengan menuliskan namaku dan anakku. Aku tidak perlu mengirimkan bukti transfer, karena pihak sekolah bisa langsung mengecek sendiri.
Untukku, cashless bukan hal yang aneh. Di Indonesia, aku sudah mengenal GoPay dan saat aku tinggal di Jerman juga sudah banyak tempat bisa cashless. Perbedaan yang kurasakan, semua orang di Cina dipaksa untuk cashless. Menurutku, segi keamanan di sini juga sudah bagus. Mereka benar-benar sudah mempersiapkannya. Keamanan aplikasi juga berlapis. Punya nomor hp di Cina itu sulit sekali. Kita harus mendaftarkan diri dan memberikan dokumen-dokumen penting. Itu berbeda sekali dengan di Indonesia yang bisa didapatkan secara mudah. Nomor hape itu sangat penting di Cina dan digunakan untuk verifikasi semua hal. Sebelum kita bayar sesuatu, kita akan diminta kode PIN untuk verifikasi. PIN ini yang harus kita ingat. Sewaktu membuat Aplikasi pertama kali, kita juga memakai password.
Nomor hape juga mempermudah transaksi. Misalnya, aku naik taksi lalu hape mati saat mau check out atau lupa bayar. Nanti, aku mau pesan taksi lagi maka aku akan diingatkan untuk melunasi pembayaran sebelumnya atau aku tidak bisa menggunakan taksi. Ini juga yang membuat susah bagi penipu dengan sistem cashless. Berbeda dengan di Indonesia yang belum ada peraturannya dan nomor hape bisa dibeli dengan mudah, sehingga itu masih ada celah untuk penipuan.
Sahabat Ruanita, kita mungkin ingat kasus penipuan kotak amal di masjid yang menggunakan QR code. Pengemis di Cina juga sekarang mengikuti zaman, mereka menggantungkan QR code dari aplikasi-aplikasi di badan mereka. Orang yang mau beramal, bisa langsung scan kodenya. Nanti aplikasi akan bunyi memberitahu berapa transaksinya. Kita menjadi tahu memang dia yang menerima uangnya. Saranku untuk sahabat-sahabat Ruanita yang beramal lewat QR code, pastikan orang yang akan diberi sedekah itu ada di sana.
Harapanku, transaksi cashless di Indonesia bisa diperbanyak, karena akan mempermudah dan lebih efisien. Namun, sebelumnya kita perlu memperkuat tingkat keamanan digitalnya dan harus memperhitungkan sisi kriminalitasnya juga. Menurutku, Cina sudah banyak memperhitungkan ini sehingga kasus kriminalnya juga sedikit. Di desa tentu masih susah dan prosesnya akan lama. Pengalaman aku saat liburan di sebuah desa di Maluku, penduduknya tidak punya hape dan tidak memakai uang. Bahan makanan mereka didapat dari sekitar rumah seperti ikan yang ditangkap dari laut untuk nelayan. Di sana sudah benar-benar sudah cashless.
Penulis: Mariska Ajeng, penulis di http://www.mariskaajeng.com. Berdasarkan pengalaman dari Amanda, tinggal di Cina dan Hamburg, bisa dihubungi lewat Instagram di @amandapatriciam