(CERITA SAHABAT) Bayar Sekolah Anak Pakai Aplikasi di Cina

Halo Sahabat Ruanita, namaku Amanda. Di tulisan ini aku mau bercerita tentang pengalamanku transaksi tanpa uang fisik di Cina, tempat aku tinggal sekarang ini.

Saat sampai di Cina pertama kali tahun 2021, aku kesulitan untuk belanja, bahkan membeli makanan di sini.  Waktu itu aku, suamiku, dan kedua anak kami harus dikarantina selama tiga minggu di hotel tempat kami tinggal. Sayangnya hotel tersebut dan toko-toko tidak menerima uang fisik, padahal waktu itu kami hanya bawa uang Euro dan Yen saja, belum punya rekening bank Cina. Oh ya, sebelum tinggal di Cina, aku dan suami yang berkewarganegaraan Prancis tinggal di Jerman dan Prancis.

Karena sudah mendapatkan informasi tentang cashless dari forum-forum ekspatriat di Cina, kami membawa tiga kardus popok dari Prancis untuk anak-anak kami yang waktu itu masih berumur di bawah tiga tahun. Makanan memang disediakan oleh catering perusahaan tempat suami kerja, tapi mau tidak mau kami harus makan yang disediakan. Kami tidak bisa memilih. Suamiku yang terbiasa makan roti, terpaksa harus makan nasi. Akhirnya, waktu itu suami pinjam uang ke koleganya yang sudah tinggal lebih  lama di Cina dan sudah punya rekening bank Cina. Mereka kirim uang lewat WeChat dan kami ganti dengan Euro ke bank Prancis. Untungnya WeChat dan Alipay, aplikasi yang marak digunakan di Cina untuk transaksi keuangan, bisa digunakan meskipun tidak mempunyai rekening bank Cina.

Follow us: @ruanita.indonesia

Setelah selesai karantina, aku dan suami didampingi oleh orang dari agen yang ditunjuk oleh perusahaan suami untuk buka rekening bank di Cina. Di sini setiap orang hanya diperbolehkan punya satu rekening. Pembuatan rekening bank juga mudah, hanya perlu paspor dan surat registrasi tempat tinggal dari kepolisian. Setoran pertama di bank juga tidak perlu banyak. Aku pernah melihat orang-orang tua menyetor uang berkoper-koper atau kantong plastik. Itu masih bisa. Untuk mengambil uang harus dari ATM, tidak bisa di bank langsung. Di ATM tidak hanya untuk mengambil saja, tetapi juga menyetor uang. Nah, registrasi aplikasi seperti WeChat dan Alipay lebih ribet dibandingkan membuat rekening bank. Kami harus memasukkan sumber uang, misalnya rekening bank kami. Paspor, juga harus diverifikasi dengan foto dan scan muka. 

Selama hampir dua tahun tinggal di sini, aku mungkin memegang uang hanya 2-3 kali saja, karena itu memang sangat jarang sekali harus pakai uang tunai. Bahkan untuk belanja di pasar tradisional juga memakai aplikasi meskipun pedagangnya orang tua. Aplikasi-aplikasi tersebut juga menggunakan speaker. Setelah kita telah membayar, di hape pedagang akan bunyi, „Anda mendapatkan transaksi uang sebesar 57 yuan“, misalnya. Itu suaranya kencang sekali dan orang-orang di sekitar kami jadi ikut mendengar. Istilah data privacy tidak dikenal di sini. 

Aku melihat di sini semua orang dipaksa untuk memahami dan menggunakan cashless. Semua orang harus punya dan bisa pakai hape. Begitu juga dengan orang-orang tua, mereka dipaksa untuk memahami kehidupan sekarang. Banyak orang tua yang menghambat transaksi di kasir karena mereka tidak paham menggunakan hape dan aplikasinya. Di beberapa toko atau restoran, masih ada yang memperbolehkan bayar tunai, walaupun penjual tampaknya tidak senang. Bisa jadi, mereka tidak punya uang tunai untuk kasih uang kembalian ke pembeli. Ini juga yang membuat kesulitan untuk turis-turis yang datang.

Sebelum pindah ke Cina, kami sering baca-baca di forum untuk expat di Cina. Banyak saran untuk mengenal dan bisa menggunakan hape sendiri dulu. Begitu kita turun dari pesawat, QR code ini juga sudah dipakai di bandara di sini. Dulu aku tidak mengerti bagaimana cara scan QR code, aku baru mengetahuinya di sini karena semua harus bisa. Awal tinggal di sini rasanya aku ingin melempar hape. Selain aku tidak mengerti bahasanya, aku tidak tahu menggunakan aplikasi. Kalau aku mau transaksi di toko ada dua cara yakni: aku yang scan QR code mereka atau sebaliknya. Memang sih, cashless memberikan kemudahan dalam bertransaksi, tetapi rasanya seperti dikontrol gadget. Kalau kita tidak mengerti, tidak punya gadget, atau hape mati maka kita akan „lost“. Kita tidak bisa melakukan apa pun. Kita tidak bisa sewa sepeda, tidak bisa naik kereta atau taksi. Kita nothing tanpa hape di sini.

Aku menggunakan kedua aplikasi yang tersedia, yaitu Alipay dan WeChat, karena terkadang ada toko online yang hanya menggunakan salah satunya. Mirip dengan aplikasi GoPay di Indonesia. Sesama aplikasi juga bisa mengirimkan uang dengan gratis. Hanya saja, orang tidak bisa mengirimkan uang dari satu aplikasi ke lainnya. Misalkan, aku mau mengirim uang dari WeChat ke Alipay. Aku harus mengirim uang dulu dari WeChat ke bankku, lalu dari sana baru aku mengirim ke Alipay. Itu lebih ribet dan ada biaya 0,1% untuk setiap transaksi transfer uang dari aplikasi ke rekening bank, sedangkan transfer uang dari bank ke aplikasi gratis. Gaji suamiku masuknya ke rekening bank dia di Prancis. Jadi suami harus transfer uangnya dari bank Prancis ke bank Cina, lalu ke aplikasi. Karena aku tidak bekerja di sini, suami mengirimkan uang dari aplikasinya ke aplikasiku. Cara lain, dia mengirimkannya dari rekening bank Cina, lalu ke aplikasiku. Itu bukan masalah karena uangnya bisa dikirim lewat aplikasi.

Sejak tahun 2022, anakku yang paling besar masuk ke PAUD (=Pendidikan Anak Usia Dini) di sini. Untuk membayar uang sekolahnya, kita harus langsung membayarnya satu tahun yang dibayar lewat WeChat. Misalnya, aku membayar uang sekolah anak 1000 yuan per bulan maka kami harus transfer uang langsung 12.000 yuan. Waktu itu, untungnya aku bisa menegosiasikan dengan kepala sekolah, karena kami tidak bisa mengirimkan uang langsung sebanyak itu dalam sekali. Transfer dari bank Prancis ke Cina juga cuma gratis lima kali. Akhirnya, kami bisa menyicil tiga kali dalam sebulan. Tahun 2022, itu masih lockdown. Jadi, anakku sebenarnya cuma sekolah tiga bulan. Pada tahun ini, dia melanjutkan sekolah di sana dan adiknya juga juga ikut sekolah di sana juga sehingga kami hanya membayar kekurangannya saja. Istilahnya kami sudah mempunyai saldo di sana. Rencananya bulan Juli tahun ini, kami akan kembali ke Eropa. Nanti uang sisanya itu bisa di-refund ke WeChat kami. Kami sudah wanti-wanti ke pihak sekolah untuk mengirimkan uangnya tepat waktu, karena kami juga akan menutup rekening bank Cina.

Ada kejadian menarik di PAUD anakku. Pihak sekolah mengadakan bazar kecil-kecilan untuk anak-anak sebagai latihan. Harga barangnya juga murah, hanya sekitar 2 sampai 5 yen. Tujuan mereka adalah untuk melatih anak-anak menggunakan uang dan melatih belajar berhitung. Nah, sekolah meminta orang tua murid untuk membawa uang tunai untuk anak-anaknya. Aku dan orang tua murid lainnya tidak ada yang punya tunai. Ujung-ujungnya, kami mengirimkan uang ke guru-guru sekolah. Lalu, mereka memberikan uang tunai ke kami. Jadi kami bertukar uang. Menurutku, itu aneh juga sih. Di kehidupan nyata di Cina semua sudah serba cashless sehingga membuat anak-anak tidak perlu memegang uang dan belajar menghitung uang tunai.

Saat anak-anakku pergi fieldtrip dengan PAUD-nya juga, aku hanya perlu mengirimkan uang via WeChat ke sekolah dengan menuliskan namaku dan anakku. Aku tidak perlu mengirimkan bukti transfer, karena pihak sekolah bisa langsung mengecek sendiri.

Untukku, cashless bukan hal yang aneh. Di Indonesia, aku sudah mengenal GoPay dan saat aku tinggal di Jerman juga sudah banyak tempat bisa cashless. Perbedaan yang kurasakan, semua orang di Cina dipaksa untuk cashless. Menurutku, segi keamanan di sini juga sudah bagus. Mereka benar-benar sudah mempersiapkannya. Keamanan aplikasi juga berlapis. Punya nomor hp di Cina itu sulit sekali. Kita harus mendaftarkan diri dan memberikan dokumen-dokumen penting. Itu berbeda sekali dengan di Indonesia yang bisa didapatkan secara mudah. Nomor hape itu sangat penting di Cina dan digunakan untuk verifikasi semua hal. Sebelum kita bayar sesuatu, kita akan diminta kode PIN untuk verifikasi. PIN ini yang harus kita ingat. Sewaktu membuat Aplikasi pertama kali, kita juga memakai password.

Nomor hape juga mempermudah transaksi. Misalnya, aku naik taksi lalu hape mati saat mau check out atau lupa bayar. Nanti, aku mau pesan taksi lagi maka aku akan diingatkan untuk melunasi pembayaran sebelumnya atau aku tidak bisa menggunakan taksi. Ini juga yang membuat susah bagi penipu dengan sistem cashless. Berbeda dengan di Indonesia yang belum ada peraturannya dan nomor hape bisa dibeli dengan mudah, sehingga itu masih ada celah untuk penipuan. 

Sahabat Ruanita, kita mungkin ingat kasus penipuan kotak amal di masjid yang menggunakan QR code. Pengemis di Cina juga sekarang mengikuti zaman, mereka menggantungkan QR code dari aplikasi-aplikasi di badan mereka. Orang yang mau beramal, bisa langsung scan kodenya. Nanti aplikasi akan bunyi memberitahu berapa transaksinya. Kita menjadi tahu memang dia yang menerima uangnya. Saranku untuk sahabat-sahabat Ruanita yang beramal lewat QR code, pastikan orang yang akan diberi sedekah itu ada di sana. 

Harapanku, transaksi cashless di Indonesia bisa diperbanyak, karena akan mempermudah dan lebih efisien. Namun, sebelumnya kita perlu memperkuat tingkat keamanan digitalnya dan harus memperhitungkan sisi kriminalitasnya juga. Menurutku, Cina sudah banyak memperhitungkan ini sehingga kasus kriminalnya juga sedikit. Di desa tentu masih susah dan prosesnya akan lama. Pengalaman aku saat liburan di sebuah desa di Maluku, penduduknya tidak punya hape dan tidak memakai uang. Bahan makanan mereka didapat dari sekitar rumah seperti ikan yang ditangkap dari laut untuk nelayan. Di sana sudah benar-benar sudah cashless.

Penulis: Mariska Ajeng, penulis di http://www.mariskaajeng.com. Berdasarkan pengalaman dari Amanda, tinggal di Cina dan Hamburg, bisa dihubungi lewat Instagram di @amandapatriciam

(CERITA SAHABAT) Perhatikan Kebiasaan Makan dan Terpenting Menikmati Makanannya

Hai, namaku Rita. Aku tinggal di Hamburg, Jerman saat ini. Kegiatanku sekarang sebagai Florist atau perangkai bunga dalam Bahasa Indonesia di salah satu toko bunga di Hamburg. Pekerjaan ini sangat menyenangkan dan kreatif. Sebelum aku masuk ke dunia Floristic, aku pernah kuliah di Universitas Hamburg. Tepatnya tahun 2014/2015, aku memulai kuliah. Awal tahun 2020 aku selesai dengan sarjanaku atau Bachelor.

Kembali ke masa itu. Sekitar tahun 2013/2014 dan aku mulai daftar untuk masuk Universitas, aku sempat mengalami stres berat karena aku mengurusi berbagai hal, seperti perpanjangan visa, dll. Selain itu, kehidupan di Jerman terkadang sangat berat dijalani sendirian.

Nah, pola makanku menjadi tidak teratur ketika aku terlalu stres. Lalu berat badanku turun drastis, sekitar 3 kg. Untukku kehilangan 3 kg itu sangat banyak karena buatku sendiri sangat susah sekali untuk menaikkannya kembali. Maklum saja dari kecil sampai dewasa memang aku tidak pernah punya berat badan melebihi 42 kg. 

Namun aku pernah loh mengalami satu kali, sekali-kalinya dalam hidup 42 kg. Berat badan normalku sebenarnya antara 37 sampai dengan 39 kg. Mungkin untuk orang seusiaku, awalnya banyak orang bertanya, apakah ini normal? Walaupun begitu, dokterku pun tidak mengkhawatirkan berat badanku ini. Menurutnya, memang ini sudah genetik. Selain itu, kesehatanku baik-baik saja. 

Saat menyadari di mana beratku turun menjadi 34 kg kala itu, aku langsung pergi ke dokter. Aku diperiksa, test darah, dll. Hasilnya memang aku baik-baik saja. Namun, aku masih belum puas dengan hasil pemeriksaannya. Kecemasanku belum juga berkurang.

Aku ikuti sesi psikologi khusus untuk gizi dan masalah berat badan. Ternyata ini lumayan memotivasiku. Aku juga banyak membaca artikel di internet tentang pola makan. 

Dulu aku sempat download aplikasi untuk menghitung kalori makanan, dan lainnya. Namun dengan berjalannya waktu, aku lebih mengerti dengan kebutuhanku sendiri.


Masa stres itu memang masa yang begitu sulit untuk mengontrol diri sendiri. Pola makanku dulu yang teratur, jadi terabaikan. 

Dokterku juga memberikan minuman ekstra berkalori untuk membantu menaikkan berat badan. Nama minumannya Fortimel. Aku disarankan untuk minum 2-3 botol/hari dan ditambah aku juga tetap makan seperti biasanya. 

Satu botol berisi 300 ml dan memiliki 300 kalori. Minuman ini juga memiliki berbagai rasa. Tanpa resep dokter orang tidak bisa mendapatkan minuman berkalori ini. Memang ada syaratnya dan asuransi yang menanggung biayanya. 

Aku biasanya hanya membayar 5% dari 100% harga minumannya, yaitu 10€ untuk 128 botol. Minuman ini dulu membantuku sekali. Namun lama-lama aku tidak bisa mengonsumsinya lagi karena kadang-kadang membuatku merasa mual. Akhirnya aku hanya minum satu kali sehari. Setelah berat badanku kembali ke 37 kg, aku berhenti minum Fortimel. Sebagai gantinya, aku mengusahakan membuat smoothie yang berkalori tinggi atau makanan lainnya. 

Aku juga berbagi cerita tentang masalah berat badan ke teman-temanku di sini. Saat itu, ada satu teman asal Jerman yang kebetulan juga mendapatkan resep minuman ini dari dokternya. Lalu kami saling bercerita. Ternyata temanku ini juga merasakan hal yang sama tentang minuman itu. 

Di Jerman, berbicara tentang berat badan adalah hal yang sensitif. Di sini orang hampir tidak pernah menyinggung berat badan seperti: Kenapa kurus?; Kok gendut?; Kamu makannya banyak kok tetep kurus?, dan lain-lain.

Orang-orang di sini sangat menghormati dan menjaga sesuatu yang dianggap pribadi. Hal ini juga membuat aku merasa lebih percaya diri. 

Saat aku masih di Indonesia, aku mengalami Bullying. Di Jerman, malah sebaliknya, mereka memuji. Terkadang, ketika di Indonesia, kita tidak  sadar, kalau lingkungan sekitar mem-bully.

Mungkin memang maksud mereka tidak serius seperti sekedar mendapat julukan “Olive” atau si kurus. Ternyata, hal itu berpengaruh terhadap kesehatan mental loh. Dulu aku tidak berani dan tidak percaya diri memakai baju lengan pendek. Hal ini karena aku mengingat kata-kata mereka yang berada di sekitarku itu.

Beruntungnya lagi aku tinggal di sini, aku punya akses kesehatan yang baik. Jadi segala sesuatu bisa aku konsultasikan dengan ahlinya. Dokter atau para ahli di sini, tidak me-judge kekurangan atau masalah kita. 

Untuk teman-teman yang punya masalah sama, tak usah sungkan untuk bertanya ke psikolog, dokter ataupun tenaga profesional. 

Pesanku ini teruntuk teman-teman yang lebih cepat turun berat badan daripada naik berat badan seperti aku ini. Coba kalian tambahkan ekstra porsi kalori setiap harinya seperti, Smoothie, buah-buahan, juga cemilan berprotein lainnya. Usahakan makanan tersebut tetap hadir di antara menu sehari-hari. 

Selain makanan utama, makanan kecil yang disebutkan tadi pun perlu diusahakan. Saranku lainnya adalah mengurangi makan Fast food atau cepat saji. 

Semua saranku ini sudah terbukti berdampak bagus terhadap mentalku selama ini. Yang mana aku mulai disiplin dan merasa nyaman dengan kebiasaan makanku. Aku merasakan dampak positifnya, bukan hanya secara fisik melainkan secara mental juga. Kesehatan mental ‘kan salah satu hal terpenting dalam hidup kita. 

 
Biarpun berat badan kembali normal, aku tetap memerhatikan kebiasaan makanku. Memang sih tidak semudah yang dibicarakan. Menurutku, stres juga bisa memengaruhi loh.

Untungnya aku sadar akan hal itu.  Aku ingin mengubahnya! Memang itu butuh proses dan perjalanan yang panjang.  Aku percaya, sesulit apapun itu kalau kita mau berusaha, suatu saat itu akan membuahkan hasil. 


Intinya dalam keadaan apa pun, kita harus tetap ingat makan. Biasanya, aku masak dengan porsi banyak agar bisa dimakan pada hari-hari berikutnya. Ini sangat membantu, apalagi kalau hari-hari yang membuatku bakalan sibuk sekali. 

Beban stres bisa berkurang. Pokoknya sesibuk apapun, sempatkan waktu untuk makan. Terakhir yang lebih penting lagi, menikmati juga makanannya.

Penulis: Rita, tinggal di Jerman dan dapat dikontak akun IG ritasjungle.

(CERITA SAHABAT) Menurut Saya, Career Gap itu Self Acceptance dan Berani Keluar dari Comfort Zone

Menikah adalah salah satu fase dalam kehidupan yang momennya banyak melibatkan emosi baik keluarga, pasangan bahkan diri sendiri. Perkenalkan saya adalah Inur, berasal dari keluarga pendidik atau pengajar. Ayah, ibu dan kedua kakak saya adalah seorang pengajar, baik di instansi, sekolah dasar dan universitas. Begitu pun saya, enam tahun mengajar di universitas swasta di daerah Depok – Jawa Barat. Sampai pada akhirnya, saya memutuskan untuk bekerja di perusahaan. 

Sebagai satu-satunya orang yang mengatur personalia, rasanya senang sekali pada saat itu walaupun saya merasa ada gap antara yang saya pelajari (Psikologi Klinis) dengan aplikasi pada pekerjaan (Psikologi Industri dan Organisasi). Namun saya berusaha untuk bisa menjadikan diri saya bukan sekedar melihat sisi Industri dan Organisasi tetapi bisa sekaligus melakukan konseling ketika karyawan mengalami masalah. Observasi ketika rekrutmen tidak selalu berdasarkan yang tampak, tetapi saya pun mencoba menganalisa dari hal-hal yang biasanya luput dari penilaian User

Selama tujuh tahun bekerja di perusahaan terakhir, saya merasa memiliki keluarga yang sangat dekat. Prinsip saya, ketika bekerja kami adalah rekan kerja, tetapi ketika selesai bekerja mereka adalah adik, sahabat, kakak, bahkan orang tua yang mengajarkan banyak hal kepada saya. Kondisi comfort zone tersebut terpaksa harus saya akhiri karena saya menikah dengan pria warga negara Switzerland. Tepatnya 30 November 2021 saya resmi mengundurkan diri dan siap untuk pindah ke negara bersalju. 

‘’Sedih yang tidak berujung’’ benar-benar menjadi kalimat yang saya rasakan. Dimulai dengan surprise farewell dari Departemen Operasional & HRGA. Makan-makan yang awalnya menjadi Birthday Lunch seorang teman (karena saya bertugas membeli kue ulang tahun) ternyata itu adalah surprise Farewell Lunch saya. 

Rasa haru melebihi surprise ulang tahun, betapa tidak,  pelukan dari atasan dan sahabat diiringi lagu “Mungkinkah” dari Stinky. Sama sekali tidak ada kecurigaan, momen ulang tahun yang seharusnya hanya berlima menjadi 2 meja panjang dari 2 departemen. 

Lagu selamat ulang tahun yang biasa dinyanyikan semua pramusaji  berganti jadi lagu sedih, polosnya di awal saya tetap membuat video dan happy, sampai seorang teman memeluk saya dari belakang kemudian atasan juga ikut memeluk. Baru saya sadar, momen, hadiah bahkan kue ulang tahun yang bertuliskan nama teman semuanya di hari itu adalah untuk saya. Terima kasih ibu dan bapak, teman-teman semuanya, masih suka sedih kalau melihat video tersebut.

Begitu juga di hari terakhir saya bekerja, sengaja saya memesan makanan untuk semua karyawan agar kami bisa makan bersama-sama. Sepatah dua patah salam perpisahan dari saya sebelum kami semua mulai mengambil makanan. Walaupun saat itu masih berjalan sistem pembagian Work from Home dan Work from Office, tetapi bersyukur banyak karyawan yang tetap datang ke kantor sehingga momen dan foto perpisahan terasa sangat hangat. 

Kemudian kurang lebih seminggu setelah hari terakhir saya bekerja, salah satu teman kantor berkunjung ke rumah untuk memberikan hadiah perpisahan dan foto bersama yang dibingkai dengan ukuran yang sangat besar. Infonya, ada teman yang inisiatif untuk mengumpulkan dana untuk kemudian dibelikan beberapa barang yang sangat berguna saat musim Winter. Masha Allah, saya bersyukur diberikan rekan kerja seperti saudara. Sampai dengan tulisan ini saya buat, Alhamdulillah saya masih menjalin komunikasi dengan hampir semua teman kerja.

Perasaan senang akhirnya bisa bersama dengan suami, tetapi  juga sedih harus meninggalkan keluarga, sahabat, dan rekan kerja. Namun hidup harus berjalan, kita tidak pernah mengetahui rencana Sang Pencipta. Tanggal 8 Desember 2021  saya tiba di Switzerland, pengurusan semua dokumen pun selesai. Mulailah saya berpikir: “Terus saya ngapain disini? Apa yang bisa saya kerjakan dan juga menghasilkan ?”

Follow us: @ruanita.indonesia

Saya sempat merasa up and down, stres karena tuntutan merasa harus segera mengikuti les bahasa. Sampai pernah ada momen saya takut ketemu kakak ipar karena selalu ditanya update les bahasa. Pengeluaran rutin tetap berjalan sementara pemasukan rutin belum ada. Merasa inferior, tidak berdaya, bergantung parah sampai akhirnya menangis sejadi-jadinya ke suami. 

Alhamdulillah suami sangat mengerti, dia tidak pernah memaksa saya untuk bekerja, bahkan untuk les bahasa. Dia sangat senang ketika saya izin main bertemu teman WNI yang juga tinggal di Zürich. Senyumnya sumringah ketika saya pulang dari Asia Store membawa belanjaan. Hampir setiap minggu saya main bertemu dengan teman-teman, makin banyak kenalan makin banyak pelajaran, ilmu, motivasi bahkan nasehat yang saya dapat. 

Pemahaman saya pada saat itu tidak mudah mendapatkan pekerjaan di Swiss, mostly must be certified dari lembaga atau sekolah di Swiss juga. Pusing lagi kan jadi nya, 😀

Searching di social media, tawaran dari teman yang kerja di restoran, bikin saya tambah bingung. Saya sempat merasa takut antara mau kerja tapi jadi harus bicara sama orang, nah bahasanya saja belum lancar.

Awalnya saya belum pernah mendengar yang namanya Career Gap, tapi mungkin yang saya lalui selama 6 bulan pertama di Switzerland adalah fenomena Career Gap, di mana saya tidak sedang bekerja karena menikah dan harus pindah negara. Menurut saya sebenarnya Career Gap ini sering sekali terjadi. Tidak hanya kaum perempuan, para pria juga mengalami. Hanya saja dilihat dari alasannya, mungkin kaum perempuanlah yang lebih sering mengalami. Beberapa alasan terjadinya Career Gap adalah menikah, memiliki anak, pindah tempat tinggal, pemutusan hubungan kerja, dll.

Pada kasus saya, setelah mencoba aktif di media social dengan belajar buat video dan foto yang aesthetic, soal masakan atau sekedar memperlihatkan keindahan kota tempat saya tinggal, saya merasa jenuh karena menuntut saya harus terus aktif setiap hari untuk benar-benar menghasilkan sesuatu yang dapat dinikmati teman di media social

Sampai akhirnya saya menemukan sebuah platform Babysitting di Switzerland. Bermodal senang dengan anak kecil, dekat dengan semua keponakan dan Bahasa Inggris, saya coba membuat account. Tiga bulan setelahnya tawaran pekerjaan masuk melalui message, mereka berkewarganegaraan USA yang juga tinggal di Switzerland dan berjarak hanya 500m dari rumah. Berkunjung ke kediamannya, bertemu dengan anak dan mendiskusikan banyak hal mengenai pekerjaan. Setelah itu saya diskusikan kembali dengan suami, apakah baik untuk saya lanjutkan atau tidak. 

Memiliki pekerjaan membuat saya lebih mandiri dan percaya diri. Banyak hikmah yang saya pelajari. Perbedaan negara yang signifikan membuat saya harus menyadari saya bukan siapa-siapa di sini. Selalu berdiskusi dengan suami adalah hal penting bagi saya. Apakah pekerjaan saya akan membuatnya malu atau tidak, bagaimana kira-kira pendapat keluarga suami apakah akan memalukan bagi mereka atau tidak. 

Hal itu yang saya ke depankan sebelumnya. Setelah mendapat pekerjaan, kepercayaan dan menyayangi anak kecil seperti keponakan atau anak sendiri adalah cara saya memperlakukan mereka. Saat menemani anak bermain, seringkali kami mengunjungi teman-teman sekolahnya, sehingga para orang tua mengenal saya dengan baik. 

Ini saya dengar karena mereka menceritakannya ke saya 😊. Sampai akhirnya beberapa di antara mereka meminta untuk Occasional Babysitter. Tepat 1,5 bulan pekerjaan tersebut selesai dan lanjut pekerjaan berikutnya tanpa gap, kontrak kerja yang awalnya hanya dua bulan dan sekarang sampai waktu yang tidak ditentukan 😊

Memiliki beberapa kenalan (orang tua anak sekolah) di kota yang sama membuat saya merasa punya teman dan tidak sendiri lagi. Kondisi ini membuat saya semakin berani dan pada akhirnya mendaftar Kursus Bahasa Jerman yang diadakan oleh Gemeinde kota tempat saya tinggal. 

Yap, makin banyak kenalan, makin sering tegur sapa karena bertemu di supermarket, taman bermain, dan public transport. Tidak hanya para orang tua, tetapi kasir supermarket, pegawai restoran dan gerai toko di supermarket, sampai beberapa bus driver dan taxi driver. Masha Allah, senang sekali rasanya saat ini, saya merasa aman karena sudah punya banyak kenalan dan tidak khawatir lagi walaupun pulang malam.

Kembali perihal Career Gap, menurut saya intinya ada self-acceptance. Ketika kita menerima dengan baik kondisi tersebut, maka secara tidak sadar tubuh pun akan merasa rileks. Saat merasa santai, cara pandang dan cara berpikir akan lebih baik. Begitupun dengan pemilihan aktivitas yang ingin dikerjakan, apakah tetap mencari pekerjaan baru atau sekedar menyalurkan hobi. 

Namun peran pasangan, keluarga atau teman dekat juga sangat mempengaruhi. Bagaimana mereka ikut menerima, memotivasi, memberi nasehat, dan atau memberi solusi. Saya bersyukur atas segalanya, tetapi tetap bermimpi suatu saat bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan Bahasa Jerman dan atau Swiss German. Saya juga ingin mendapat pekerjaan sesuai dengan mimpi saya. 

Penulis: Inur Darham, seorang anak bungsu dari tiga bersaudara. Inur memelajari Psikologi Klinis pada jenjang Universitas, mengajar di Fakultas Psikologi, menjadi pembicara pada beberapa Dialogue Interactive, menggeluti bidang Human Resource pada Pest Control dan Oil and Gas Company, menikah lalu mengundurkan diri dan kini tinggal di Switzerland.

(CERITA SAHABAT) Hentikan Stigma Negatif pada Patchwork Family

Namaku Fadni, aku berasal dari Jakarta dan sekarang bermukim di Jerman. Pada tahun 2014, aku lulus SMA berpindah dan memberanikan diri melanjutkan pendidikan di Jerman hingga sekarang. Kini aku berdomisili  di ibukota Jerman yaitu kota Berlin. Terhitung aku sudah 9 tahun tinggal di Jerman, tepat pada tanggal 7 Februari  2023 lalu. 

Kegiatanku sehari-hari tentu saja tidak jauh berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa  pada umumnya, seperti: menghadiri seminar-seminar, presentasi, dan mengerjakan tugas perkuliahan lainnya. Selain itu aku juga menyempatkan bekerja paruh waktu untuk menambahkan uang  saku dan membeli kebutuhan hidup sehari-hari. Namun pekerjaanku masih serabutan, terkadang aku  menjadi kasir di sebuah toko kelontongan. Sekali-kali aku juga bekerja di pabrik obat-obatan. 

Aku lahir di sebuah keluarga yang standar, boleh dibilang umum. Aku memiliki satu ayah, satu ibu, dua saudara kandung, dua nenek, dan dua kakek. Situasi keluarga besarku lainnya pun seragam.  Aku berpendapat tentang hal ini di luar ajaran agama yang kami percayai. Poligami, Poliandri  bahkan perceraian pun bukan menjadi pilihan di dalam keluargaku. Di dalam keluargaku keutuhan adalah segalanya. Itu merupakan barometer keluarga atau pernikahan yang tertanam di diriku  sejak kecil. Lambat laun lingkunganku pun berganti menjadi lebih luas dan terbuka. Aku pun  mulai mengenal struktur kehidupan keluarga dari teman-teman di sekitarku. 

Ternyata, ada  beberapa temanku memiliki struktur keluarga yang lebih komplit. Ada sosok lain sebagai ayah, ada sosok ibu tambahan, dan tahu-tahu ada kakak dan adik sambung yang belum pernah sebelumnya bertemu atau dikenal. Mereka sudah tumbuh besar dan tinggal bersama dalam satu atap. Belum lagi, kakek dan nenek mereka yang juga terkejut mendapat „cucu“ baru yang tidak mengenal masa kecilnya.

Follow us ruanita.indonesia

Aku menceritakan hal ini sesuai pengalaman yang aku jalin dengan teman-temanku yang memiliki keluarga sambung atau istilah lainnya Patchwork Family. Jelas kondisi dan keadaan mereka semua tidak sama. Begitu juga mungkin Sahabat Ruanita yang membaca ini, memiliki pandangan yang berbeda. Aku coba mendeskripsikan apa yang aku rasa ketika mengetahui temanku memiliki Patchwork Family.  Mendengar pernyataan salah satu temanku tersebut tentang silsilah keluarganya, perasaanku awalnya bingung. Aku merasakan empati yang meninggi dan condong ke arah sedih. 

Awalnya aku tidak tahu, apakah dia sudah dapat menerima kondisi keluarganya atau keputusan kedua  orang tuanya bersama pasangan baru mereka masing-masing. Setelah itu, muncul rasa simpati yang lebih terhadap temanku tersebut. Aku melihat seberapa dewasanya dia, bagaimana dia berbesar hati untuk  dapat menerima jalan kehidupannya. Aku berusaha juga lebih banyak menyempatkan waktu untuk menanyakan kabarnya sesekali. Aku pun berusaha tidak bertanya lebih dalam tentang keluarganya tersebut, kecuali temanku yang ingin bercerita sendiri, tanpa adanya paksaan atau pertanyaan pancingan. 

Cara aku menjelaskan kepada keluarga atau teman-teman tentang keluarga sambung yang dimiliki teman-temanku yaitu dengan diawali menceritakan prestasi yang ia dapat, bagaimana kemampuan yang mereka miliki serta tekadnya. Lalu, aku bercerita tentang struktur keluarga sambung, bahwa temanku tersebut memiliki banyak saudara dan lingkungan sosial yang lebih luas. Dia bisa saja bertemu keluarganya di jalan tanpa dia sadari baik itu keluarga kandung, keluarga tiri maupun keluarga sambung. 

Karena adanya ikatan baru dari kedua orang tua yang ia sayangi, ia pun harus bersedia untuk mengenal dan memelajarinya satu persatu. Di satu sisi, ia pun enggan untuk  memosisikan dirinya sebagai anggota keluarga baru. Dia butuh waktu dan usaha yang tiada henti.  Akupun sedikit khawatir bahwa keluarga atau teman-temanku lainnya akan berpikiran buruk  terhadap teman-temanku yang memiliki Patchwork Family. Atau pahitnya aku dilarang untuk  berkontak dengan mereka kembali karena penilaian yang ada di masyarakat luas pada umumnya. Di lingkungan keluarga dan pertemananku, hal ini masih sangat jarang dilalui. 

Pada awalnya, reaksi orang terdekat seperti keluarga d Indonesia tentang struktur keluarga yang demikian adalah menggeneralisasikannya. Padahal, kebanyakan dari keluarga yang menjalaninya memiliki pemahaman kehidupan yang berbeda-beda.  Mulai dari asal-usul, daerah tempat tinggal, adat istiadat hingga norma serta kebiasaan setempat disebutkan menjadi penyebab terbesar Patchwork Family terbentuk. Lalu tingkat pendidikan juga dipertanyakan oleh keluarga dan teman-temanku. 

Ketika aku menceritakan tentang teman-teman dari Patchwork Family, keluarga dan teman-temanku yang tidak mengalami Patchwork Family  tampak cemas dan berempati.  Mereka pun berasumsi bahwa anak-anak yang mengalami keluarga sambung atau Patchwork Family merupakan anak yang tak terurus, seperti Troublemakers (=mencari masalah), memiliki banyak masalah dalam keluarganya, hingga memiliki Childhood Trauma yang mendalam. Oleh karena itu, keluarga dan teman-temanku yang tidak mengalami keluarga sambung pun dapat bercermin dan merasa harus lebih memerhatikan satu sama lain dalam hal berkeluarga. Mereka harus menghormati masing-masing individu dalam keluarga serta peranannya. 

Salah satu contoh bentuk social support  yang diberikan kepada teman-teman dengan keluarga sambung adalah perhatian dari ibuku. Ibuku berpesan padaku untuk tetap menjalin pertemanan dengan mereka, mencoba selalu ada, dan mengulurkan tangan ketika mereka memerlukan pertolongan. Menurut ibuku, kita perlu peka yang lebih tinggi pada mereka. 

Bahwasanya kehidupan berjalan tidak selalu seperti apa yang kita inginkan atau impikan. Kita pun tidak bisa membuat standar mana keluarga terbaik ataupun keluarga ideal. Kita perlu belajar  menerima takdir atau keadaan yang tidak menetap dengan lapang dada. Kita sebaiknya menjalin kontak yang hangat sehingga hidup pun akan menyenangkan kembali. Aku yakin, bahwa setiap fase dalam  kehidupan kita akan mengantarkan diri kita sendiri ke posisi yang lebih baik.  

Untuk menemukan kecocokan dan penerimaan satu sama lain, aku tentu saja pernah mengalami fase berselisih dengan teman-temanku, terlepas dari apapun struktur keluarga mereka. Ketika aku menjalin komunikasi dengan orang lain, ada kalanya muncul selisih paham atau perbedaan, terlepas dari apapun latar belakang struktur keluarganya tersebut. Menurutku, itu adalah hal yang lumrah. 

Aku hanya perlu tahu bagaimana aku harus menempatkan diri, tidak  terbawa emosi, memahami maksud pendapat yang dilontarkan teman lain, dan menghargai apapun keputusan akhirnya. Setiap aku berkenalan dengan teman baru, aku tidak pernah membanding-bandingkan. Aku tidak memiliki ekspektasi bahwa dia harus  cocok dan satu frekuensi dalam berpikir, berpendapat ataupun memberikan saran bila kita berdiskusi bersama. 

Menurutku, setiap individu bisa menjadi guru untuk kita. Setiap individu yang kita kenal dapat memberikan kita sebuah pelajaran yang baru. Setiap makhluk di dunia ini unik terlepas dari cara bicaranya, cara menyampaikan pendapat, atau cara mereka menghadapi masalah pada fase-fase kehidupan tertentu pun berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh pengalaman, alur kehidupan, dan wawasan yang juga bervariasi 

Pengalaman berharga yang bisa aku bagikan setelah mengenal beberapa temanku yang memiliki Patchwork Family atau keluarga sambung adalah cara pandangku tentang keluarga ideal pun berubah. Di dalam Patchwork Family yang sering dinilai sebagai keluarga-keluarga gagal dalam masyarakat ternyata tumbuh juga anak-anak ceria yang berprestasi. Mereka juga tumbuh dengan toleransi yang lebih tinggi, lebih mudah bersosialisasi, dan cepat menyesuaikan diri pada lingkungan. 

Walaupun sebagai seorang anak dalam Patchwork Family, teman-temanku memiliki peran yang mendalam sebagai orang kakak dan adik sekaligus. Saya pikir ini memerlukan usaha penerimaan diri yang lebih besar hingga pada akhirnya mereka dapat membuka diri kepada keluarga-keluarga barunya dan menerima situasi baru. Meskipun di sisi lain, ada juga seorang  temanku yang masih belum bisa bangkit dari trauma dan depresi yang dialaminya, sejak orang tuanya bercerai. Kini orang tuanya masing-masing telah memiliki pasangan baru. Temanku ini masih memilih untuk tetap menutup diri. Dia pun sempat mengaku kalau dia tidak memiliki mimpi hingga tujuan hidup. Temanku ini menjadi sulit untuk merasakan kebahagiaan atau kesedihan.  

Sekali lagi, aku menekankan bahwa aku bukan seorang ahli yang memiliki ilmu dan pengalaman langsung dalam hal ini. Aku hanya ingin berpendapat di sini, karena orang terdekatku dan beberapa teman di lingkunganku hidup dalam keluarga sambung atau Patchwork Family. Menurutku, faktor-faktor yang mendukung keberhasilan Patchwork Family antara lain:

  1. Kita tidak memaksa tetapi memberikan cukup waktu dan tempat agar setiap individu di dalamnya  merealisasikan keadaan yang baru dan mengolah emosi serta ego masing-masing. Kita harus tetap menjalin hubungan baik dengan mereka. Penting diingat kalau kita tidak perlu memutus tali silaturahmi dengan keluarga sebelumnya karena ada tanggung jawab bersama yang tidak akan pernah putus.  
  2. Kita harus tetap berkomunikasi, yakni menceritakan kepada anak atau pasangan lama dan keluarga baru tentang masa lalunya. Bahwa semuanya telah selesai secara baik-baik. Kita berharap setiap individu di dalam keluarga ini telah menerima, memaafkan, dan menjalani kehidupan baru yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan masa lalu. Komunikasi ini pun harus dijalankan secara rutin, agar kedekatan tetap terjaga, terutama anak-anak, supaya mereka tidak menjauh dan merasa asing pada orang tua dan keluarga.  
  3. Kita harus memberikan perhatian dengan cara memberikan waktu dan prioritas terhadap anggota keluarga satu sama lain. Ini semua membutuhkan proses terbentuknya Patchwork Family melalui pendampingan oleh orang tua, psikolog, hingga anggota keluarga yang dituakan. Ini sangat dibutuhkan oleh anak-anak di dalam Patchwork Family. Penting juga role model dari orang tua atau saudara kandung agar setiap individu di dalamnya tidak merasakan kesepian atau meyakini  perbedaan yang kontras. Hati-hati juga agar jangan sampai orang tua sibuk dengan pasangan baru atau anak-anak  sambungnya. Sebagai orang tua, kita bisa memberikan penjelasan yang jujur apa yang dirasakan dan dikehendaki di masa depan dengan kondisi baru. Orang tua perlu meyakinkan kalau mereka selalu ada, satu sama lain. Tidak  ada perubahan terhadap cinta dan kasih sayang yang akan diberikan nantinya. 
  4. Kita perlu juga menanamkan keadilan, di mana semua individu di dalam keluarga mendapatkan hak dan kewajiban yang sama sesuai perannya masing-masing. Segala bentuk pemberian disalurkan sama ke seluruh anggota keluarga sesuai posisinya, dalam semua aspek kehidupan seadil-adilnya. Jangan biarkan terjadi perbedaan baik kepada anak kandung, anak tiri maupun anak sambung! Bagaimanapun hal ini akan menimbulkan kecemburuan  ke depannya dan berakibat timbul rasa kurang percaya diri, terutama pada anak.
  5. Kita perlu menghargai privasi setiap anggota keluarga dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, dengan cara tetap  memberikan ruang untuk sendiri atau Me time. Kita tidak perlu memaksa salah satu pihak untuk terus menerus bersama-sama dengan anggota keluarga lain. Kita tidak memaksa untuk menceritakan segala hal yang terjadi dalam hidupnya agar tidak adanya rahasia atau hal-hal yang ditutupi.  
  6. Kita perlu terbuka dengan cara tidak menyembunyikan perasaan atau pikiran yang dimiliki. Kita menyadari bahwa tidak ada orang yang  ingin disakiti dan menyakiti. Semua orang berhak menjalankan keputusannya masing-masing.  Semua orang berhak untuk bangkit lagi dan menemukan cintanya. Semua orang juga berhak memberikan kesempatan untuk tetap mendukung setelah adanya kegagalan dalam keluarga. Tidak ada orang yang sempurna di dunia ini dan kita pasti pernah berbuat kesalahan. 

Pesanku untuk sahabat Ruanita yang mengalami situasi Patchwork Family, aku berada dalam sepatu kalian. Aku bisa memahami sudah berapa banyak kerikil di dalam sepatu kalian yang ingin disingkirkan, dikeluarkan atau dibersihkan agar kalian bisa tersenyum kembali. Kita harus merelakan, berbesar hati, dan perlahan membuka diri. Jangan sungkan, jika kalian butuh teman atau keluarga untuk berbagi apa yang ada di dalam pikiran dan hati kalian!

Terakhir, kita percaya bahwa menjalani adalah hal yang paling baik untuk semua pihak agar mendapatkan kedamaian dan kebahagian yang abadi. Kalian tidak sendirian. Kalian harus percaya bahwa tidak akan ada yang meninggalkan apalagi melupakan kalian. Semua orang ada untuk menyayangi kalian setulus hati. 

Aku berharap pada masyarakat untuk menghentikan stigma negatif. Ada banyak stigma negatif yang terus menerus tertanam luas tentang Patchwork Family,  ibu tiri atau ibu sambung yang kejam, bapak sambung atau bapak tiri yang sering diberitakan telah melakukan  pelecehan seksual terhadap anak tiri atau anak sambungnya. Stigma negatif lainnya pada anak-anak dengan Patchwork Family  seperti dianggap anak nakal, anak-anak yang memiliki pergaulan bebas, anak-anak yang menggunakan obat-obatan terlarang atau anak-anak berkonflik dengan hukum. Kita tidak menjauhi mereka atau melakukan Bullying  karena perbedaan yang dimiliki. 

Sebagai teman, tetangga atau keluarga, kita perlu memberikan ruang yang aman dan nyaman untuk mereka. Kita perlu mendampingi, mengulurkan tangan, dan mendukung mereka. Sudah sepatutnya, kita menghargai privasi mereka dengan tidak bertanya terlalu dalam, seperti: apa penyebab perceraian orang tua mereka?  apakah ibu/bapak baru mereka bersikap baik? atau pertanyaan lainnya yang dapat melukai perasaan mereka. 

Kita tidak tahu bagaimana kondisi dan situasi mereka, apakah cukup stabil atau baik-baik saja untuk menjawab keingintahuan kita, meskipun kita memiliki kedekatan dengan mereka. Jangan pula menceritakan hal-hal buruk mengenai pengalaman keluarga sambung atau Patchwork Family yang lain. Bagaimana pun, tidak semua hal tentang  perpisahan membawa keterpurukan atau kehancuran. Justru kita perlu mengambil banyak pelajaran dari apa yang mereka alami. 

Tidak ada orang di dunia ini yang menginginkan perpisahan apalagi dengan keluarga yang dicintai yang telah melahirkan dan membesarkan kita ke dunia ini. Sudah sepatutnya kita menghargai kondisi kehidupan keluarga, terlepas dari apapun struktur keluarga tersebut. Semua orang itu berbeda dan tidak ada yang sama. Masalah yang  dihadapinya pun bervariasi dan tidak ada yang mirip. Kita tidak tahu, betapa sulitnya tumbuh di dalam keluarga baru. Kita tidak pernah tahu sudah berapa banyak usaha yang telah mereka lakukan. Saranku, kita mendoakan yang terbaik dan memberikan dukungan agar mereka dapat mencintai dirinya sendiri terlebih dulu baru kemudian orang lain di sekitarnya. 

Penulis: Fadni, tinggal di Jerman dan dapat dikontak via akun IG: @fadniiii.

(CERITA SAHABAT) Pengalaman Treatment PMDD di Amerika Serikat dan Finlandia yang Saya Alami

Nama saya Rika, tinggal di Helsinki bersama suami yang warga Finlandia dan dua anak laki-laki. Setahun belakangan ini hidup saya rasanya sibuk sekali karena sekarang saya kembali bekerja full time setelah dua tahun sempat vakum dari dunia tenaga kerja. Selain itu saya juga ikut kelas menari India di Helsinki dan seminggu sekali mengajar tari Indonesia di KBRI. Hampir setiap hari saya juga harus wara-wiri mengantar anak pergi dan pulang ekskul. Tiap-tiap anak jadwal latihannya empat kali dalam seminggu, belum termasuk turnamen yang sering diadakan di akhir pekan. 

Setelah melahirkan anak pertama saya mengalami postpartum depression. Si anak pertama memang termasuk “high need baby” yang tidurnya sedikit, nangisnya banyak, dan cuma bisa tenang jika disusui. Capek sekali rasanya jadi ibu baru. Setelah kejadian tersebut, memang rasanya saya jadi lebih mudah mengalami stres dan depresi.  Pada akhirnya di tahun 2018 saya mengalami depresi berkepanjangan dan memutuskan untuk mulai mengonsumsi obat antidepresi. Keadaan saya jadi lebih baik berkat obat antidepresi. Namun menjelang menstruasi tetap saja depresi saya kembali lagi walaupun kadarnya sedikit saja. 

Tahun 2019, suami saya ditugaskan ke Amerika Serikat selama dua tahun. Wuaaaa, rasanya bahagia sekali. Amerika ‘kan negara impian saya. Karena merasa terlalu bahagia, saya memutuskan untuk berhenti minum obat antidepresi. Optimis sekali hidup saya akan bahagia pol di Amerika. Lagipula, obat antidepresinya bikin saya jerawatan dan naik berat badan. ‘Kan sebel. 

6-8 bulan lepas dari antidepresi saya mulai menyadari bahwa setiap habis masa ovulasi, pasti saja mood saya memburuk. Bukan sekadar mood swings seperti PMS (premenstrual syndrome) biasa, tetapi benar-benar masuk ke keadaan depresi lagi. Kebetulan saya juga menderita mittelschmerz alias sakit nyeri ovulasi, jadi saya tahu persis kapan saya ovulasi. Seperti magic saja, mood saya berubah total sehari setelah ovulasi. Bagaimana merasakannya? Ketika bangun tidur ada perasaan berat di dada. Otak pun cuma bisa dipakai untuk memikirkan hal-hal negatif. Susah sekali buat merasa senang. 

Pandemi membuat keadaan saya jadi lebih parah. Keadaan terisolasi bikin depresi menjadi-jadi. Semakin lama, kondisi depresi saya semakin parah sampai kadang tidak sanggup untuk bangun dari tempat tidur. Semua terasa berat, melelahkan, menakutkan, bikin sedih, bikin marah, dan bikin putus asa. Jadi saya cuma bisa mengurung diri saja di kamar. Namun tiga hari setelah menstruasi, keadaan berubah total lagi. Saya bangun tidur dan hati rasanya ringan. Rasanya ingin ke dapur, bikin makanan enak-enak untuk keluarga. Ingin menghirup udara segar, ingin jalan-jalan, ingin ngobrol panjang lebar. Semua perasaan depresi tiba-tiba hilang. Sampai nanti setelah ovulasi, depresinya akan datang kembali.

Follow us: @ruanita.indonesia

Hidup saya pun jadi terbagi menjadi dua shift, masing-masing per dua minggu. Ketika lagi “normal”, saya banyak bikin rencana ini-itu. Namun begitu depresinya datang, langsung semuanya buyar. Sampai akhirnya saya nggak pernah lagi mau bikin rencana apa-apa. Mau baca buku saja jadi malas karena bacaannya jadi terbengkalai ketika depresi kumat dan akhirnya malah kena denda telat mengembalikan buku ke perpustakaan. 

Pertama kali ketemu dokter itu gara-gara depresi di akhir tahun 2018. Sebenarnya ini atas inisiatif suami: dia yang membawa saya ke puskesmas karena saya jadi gampang histeris kalau ada masalah. Di tahun 2021, saya kembali menemui dokter. Saat itu saya sedang tinggal di Amerika Serikat, dan PMDD (termasuk depresinya) kumat akibat pandemi. Kondisi ini yang mendorong saya kembali mencari bantuan profesional. 

Singkatnya sih, PMDD (premenstrual dysphoric disorder) itu adalah versi parahnya PMS. Kalau PMS umumnya perempuan mengalami mood swings, penderita PMDD malah mengalami depresi. Gejala PMDD nggak sekadar masalah mental. Umumnya juga merambah ke fisik seperti saya yang mengalami kram perut selama dua mingguan sejak ovulasi hingga hari kedua menstruasi. Jerawat juga wadaaaw… jangan ditanya. Mati satu tumbuh seribu.

Di Amerika urusan ketemu dokter jadi gampang berkat asuransi, termasuk dokter spesialis. Tidak tanggung-tanggung, saya ketemu dua dokter sekaligus: dokter umum dan spesialis ObGyn karena saat itu saya sudah curiga sepertinya yang saya alami adalah gejala PMDD. 

Mau cerita sedikit tentang kunjungan saya ke dua dokter tersebut. Dokter umum saya berteori kalau PMDD disebabkan karena underlying depression. Jadi kalau ingin menyembuhkan PMDD, depresinya yang harus diberesin. ObGyn saya berpendapat PMDD dan depresi itu seperti telur dan ayam: entah mana yang mulai duluan dan memberi efek ke yang lain. Sebelum memberikan treatment, beliau meminta saya untuk mengisi jurnal siklus menstruasi dulu selama 3 bulan. Jurnal ini merekam gejala-gejala umum PMDD. Tujuannya untuk melihat apakah gejala tersebut muncul secara sporadis, konstan, atau di waktu tertentu saja. Berkat jurnal ini jadi terlihat kalau memang gejala depresi maupun fisik (kram perut, jerawat) yang saya alami muncul di fase luteal hingga hari ke-2 atau ke-3 menstruasi. 

Kalau ditanya soal apa yang biasa dilakukan saat mengalami fase PMDD? Sayangnya karena terlalu tenggelam dalam keadaan depresi, saya jadi tidak melakukan apa-apa. Namun satu hal yang jelas: setelah minum obat, gejala PMDD saya sangat minim dan hampir seperti hari-hari normal lainnya. 

Ada beberapa peristiwa yang pernah saya alami saat PMDD terjadi. Kalau lagi masuk fase PMDD dan depresi memuncak, saya jadi takut menyetir mobil. Entah mengapa rasanya deg-degan terus dan akhirnya jadi banyak bikin kesalahan. Pernah suatu kali, saya banting setir ke kiri karena ada bunyi klakson. Gak tahunya, bukan saya yang diklakson. Tapi cuma dengar klakson saja sudah cukup bikin saya panik dan otomatis banting setir. Untung jalanan lagi sepi. 

Soal proses menerima kondisi PMDD ini, saya terpukul sekali waktu dokter bilang PMDD biasanya disebabkan oleh underlying depression. Waktu tahu soal PMDD, saya menyalahkan hormon atas keadaan depresi saya. Lega rasanya ada yang bisa disalahkan. Tapi setelah mendengar perkataan bu dokter, saya sempat terpuruk selama beberapa hari. Pikiran ‘ternyata memang saya yang depresi’ dan ‘memang saya yang gak beres’ terus berulang-ulang muncul. 

Yang kemudian sangat membantu adalah ketika beberapa teman bercerita kalau mereka juga didiagnosa depresi dan sama-sama minum antidepressant seperti saya. Segala pertanyaan “Why me?” dan pikiran yang menyalahkan diri sendiri langsung hilang. Siapa saja bisa depresi, entah apa pun alasannya. 

Saya baru mulai mencari informasi ketika muncul rasa heran: kenapa depresi saya munculnya menjelang menstruasi? Lewat pencarian google barulah saya mengenal istilah PMDD. Lalu karena malas sekali rasanya kembali minum obat antidepresi, saya berusaha mencari pengobatan alternatif. Kebetulan dokter umum saya di Amerika mempunyai pendekatan holistik dalam pengobatan dan beliau memberikan banyak masukan tentang mencoba akupunktur dan obat-obatan herbal yang bisa saya coba seperti misalnya St. John’s Wort dan chinese medicine yang katanya ampuh untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan hormon (yang sering kali dikaitkan dengan PMDD). 

Saya sempat datang ke klinik TCM (traditional chinese medicine) dan obat yang diresepkan cukup membantu. Pikiran jadi lebih tenang, kulit muka jadi bersih. Tapi terus kliniknya sempat tutup lama sekali ketika kasus pandemi memuncak. Pengobatan saya pun jadi berhenti di tengah jalan.

Untuk proses dan prosedur mendapatkan treatment depresi dan PMDD ini, di Finlandia sendiri penanganan untuk segala macam masalah kesehatan dimulai dari puskesmas. Jadi saya nggak bingung-bingung harus mencari bantuan ke mana. Walaupun saya lumayan kaget karena ternyata antidepressant saya diresepkan oleh dokter umum. Tidak perlu menemui psikiater. Dokter pun menjelaskan bahwa kasus-kasus tertentu saja yang dirujuk ke psikiater. Namun saya juga mendapatkan sesi terapi pendamping, kok. Ada perawat khusus yang menemui saya sebulan sekali untuk talk-therapy. Ini sifatnya optional dan pada akhirnya saya hentikan setelah dua kali pertemuan karena nggak enak kalau terlalu sering izin dari kantor. Waktu itu belum jamannya WFH (=Work From Home), sih. 

Untuk obat yang diresepkan, obat antidepresi standar seperti citalophram dan e-citalophram harganya murah sekali. Lebih murah dari Panadol. Waktu saya pindah obat ke Voxra, dokternya minta maaf karena obatnya mahal. Eh ternyata masih sangat terjangkau, kok. Terima kasih universal healthcare

Ketika tinggal di Amerika Serikat, untungnya kami punya asuransi yang lumayan bagus. Segala pengobatan ke dokter gratis, tapi biaya obat tidak ditanggung penuh walaupun mendapatkan potongan harga. Karena saya diresepkan dua jenis obat (antidepressant dan pil KB), bayarnya sungguh lumayan. Apalagi pil KB-nya, bahkan setelah diskon harganya hampir 60 dollar/pack. Di Finlandia, pil yang sama harganya 14 euro/pack. 

Asuransi kami juga menanggung psikoterapi, jadi saya sempat konsultasi rutin dengan psikolog seminggu sekali selama beberapa bulan. Ini hal yang sangat mewah karena kunjungan ke psikolog itu mahal sekali dan di Finlandia cuma kasus-kasus berat saja yang dirujuk ke psikolog maupun psikiater dengan biaya ditanggung negara. Kalau terapinya atas inisiatif sendiri, bayarnya sungguh bikin bangkrut. 

Banyak sekali pelajaran yang saya petik dari memiliki kondisi PMDD ini. Pertama, saya tidak lagi meremehkan PMS. Sebelum hamil saya tidak pernah mengalami PMS sampai-sampai saya kira PMS itu dongeng saja yang dijadikan alasan buat manja. Eh, taunya… sekarang saya malah dikasih PMDD. Penderita PMDD ataupun PMS berhak mendapat empati. 

Pelajaran lain berkaitan dengan depresi. Depresi tidak selalu terlihat dan pada umumnya orang nggak mau kelihatan depresi. Jangan kaget kalau dengar kabar seseorang menderita depresi. Gak usah bilang “Gak nyangka ya, kayanya hidupnya seneng-seneng terus“. Kalau ada teman yang tiba-tiba menghilang, yang jadi jarang ngumpul, coba cek keadaanya. Depresi bikin seseorang merasa helpless, insignificant, and even unloved. Just to know that someone cares helps A LOT! 

Gak perlu mikirin terlalu ribet, bagaimana membantu seseorang keluar dari depresi. Pada umumnya cuma profesional yang bisa membantu. Just. Be. There. Dan bantu dia mengerjakan hal-hal yang sulit dia lakukan sendiri seperti beli makanan, bersih-bersih rumah. Itu sudah sangat cukup dan berarti.

Satu lagi pelajaran yang sangat berarti: ternyata benar loh yang orang-orang bilang, kalau olahraga dan udara segar sangat ampuh untuk mengatasi depresi. Keadaan PMDD saya jadi lebih teratasi kalau saya lagi rutin berolahraga dan banyak-banyak keluar rumah. Terkukung di rumah dan kurang gerak sungguh pencetus depresi.

Penulis: Rika, tinggal di Helsinki. Bisa dihubungi di akun instagram @seerika.

(CERITA SAHABAT) Sayur Nangka Kering yang Diidam-idamkan

Lima tahun yang lalu setelah menikah saya pindah ke negara asal suami yaitu Swedia di tahun 2017. Tetapi, saat itu saya masih bolak-balik Indonesia dan Swedia karena anak pertama saya dari perkawinan sebelumnya masih tinggal di Banyuwangi. 

Baru di akhir tahun 2019 saya memutuskan untuk menetap di Swedia. Selain itu, di akhir tahun tersebut saya sudah bisa membawa anak pertama saya untuk ikut pindah ke Swedia. Anak pertama saya laki-laki dan sekarang sudah remaja berusia 17 tahun. Anak laki-laki saya saat ini melanjutkan sekolahnya di Swedia.

Setelah menetap di Swedia, saya sempat tiga kali keguguran. Akhirnya baru pada kehamilan ke empat di Swedia ini proses kehamilan saya berjalan dengan sehat dan lancar. Saya melahirkan bayi perempuan di akhir Desember 2021.

Selama hamil di Swedia ini, saya ngidam sayur nangka yang dimasak dengan santan seperti sayur lodeh. Sayur nangka ini kalau didiamkan berhari-hari akan kering. Nah, sayur nangka yang menjadi kering seperti inilah yang sangat ingin saya makan pada saat hamil. 

Selain sayur nangka kering, saya juga ngidam rujak buatan ibu saya. Tetapi, bukan rujak buah seperti yang dikenal umumnya. Melainkan, rujak dengan lontong. Kemudian ditambah dengan sayuran, kacang, dan petis. Rujak yang seperti dikenal di daerah asal saya di Banyuwangi dan di Jawa Timur pada umumnya. Orang di sana menyebutnya lontong kecap. Saya sendiri menyebutnya dengan rujak. Di Bali makanan ini lebih dikenal dengan sebutan tipat sayur.

Saya pernah mencoba membuat sayur nangka kering ini ketika hamil. Karena sulit untuk mencari nangka segar, akhirnya saya mencoba dengan nangka dalam kaleng yang saya dapatkan dari pasar swalayan. Tetapi rasanya jauh berbeda dengan rasa asli yang saya inginkan. Nangka dalam kaleng itu terasa asam. Sebenarnya nangka segar ini ada dijual di toko Asia. Nangka yang berasal dari Thailand. Tetapi mahal dan ketika saya ingin membelinya, nangka tersebut tidak tersedia. Setelah melahirkan saya melihat nangka segar itu di toko Asia, tetapi saya sudah tidak ingin membelinya lagi. Walaupun demikian sampai saat ini, setelah saya melahirkan, saya masih mengindamkan sayur nangka kering ini.

Sedangkan lontong kecap saya belum sempat untuk membuatnya selama hamil. Petis yang menjadi bahan penting dalam racikan bumbu untuk membuat lontong kecap tidak mudah didapatkan di Swedia. Sepertinya, saya belum pernah menemukan petis di sini. Akhirnya, rasa lontong kecap ini hanya bisa saya rasakan dalam mimpi saja.

Follow us: @ruanita.indonesia

Mungkin sekarang keinginan untuk makan sayur nangka kering tersebut lebih kepada keinginan diri. Sejak pandemi, saya belum pulang mudik ke Indonesia. Sehingga saya terobsesi dengan sayur nangka kering. Berita baiknya, saya akan mudik ke Indonesia akhir tahun ini. Jadi tentunya saya bisa memuaskan keinginan saya untuk makan sayur nangka kering.

 Untungnya di Swedia ini saya tetap bisa makan sambal karena saya menyukai makanan dengan cita rasa pedas. Bagi saya sambal wajib ada dalam menu sehari-hari. Cabai pun mudah di dapatkan di sini. Jadi selama hamil saya masih bisa menikmati makan dengan sambal. Ngidam sayur nangka dan lontong kecap yang tidak kesampaian menjadi cukup terobati.

Selama hamil jika ingin makanan Indonesia, saya tentu akan membuatnya. Terlebih saya sangat menyukai makanan yang pedas dan gurih. Seperti membuat ayam goreng krispi yang kemudian dinikmati bersama-sama sambal tomat. Selain itu saya juga membuat bakso balungan yang popular di daerah saya di Banyuwangi, walaupun rasa bakso balungan yang saya buat tidak bisa seotentik yang ada di Banyuwangi. Mungkin karena saya belum bisa meracik bumbu kuah baksonya agar lebih mendekati rasa aslinya. Walaupun tidak mendekati rasa aslinya, paling tidak bakso balungan buatan saya bisa sebagai pengobat rasa rindu.

Untuk mengatasi ngidam sayur nangka kering dan lontong kecap yang tidak kesampaian, saya banyak menonton video makanan dan memasak dengan bahan-bahan yang mudah didapat. Kehamilan saya kala itu secara umum juga mudah dan tidak ada keinginan yang aneh-aneh. Berbeda dengan kehamilan saya yang pertama.

Seperti umumnya perempuan di masa kehamilan pengaruh hormon bisa membuat kita lebih sensitif, walaupun saya tidak sampai membuat saya selalu menangis ketika mengalami ngidam ini. Lebih terbawa mimpi akan ngidam makanan yang tidak tersampaikan. Saya sering terbangun tengah malam karena teringat makanan.

Walaupun ngidam saya tidak kesampaian, tetapi anak saya tidak mengeluarkan air liur atau yang lebih dikenal dengan istilah ileran atau ngeces seperti yang banyak dibilang orang-orang. Anak saya mengeluarkan air liur ketika pilek dan giginya mau tumbuh. Padahal sebelumnya saya sempat siap-siap membeli apron yang biasa dipakai di leher bayi ketika makan untuk menampung air liurnya mengingat ngidam sayur nangka kering yang tidak kesampaian. Jadi sepertinya pandangan umum kalau ngidam tidak kesampaian maka anaknya akan sering mengeluarkan air liur adalah mitos belaka.

Saya beruntung karena suami saya adalah suami siaga selama masa kehamilan ini. Dia selalu siap untuk memenuhi keinginan saya. Jadi suami sering mengantarkan dan menemani saya ke pasar swalayan misalnya untuk membeli apa yang saya inginkan. Selain itu juga sabar dalam menghadapi mood saya yang naik turun selama hamil.

Pengalaman ngidam di masa hamil di negeri asing ini memberi saya hikmah untuk lebih bersabar dalam menghadapi keterbatasan seperti tidak mendapatkan makanan yang diinginkan dan tidak ada orang lain yang membantu di rumah selain suami. Tidak seperti di Indonesia di mana kita bisa meminta bantuan orang-orang terdekat kita dengan mudah. Juga lebih mudah bersyukur dan menghargai apa yang kita punya saat ini yang mungkin di masa yang lalu kita taken for granted

Pesan saya untuk perempuan-perempuan Indonesia yang mengalami kehamilan di luar negeri untuk tetap semangat. Jangan lupa mengkomunikasikan apa yang kita perlukan ke suami walaupun kita juga perlu dan harus mandiri. Juga mengkomunikasikan ketika kita capai dengan segala urusan rumah tangga agar kita bisa melalui masa kehamilan dengan aman dan nyaman.

Penulis: Dina Diana, Mahasiswa S3 di Jerman yang mewawancarai seorang Mita Seviana, yang tinggal di Lund – Swedia. Mita sehari-hari adalah ibu rumah tangga dan pengelola dari kanal YouTube: Family Indonesia Sweden.

(CERITA SAHABAT) Procrastination Bukan Malas

Halo Sahabat RUANITA semua, perkenalkan nama saya Tyka. Saya sekarang menetap di Barcelona, Spanyol. Saya berasal dari Bali, kemudian menetap di negeri matador ini lebih dari sepuluh tahun. 

Sehari-hari saya adalah ibu rumah tangga, tetapi saya tidak mau tinggal diam. Saya juga mengembangkan bisnis di bidang pariwisata. Saya bertugas sebagai Business Development dalam usaha tersebut. Usaha tersebut memberikan saya banyak kesempatan, termasuk bertemu dengan berbagai orang dari berbagai karakter dan kebiasaan kerja. 

Berikut saya bagikan sepenggal cerita, tentang pengalaman suka duka bertemu dengan berbagai orang seperti orang yang suka menunda pekerjaan/tugas. Menurut saya, menunda tugas/pekerjaan adalah kebiasaan buruk. Hal itu tentu saja membuat saya kecewa, kesal kadang marah dengan kebiasaan tersebut. 

Baik sengaja maupun tidak disengaja, terkadang kita tidak menyadari kebiasaan menunda tugas/pekerjaan tersebut. Dan itu bisa terjadi pada siapapun, dalam berbagai bidang pekerjaan dan posisi jabatan loh. 

Menurut saya, kita tidak bisa mengatakan kalau orang yang sering kali menunda pekerjaan/tugas itu adalah orang pemalas. Itu beda sekali. Anak-anak milenial sekarang menyebutnya adalah Procrastination. Saya tahunya hanya suka/sering menunda pekerjaan/tugas saja.

Orang yang malas adalah orang yang tidak melakukan apapun tugas/pekerjaannya dan dia merasa oke saja dengan hal tersebut. Namun, orang yang suka menunda pekerjaan seperti Procrastination yang disebut anak milenial itu adalah orang yang memiliki keinginan untuk melakukan tugas/pekerjaannya tetapi tidak bisa melakukannya. Alasannya bisa beragam.

Follow us: @ruanita.indonesia

Kita tidak bisa menghakimi seseorang, mengapa dia menunda tugas/pekerjaan, bisa saja dia sibuk. Namun orang yang sering/suka menunda pekerjaan menurut para ahli, mungkin saja dia tidak merasa percaya diri dengan tugas/pekerjaan yang diberikannya. Ada loh orang yang suka meragukan kemampuannya sendiri. Alasan lainnya, kita tidak pernah tahu kalau tugas/pekerjaan yang diberikan padanya itu membuat orang tersebut merasa bersalah.  

Sahabat, kita harus memahami latar belakang mengapa seseorang itu sering kali menunda tugas/pekerjaan yang diberikan kepadanya. Kalau saya berpendapat, hal itu biasanya kesalahan mengelola waktu. Ada loh orang yang tidak bisa memilih tugas mana yang harus diselesaikan dulu dan mana yang harus diberi nomor dua, tiga, empat dan seterusnya.

Artinya, orang yang suka menunda tugas/pekerjaan bisa jadi dia tidak tahu bagaimana memberi prioritas pada pekerjaannya sehingga pekerjaan diberikan tidak tepat waktu. Bisa jadi orang menjadi stres tinggi atau sakit saat melihat tumpukan pekerjaan, kemudian muncul pada perasaan negatif yang membahayakan yaitu malas. 

Tentu ini membuat image negatif terhadap orang tersebut seperti dicap kurang bertanggung jawab. Cap ini tentu membuat kita juga kurang mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Kalau sudah kurang kepercayaan dari orang lain atau atasan di tempat kerja, tentu peluang kita untuk berkembang sebagai pribadi menjadi kecil. Malahan kita menjadi kehilangan kesempatan atau peluang yang membuat karir kita maju. Itu cuma gara-gara kita sering kali menunda pekerjaan/tugas loh. 

Buat sahabat RUANITA semua, saya bagikan tips bagaimana agar kita terhindar dari kebiasaan buruk menunda tugas/pekerjaan berdasarkan pengalaman saya. Sebelum tidur biasanya saya selalu siapkan kertas dan pulpen untuk me-review  hal-hal yang sudah saya lakukan pada hari tersebut.

Tak sampai situ saja, saya juga menulis hal-hal yang akan saya lakukan di hari berikutnya secara detil. Boleh dibilang, ini seperti jurnal harian yang membantu saya memilih atau memilah tugas yang jadi prioritas saya. Mana sih tugas yang harus diselesaikan duluan besok hari. Saya akan beri nomor urut dalam jurnal saya tersebut. 

Saya tempelkan di samping cermin yang ada di kamar mandi. Mengapa? karena ini memudahkan saya untuk bisa melihatnya setiap kali saya bangun tidur. Dengan memiliki jurnal atau agenda harian, sesibuk apapun itu akan menjadi support kita. Kita tentu akan  bersemangat menyelesaikan tugas tersebut dengan baikSebagai pemula, saya tahu hari pertama itu mungkin sulit. Namun saya terus melakukannya terus menerus sehingga menjadi kebiasaan dan terbiasa. Demikian sharing pendapat dan pengalaman saya. Terima kasih.

Penulis: Tyka Karunia, tinggal di Barcelona, Spanyol. Pengelola @fiindolan.id dan @mypasportmyparadise dan @wiracana_handfan.

(CERITA SAHABAT) Aku Bahagia Saat Kamu Bahagia

Saat mendapatkan tugas menulis dengan tema „caraku berbahagia“, saya merasa akan „garing“ jika hanya menceritakan tentang saya. Oleh karena itu, saya membuat kuesioner mini dan meminta 10 sahabat Ruanita untuk ikut berbagi cerita.

Saya membagi kuesioner ke dalam delapan pertanyaan. Pertanyaan pertama saya klise sekali: pekerjaan. Saya ingin tahu pekerjaan apa yang bisa membuat orang bahagia, karena saya yakin pasti ada responden yang menyebutkan bekerja sebagai salah satu aktivitas yang membahagiakan.

Ternyata benar. 50% Responden mengaku bahagia saat bekerja. Pekerjaan mereka beragam. Ada pekerja kantoran, peneliti, psikolog, dan sebagainya. Kesimpulannya, apa pun pekerjaannya kalau melakukan pekerjaan yang sesuai dengan minat maka rasanya akan selalu senang saat bekerja. 

Kegiatan paling utama, menurut responden, yang memberikan kebahagiaan adalah melakukan hobi dengan 100%. Nonton serial dan jalan-jalan atau traveling berada di posisi kedua dengan 90%. Saya termasuk ke dalamnya juga. Terlebih lagi, tinggal di Jerman memungkin saya untuk jalan-jalan ke kota-kota di Jerman atau negara-negara Eropa lainnya tanpa mengeluarkan banyak uang dan waktu. Saya merasa senang sekali melihat tempat baru, belajar kebudayaan, bahasa lain, dan makan makanan khas mereka.

Posisi ketiga dengan 80% adalah makan makanan enak dan menghabiskan waktu dengan keluarga atau teman. Makan makanan lezat adalah salah satu hal kecil yang membuat saya bahagia, terutama jika makanan tersebut saya buat sendiri.

Seorang kenalan pernah mengajak saya ke sebuah kafe yang menyajikan carrot cake yang enak sekali. Saya jadi sangat penasaran. Setelah mencari resep di internet, saya membuat carrot cake super enak (bahkan lebih enak dari pada di cafe tersebut!).

Saya merasa saya bahagia sekali setiap membuat carrot cake, menikmatinya, dan juga berbagi ke orang-orang terdekat saya. Hal yang membuat saya bahagia cukup sederhana, yakni: melakukan hobi masak, bikin kue, makan makanan enak, bersama orang terdekat, dan berbagi.

Memberikan sumbangan atau membantu orang berada di posisi kedua sebagai cara untuk berbahagia. Begitu juga memiliki materi (bergaji besar atau memiliki properti) dan bermain dengan hewan peliharaan. Tidak hanya itu, banyak juga yang berpendapat mereka bahagia jika pasangan bahagia.

Pilihan terakhir ini saya masukan ke dalam jawaban di kuesioner disebabkan hal itu disebut dalam website-website yang saya buka saat sedang mencari tips berbahagia. Benar loh, 70% respon mengakui mereka bahagia jika pasangan berbahagia. Jadi kalau ada orang bilang, „aku bahagia jika kamu bahagia“ bukan hanya kata-kata manis rayuan semata, ya. Memang kebahagiaan pasangan adalah sumber kebahagiaan kita juga.

Follow akun IG: @ruanita.indonesia

Selain itu, menikmati pemandangan juga bisa memberikan kebahagiaan. Pernah tidak sih, tanpa sadar kita tersenyum dan merasa senang saat melihat matahari terbit atau tenggelam, atau hanya melihat gunung dan pantai yang indah sekali? 

Saat membuat kuesioner dan menuliskan Cerita Sahabat ini saya masih berpikir tentang lawan kata atau mungkin lawan perasaan dari bahagia seperti: marah, sedih, takut, dan sedikit dari perasaan-perasaan yang mengindikasikan ketidakbahagiaan.

Ini juga alasan saya, saat lebih memilih menuliskan frasa “tidak bahagia” dibandingkan menuliskan pilihan perasaan negatif. Dahulu saat saya masih kuliah di Jatinangor, saya berjalan kaki malam hari dari depan Unpad sampai Cileunyi saat saya sedang merasa sedih dan cemas. Untuk yang tahu Jatinangor, pasti hafal jalan rayanya yang 24 jam dilalui bukan hanya mobil, tetapi juga truk dan bus antar kota, dan tidak punya trotoar yang layak.

Kaki saya rasanya siap untuk berlari dan pikiran saya acak-acakan. Selama berjalan kaki saya merasakan tenaga saya dan pikiran-pikiran yang kacau di kepala saya berkurang sedikit demi sedikit. Setelah itu, saya akan merasa rileks dan letih.

Sampai sekarang, hal ini masih saya lakukan. Jika merasa tidak bahagia, saya akan berjalan sampai saya capai, lalu pulang dengan kendaraan umum. Sejak belajar tentang kesadaran penuh (mindfulness), saya akan mempraktikkannya setelah membiarkan pikiran saya mengembara selama fisik saya bergerak. 

Dalam kuesioner saya memasukan beberapa pilihan cara berbahagia saat sedang tidak merasakannya. Hanya 60% responden yang melakukan hobi saat tidak bahagia. Padahal semua responden mengaku hobi adalah kegiatan yang membuat bahagia.

Seorang teman saya bilang, hobi bukanlah hal yang ia lakukan saat sedang tidak bahagia dengan harapan akan menjadi bahagia. Baginya, hobi dilakukan untuk dinikmati dan harus dilakukan memang saat sedang merasa senang. Dia tidak akan bisa menikmati hobinya jika perasaannya sedang tidak bahagia. Menurut kalian bagaimana, Sahabat Ruanita?

Jika 80% responden mengatakan makan makanan enak membuat bahagia, tetapi hanya 60% responden mencari makanan enak saat sedang tidak bahagia. Saya termasuk orang yang mencari comfort food saat saat sedang tidak bahagia, tetapi kehilangan nafsu makan jika tingkat kesedihan atau kecemasan saya sangat tinggi.

Jadi kalau saya sedang ada masalah dan tidak nafsu makan, tapi tiba-tiba merasa lapar, itu berarti stres saya sudah mulai berkurang. Oh iya, saat tahun lalu saya sedang depresi dan dalam pengobatan, saya menggunakan makanan untuk mengisi kekosongan dan pelampiasan.

Sayangnya comfort food saya adalah makanan berminyak, bergula, bergaram alias tidak sehat. Hasilnya jarum timbangan loncat jauh ke arah kanan. Kebahagiaan yang saya rasakan dari nikmatnya makanan juga tidak bertahan lama. Selain itu, saya bangkrut juga karena jajan hampir setiap hari. Namun apakah hal ini membuat saya berhenti untuk menikmati comfort food saya sedang tidak bahagia? Tidak. Saya masih tetap mencari comfort food saya saat sedang sedih atau marah. Menurut saya, kebahagiaan lebih penting, tetapi sekarang saya tahu resikonya. Oleh karena itu, saya harus lebih banyak bergerak.

Tidur adalah cara yang dipilih oleh 80% responden untuk „lari “ dari ketidakbahagiaannya. Saya punya dua orang teman dekat yang bisa tidur sampai lebih dari 12 jam saat merasa sedih. Mereka bilang, saat bangun mereka akan merasa lebih santai, walau masalah yang mereka hadapi belum selesai.

Salah satu dari mereka sempat berkonsultasi ke dokter tentang hal tersebut. Jawaban dokternya cukup singkat, „kebanyakan tidur tidak masalah dari pada tidak bisa tidur. Banyak orang yang tidak bisa tidur saat sedang sedih, jadi Anda tidak perlu khawatir“.

Jawaban ini tentu saja membuat lega sahabat saya itu. Dia sekarang bisa kebanyakan tidur tanpa merasa bersalah lagi. Saya sebaliknya, jika sedang ada masalah, saya akan lebih banyak pikiran (overthinking) yang membuat saya susah tidur. Walaupun tidur, otak saya masih bekerja dan memberikan mimpi tentang masalah tersebut.

Tidur bukan pilihan saya untuk keluar dari kesedihan. Beruntung sekali orang-orang yang bisa tidur pulas dan lama untuk kabur sejenak dari ketidakbahagiaan.

Selain melakukan hobi, makan makanan enak, dan tidur, hal lain yang menjadi alternatif untuk dilakukan saat sedang tidak bahagia adalah olahraga, menghabiskan waktu bersama teman dan keluarga, curhat ke orang lain, melakukan meditasi, berdoa, dandan atau pakai baju warna cerah agar suasana hati juga ikut cerah, pergi belanja atau window shopping di mall, atau menonton video streaming.

Hal terakhir ini juga yang saya lakukan jika sedang tidak bahagia atau sedang banyak hal yang dipikirkan. Saya melakukan ini untuk mendistraksi diri saya untuk tidak lebih banyak pikiran. Kalau video atau film dimatikan, pikiran saya jadi ke mana-mana lagi. Saya jadi teringat lagi dengan masalah dan saya jadi tidak bahagia lagi. Biasanya sambil nonton saya akan melakukan hobi merajut saya yang bikin bahagia, terutama jika saya selesai mengerjakan proyek rajut.

Hal-hal yang disebutkan di atas sebenarnya adalah trik yang saya lakukan secara pribadi. Saya pernah mencoba semuanya saat saya sedang tidak bahagia dan semuanya berhasil membuat saya kembali bahagia walau sebentar. Mungkin yang paling efektif untuk saya adalah melakukan hobi menulis saya.

Sering kali isi blog pribadi saya bernuansa sedih, karena menjadi pelampiasan kesedihan saya. Misalnya, ketika anggota keluarga saya meninggal dunia, saya banyak menulis tentang mereka di sana. Saat patah hati juga, saya akan menulis tentang hal tersebut di sana. Perasaan saya akan menjadi lebih baik dan beban saya seperti berkurang setelah saya selesai menulis, apalagi jika selama menulis ditemani lagu mellow. Selain menulis, untuk melawan kesedihan, saya juga akan menelepon sahabat saya untuk curhat. Selesai bercerita dan mendengarkan masukan dari dia, saya menjadi lebih tenang dan bersemangat kembali.

Di dalam kuesioner, saya juga memasukan pertanyaan, „hal yang paling membahagiakan di tahun 2022”. Idenya sederhana saja, saya yakin kita akan bahagia hanya dengan mengingat peristiwa membahagiakan yang pernah kita alami. Setiap hari saya juga berusaha untuk menuliskan tiga hal membahagiakan saya pada hari itu di buku harian saya (gratitude journal). Kelak bisa saya baca ulang jika sedang sedih, hanya ingin merasakan kebahagiaan itu lagi, atau sebagai pengingat seberapa buruknya hari yang kita lalui pasti ada yang membuat senang juga. Saat saya sedang di psikiatri, psikolog-psikolog kami juga menyarankan melakukan hal tersebut. Sudah terbukti nih, cara tersebut memang berfungsi.  

Kembali ke kuesioner, saat membaca jawaban dari pertanyaan „hal yang paling membahagiakan di tahun 2022“, saya ikut senyum-senyum senang juga. Ada responden yang menjawab dengan membawa keluarga liburan ke Jerman, bertunangan dengan kekasih setelah lima tahun bersama, merasa dicintai, bertemu keluarga di Indonesia, belajar hal baru yang sudah diidam-idamkan sejak dulu, mengetahui kehamilan, masih bisa bersama keluarga, dan menyadari penyertaan Tuhan yang begitu besar dalam hidup.

Saya merasa ikut senang saat baca ini semua, bukan? Di tahun 2022 banyak sekali yang terjadi dengan saya. Namun, hal yang paling membahagiakan adalah saat saya sembuh dari OCD (Obsessive Compulsive Disorder) bulan September lalu setelah mengikuti terapi selama lima hari. Kesembuhan ini lebih membahagiakan dari pada saat saya menikah awal tahun 2022! 

Kesehatan memang sebuah urusan yang sangat penting dan hal yang patut disyukuri. 90% Dari responden kuesioner mempunyai pendapat yang sama ketika menjawab pertanyaan tiga hal yang disyukuri dalam hidup. Semua responden menjawab keluarga dan teman adalah hal terpenting.

Setengah dari jumlah keseluruhan responden menjawab pekerjaan dan materi termasuk ke dalam hal yang mereka syukuri. Sedangkan penampilan hanya direspon oleh satu orang responden. Apa pun itu, saya yakin, semua hal yang kita syukuri juga berlaku sebagai sumber kebahagiaan kita.

Bagaimana dengan Sahabat Ruanita, apa sumber kebahagiaan kamu?

Penulis Mariska Ajeng Harini, penulis di http://www.mariskaajeng.com

(CERITA SAHABAT) Kebiasaan Phubbing Ajariku Beradaptasi dengan Situasi

Aku sangat suka membaca. Saking sukanya, aku harus membaca saat sedang makan. Dulu saat masih di Indonesia, aku membaca buku fisik. Namun, saat aku pindah ke Jerman, aku berpaling pada e-book. 

Selain e-book praktis, aku juga bisa membaca buku-buku yang dulu aku punya di Indonesia yang tidak tersedia secara fisik di Jerman. 

Kebiasaan ini aku bawa sampai Jerman. Saat aku masuk universitas, aku banyak menghabiskan waktuku sendirian, terutama saat makan. Aktivitas membaca sambil makan ini adalah salah satu caraku untuk tidak merasa kesepian saat makan sendirian, karena sahabatku tidak memiliki jadwal kuliah yang sama sepertiku.

Follow us: ruanita.indonesia

Saat aku sendirian, mungkin kebiasaan itu tidak terlalu mengganggu. Namun itu menjadi masalah saat kebiasaan itu terbawa bahkan jika aku sedang bersama sahabatku. 

Sahabatku merasa terganggu dengan kebiasaanku itu karena saat bersamanya, aku malah asyik dengan Handphone atau ipad. 

Tidak tahan lagi, akhirnya sahabatku memberikan ultimatum. 

“Nad, gue ketemu sama lo karena gue mau ngobrol dan ngabisin waktu sama lo,” dia bilang.

“Tapi gue merasa nggak dihargai karena lo malah sibuk baca novel. Janji ya, kalau lagi keluar sama gue lo gak boleh buka hp atau ipad, lo harus ngobrol sama gue. Kalau nggak, gue nggak mau lagi main sama lo!” lanjutnya lagi. 

Jujur, aku merasa tidak enak hati. Aku tidak bermaksud untuk tidak mempedulikan sahabatku itu. Namun dengan ultimatum itu, aku jadi sadar dengan kebiasaan burukku. Padahal dari dulu keluargaku suka menasehati kebiasaanku itu tetapi aku tidak menghiraukannya.

Sejak saat itu, saat aku keluar bersama orang lain. Sebisa mungkin aku tidak akan membuka hape atau ipad. Aku hanya membuka hp atau ipad saat aku menghabiskan waktu sendirian atau dengan suamiku. Bagaimana pun suamiku memiliki kebiasaan yang sama denganku, yaitu baca e-book sambil makan. 

Efek baiknya, aku tidak terlalu lagi terobsesi dengan hape atau ipad seperti dulu. Akupun menjadi lebih aware dengan karakter orang yang pergi bersamaku dan bisa lebih mencocokkan diri dengan mereka. 

Penulis: Nadia, tinggal di Jerman.

(CERITA SAHABAT) Saya Tidak Egois dengan Mencintai Diri Sendiri

Tahun 2021 mungkin adalah tahun terberat bagi saya, diawali ketika saya terkena virus Corona lalu episode depresi yang disusul dengan diagnosa gangguan kecemasan sosial dan OCD yang saya dapat di awal pengobatan di klinik psikiatri. Walau menjadi tahun terberat, namun saya juga belajar banyak hal dari semua itu, terutama tentang cinta diri sendiri. Mungkin jika saya tidak tidak terkena depresi, saya tidak pernah tahu kalau selama ini saya tidak mencintai diri saya sendiri.

Saya dulu termasuk ke dalam orang yang sering membandingkan diri dengan orang lain. Mengapa orang lain bisa mendapatkan kerja di tempat yang saya inginkan, tapi saya tidak. Mengapa orang lain sudah punya keluarga dan bahagia, sedangkan saya masih sendiri. Mengapa mereka sukses, tapi saya tidak. Pikiran-pikiran ini membuat saya tidak bahagia dan belakangan saya baru tahu, kalau ini adalah salah satu gejala tidak mencintai diri sendiri. Saya harus berhenti untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain, karena semua orang punya waktu dan berada di tempat yang berbeda. Tidak hanya itu, kita juga tidak pernah tahu apa yang orang lain pernah lalui untuk bisa sukses seperti yang kita lihat. 

Sekarang saya mencoba untuk berhenti membandingkan diri dengan orang lain, terlebih lagi soal pekerjaan atau kesuksesan, apa lagi sekarang saya tahu ternyata saya mempunyai gangguan kecemasan sosial yang membuat saya menghindari beragam kesempatan yang mungkin bisa membuat saya menjadi orang sukses. Sekarang tugas saya sebagai bagian dari cara mencintai diri sendiri adalah dengan rajin terapi untuk mengurangi kecemasan yang sudah “menemani” saya hampir seluruh hidup saya. Tidak hanya kecemasan, terapi juga akan membantu saya mengatasi masalah lain dalam diri saya dan membantu meningkatkan kepercayaan diri saya yang kurang. Semua itu adalah usaha saya untuk lebih kenal dan cinta diri sendiri. Seperti kata pepatah, tidak kenal maka tidak sayang 😊

Saat berada dalam episode depresi saya sangat ingin diperhatikan oleh orang-orang terdekat saya. Waktu itu saya pikir, jika mereka benar perhatian dengan saya, seharusnya saya juga bisa menjadi prioritas mereka. Saya rasa itu adalah pertama kalinya saya mempunyai pikiran seperti itu, biasanya saya akan memprioritaskan orang lain, seberapa sibuk dan capainya saya. Jika orang-orang terdekat saya butuh bantuan, pasti saya akan langsung sanggupi. Saya tidak tahu kalau itu juga salah satu dari ciri tidak cinta diri sendiri, jadi secara natural pikiran dan perasaan saya yang ingin diprioritaskan oleh orang lain pun muncul.

Saya dulu tidak bisa bilang tidak, kesulitan mengutarakan pendapat dan kebutuhan saya. Saya sempat tegang dengan sahabat saya, karena dia menelepon untuk menanyakan kabar saya tapi ujung-ujungnya malah bercerita tentang masalahnya sendiri. Setelah beberapa hari, saya akhirnya bisa berbicara dengan dia. Untungnya dia mengerti, bahkan dia, yang saat itu punya anak berumur satu tahun, mau main ke rumah saya yang jaraknya sekitar satu jam dari rumah dia. Saya merasa diperhatikan dan diprioritaskan olehnya, saya senang. Sekarang saya berusaha mendengarkan diri saya sendiri. Saya tidak lagi main ke rumah teman karena permintaan mereka, tapi karena keinginan saya.

Jika saya merasa menjadi penengah di antara dua orang adalah kewajiban, maka saya akan mundur, karena itu sekarang saya mengerti itu bukan urusan saya walau mereka minta. Saya juga penting, saya juga harus diprioritaskan, paling tidak oleh saya sendiri. Saya juga tidak egois dengan ingin diprioritaskan.

Follow us: ruanita.indonesia

Oh iya, mengungkapkan pendapat sendiri ke orang lain juga bentuk self-love. Saya sebagai orang dengan gangguan kecemasan sosial (dulu) sangat jarang atau hampir tidak pernah bilang apa yang saya pikirkan. Sering kali ketika ngobrol dengan orang lain dan berada di tema yang yang ingin saya bicarakan tapi saya diam saja, karena mengira lawan bicara saya sedang butuh untuk bercerita.

Saya mengalah. Tidak memprioritaskan diri sendiri. Biasanya yang terjadi dengan saya adalah malam hari saya akan mengulang kejadian tersebut namun dengan adegan saya berbicara apa yang ingin saya katakan. Jika saya tidak beruntung, adegan ini akan terulang berkali-kali, bisa jadi sampai mengganggu jam tidur saya.

Bagi saya mencintai diri sendiri juga berarti menerima bentuk tubuh saya. Sedari kecil saya selalu mendengar orang lain bilang saya gendut dan membuat saya tidak suka dengan diri sendiri juga rendah diri. Tidak hanya itu, saya merasa saya jelek. Padahal jika saya menjadi sahabat saya, saya akan bilang ke saya kalau saya tidak gendut. Buktinya, bagaimanapun bentuk tubuh saya, akan ada saja orang yang bilang saya gendut.

Memberikan dukungan fisik ke diri sendiri adalah bentuk dari penerimaan dan kecintaan terhadap diri sendiri. Saya punya seorang sahabat yang selalu meminta saya untuk menguruskan badan hampir setiap kali kami bertemu, sampai-sampai setiap akan bertemu dengannya saya akan membuat adegan dengan dialog antara saya dan dia yang akan menyinggung tentang bentuk tubuh saya dan ‚menyarankan‘ saya untuk kurus.

Sejujurnya, hal tersebut tidak memotivasi saya dan saya memang tidak pernah termotivasi untuk mempunyai tubuh kurus. Bagi saya yang terpenting adalah kesehatan, sebesar atau sekecil apapun tubuh seseorang. Ingat, bentuk tubuh kita tidak memengaruhi nilai diri kita. Jika orang lain bermasalah dengan bentuk tubuh kita, dia bukan orang yang baik untuk kita. 

Selama 24 jam setiap hari tubuh kita berfungsi sesuai dengan yang kita inginkan dan dia harus kita jaga. Sayangnya mencintai tubuh masih kurang saya lakukan. Saya masih kurang gerak dan (sejak depresi) hampir tidak pernah olah raga dan asupan makan saya juga tidak sehat. Saya masih makan makanan instan yang banyak sodium dan lemak jika mood saya sedang jelek atau malas masak, padahal itu semua bukan hal yang dibutuhkan oleh tubuh saya.

Tubuh saya maunya makannya penuh gizi dan vitamin, juga ingin berolah raga agar lemak kelak tidak menyumbat pembuluh darah atau mengganggu aktifitas organ lain. Tidak hanya itu, kebersihan badan juga harus diperhatikan. Ada orang yang malas sikat gigi, padahal selain tidak higienis, kesehatan gigi dan mulut juga penting.

Gusi yang tidak sehat bisa memengaruhi kesehatan jantung. Oh iya, tapi saya rajin kontrol ke dokter sebagai bentuk mencintai dan berterima kasih kepada tubuh saya. Tahun ini saya melakukan serangkaian kontrol dengan dokter saya karena ada nilai darah saya yang tinggi. Saya juga rajin membersihkan gigi secara profesional untuk pencegahan sakit gigi dan lainnya. 

Sekarang ini saya sedang belajar untuk baik atau jangan terlalu keras ke diri sendiri. Sebelumnya jika saya mengalami kegagalan atau melakukan kesalahan, saya akan beat myself up dengan cara mengkritik, misalnya dengan memberi julukan ‘jelek’, ‘bodoh’, ‘gendut’, dan sebagainya. Saya juga melihat hasil bukan proses, karena itu saya akan merayakan kesuksesan dan mengkritik diri sendiri untuk kegagalan, padahal proses juga penting: saya sudah berusaha keras dan itu sebenarnya yang lebih penting untuk dirayakan.

Tips dari terapis saya jika saya mulai mengkritik diri sendiri, saya bisa bayangkan saya (si pengkritik) berada di pundak kiri lalu saya hempaskan dengan tangan kanan saya agar dia hilang. Tidak hanya itu, kita juga bisa membayangkan menjadi sahabat kita, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, dengan mengatakan yang baik-baik ke diri sendiri. Jika kita mengalami kegagalan atau melakukan kesalahan, tidak mungkin sahabat kita akan mengkritik kita, sebaliknya mereka akan sangat baik kepada kita dengan memberikan motivasi atau sekedar bilang, kita sudah berusaha dengan maksimal.

Menjadi sahabat bagi diri kita sendiri adalah salah satu bentuk cinta diri sendiri. Tidak hanya itu, mengizinkan diri kita melakukan kesalahan juga cinta diri sendiri. Kita boleh melakukan kesalahan, bahkan itu hal normal yang terjadi oleh setiap orang. Jangan hanya orang lain yang dimaafkan, tapi diri sendiri juga harus dimaafkan. 

Mencari kesempurnaan juga musuh dari self-love. Saya pribadi, keras ke diri sendiri karena saya ingin melakukan hal dengan sempurna, padahal balik lagi ke atas: yang penting prosesnya bukan hasil. Karena saya merasa harus sempurna, saya sering kali tidak melihat prestasi yang sudah saya raih. Ah tidak, bagi saya itu bukan prestasi namun hal biasa yang semua orang bisa raih, begitu pikir saya. Biasa saja, karena tidak sesuai dengan saya harapkan, misalkan saya pernah mendapatkan beasiswa dari kampus, tapi hanya dua bulan.

Kata lawan “tapi” di belakang koma itu selalu saya sebut karena menurut saya hal itu bukan hal istimewa. Seharusnya beasiswa satu tahun, bukan hanya dua bulan. Oleh terapis saya pernah diminta untuk menuliskan prestasi-prestasi saya, sekecil apa pun itu, misalnya bisa bikin kue tertentu walau di percobaan kesembilan. Ternyata saya punya sederet prestasi baik besar maupun kecil yang sayangnya tidak pernah benar-benar saya membuat saya puas. Saya masih berjuang untuk puas dengan apa pun yang saya raih, seberapa lama dan sebentarnya waktu yang butuhkan dan seberapa besar atau kecilnya hal tersebut.

Sedari kecil saya sayangnya bukan orang yang rapi. Sampai sekarang saya masih susah sekali menjaga kerapian tempat tinggal, walau kebersihan bisa hampir dipastikan terjaga. Saya rajin menyedot dan mengelap debu, tapi malas sekali untuk meletakan barang di tempatnya. Saya pikir tinggal di tempat rapi dan bersih adalah bentuk penghargaan terdapat diri sendiri.

Di mana kita pantas untuk tinggal, apakah di tempat kotor dan berantakan? Tentu tidak, bukan? Kita pantas untuk tinggal di tempat yang bersih dan rapi, yang membuat kita nyaman untuk hidup. Jangan takut juga untuk membuang barang-barang yang tidak kamu butuhkan, dari pada hanya membuat tempat tinggalmu penuh barang. Jika kamu mirip seperti saya yang berantakan, yuk, kita berusaha berubah! Kita hidup di lingkungan yang layak untuk kita.

Menurut saya, mencari pertolongan ke orang lain juga bentuk dari cinta diri sendiri. Saya adalah orang yang malu untuk minta tolong orang lain. Saya merasa diri saya lemah jika harus minta tolong orang lain, selain itu juga tidak mau merepotkan orang lain. Suami seorang sahabat saya pernah berkomentar, jika saya benar menganggap mereka penting dalam hidup saya, saya pasti tidak akan malu-malu untuk minta tolong ke mereka.

Sebenarnya bukan itu alasan saya, saya hanya khawatir merepotkan mereka. Padahal mengakui bahwa kita butuh bantuan dan berbicara dengan orang lain tentang masalah kita bisa membantu mengurangi beban kita, bahkan mungkin membantu mengatasi masalah tersebut. Dulu saya lebih suka menangis di kendaraan umum, dari pada pergi ke teman, cerita tentang kesedihan saya, dan menangis di depan mereka. Tidak apa-apa, kok, kita tidak mampu mengerjakan sesuatu. Tidak apa, kok, meminta orang membantu kita. Kita tidak dilahirkan untuk selalu memberikan bantuan, tapi juga sebaliknya, menerima bantuan orang lain.

Selain semua hal yang sudah saya sebutkan di atas, penting juga untuk membuat waktu untuk diri sendiri alias me-time. Jika kamu sering di media sosial, tapi pernah membaca frasa yang bilang kita harus menyediakan waktu untuk diri sendiri atau beristirahat paling tidak satu hari dalam seminggu, sebelum badan kita sendiri yang memutuskannya. Saya rasa ini benar juga. Sering kali saya malah jatuh sakit saat jadwal sedang penuh setiap harinya. Tidak hanya itu, bagi saya episode depresi yang terjadi pada saya juga ulah dari tubuh dan pikiran saya butuh istirahat tapi tidak pernah saya indahkan.

Saat sedang beristirahat, kamu bisa merawat diri kamu, misalnya melakukan beauty night dengan mandi atau berendam air hangat, luluran, perawatan rambut, dandan, dan mengolesi kuteks cantik di jari-jari tangan. Berleha-leha di sofa sambil nonton film atau baca buku, jalan-jalan di taman, merawat tanaman, berolah raga, bermain dengan hewan peliharaan, menghabiskan waktu dengan keluarga, menikmati matahari, tertawa, minum teh atau kopi di cafe kesukaan, mengamati orang atau langit, ganti seprai kasur atau tidur juga merupakan hal yang bisa dilakukan untuk lebih peduli dan cinta diri sendiri.

Penulis: Mariska Ajeng Harini. Tulisannya juga bisa dibaca di http://www.mariskaajeng.com.