
Sahabat RUANITA, namaku David (=bukan nama sebenarnya). Aku tinggal di Jerman. Aku tidak bisa bercerita banyak tentang pengalamanku dengan ibuku yang mengalami Skizofrenia karena aku sempat hilang kontak dengan beliau lebih dari dua puluh tahun. Aku senang bisa berbagi cerita ini agar bisa dipahami bahwa orang dengan Skizofrenia adalah manusia juga. Kita perlu menghargai mereka sebagai pribadi yang membutuhkan penanganan yang benar dan ahli, bukan memasungnya.
Menurutku, apa yang dialami oleh ibuku adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sebagai anak, aku hanya melihat ibuku mengalami sesuatu yang janggal. Aku tidak bisa berbuat banyak. Aku hanya melihat bagaimana usaha ayahku untuk menyembuhkan ibuku. Ya, kita dapat mengobati gejala-gejala yang dialami ibuku, tetapi sebenarnya itu tidak menyembuhkan penyakitnya. Sampai sekarang, para ahli masih meneliti bagaimana pengobatan yang tepat untuk menyembuhkannya.
Aku benar-benar tidak mengenali dengan tepat, bagaimana awalnya ibuku mengalami Skizofrenia. Jika dikatakan orang dengan Skizofrenia tidak menjaga kebersihan diri, itu benar. Kita perlu energi yang besar untuk mengusahakan kebersihan orang dengan Skizofrenia. Selain itu, aku melihat ibuku tidak ada kontak mata. Itu mungkin tidak sering, tetapi aku bisa merasakan tidak ada kontak mata. Menurut pengalamanku, saat depresi, dia mungkin benar-benar tidak ada ekspresi wajah.
Pendapatku kita tidak bisa menyamaratakan gejala-gejala orang dengan Skizofrenia. Kita tidak dapat menggeneralisasikan bahwa orang dengan Skizofrenia itu semua sama seluruh dunia. Itu sama seperti sakit flu dan batuk. Ada yang mengalami hanya batuk saja atau flu saja, hanya karena dia mengalami demam. Bagiku, setiap orang itu berbeda dan penyakitnya berbeda pula. Demikian pula dengan orang dengan Skizofrenia.
Aku hanya bisa meyakini apa yang dialami ibuku sebagai pemikiran tidak rasional. Apa yang tampak tidak rasional bagi semua orang, tetapi tidak bagi orang dengan Skizofrenia. Kadang ibuku terjebak dalam hal sepele yang tidak penting. Mungkin itu yang membuat orang di sekitarnya sebagai social support merasa kelelahan menangani orang dengan Skizofrenia.
Mungkin sudah ada berbagai penyakit yang kita temukan, tetapi masih banyak penyakit yang belum kita temukan. Bagaimana pun pikiran manusia begitu kompleks seperti Skizofrenia yang sampai sekarang belum ada obat yang tepat untuk menyembuhkannya. Oleh karena itu, kita perlu berabad-abad untuk memahami semuanya sepenuhnya.
Salah satu faktor yang mendukung kesembuhan Skizofrenia adalah dukungan sosial seperti keluarga. Keluarga sangat toleran terhadap ibuku. Kami telah berupaya untuk membantu kesembuhannya. Ibuku pernah memutuskan kontak dengan kami sebagai keluarganya. Dia harus mengonsumsi obat agar penyakitnya tidak kambuh lagi.
Namun aku sadar bahwa penyakit ibuku kambuh lagi. Aku tidak tahu mengapa. Aku menduga kalau ibuku telah mengurangi dosis obat yang diberikannya. Ibuku ingin sekali menurunkan berat badannya sehingga dia menurunkan dosis obat tersebut. Tentu saja, fungsi pil yang diminumnya itu menjadi kontraproduktif. Hanya karena dia ingin menurunkan berat badannya, maka gejala yang dialami ibuku kambuh lagi. Kami belum mendengar kabar terbarunya lagi selama hampir satu tahun. Kami juga tidak tahu apakah dia baik-baik saja sekarang atau tidak.
Ada hal yang saya tidak suka dari kebijakan pemerintah Jerman di sini tentang aturan minum obat oleh pasien. Kami sebagai keluarganya ingin agar ibuku segera sembuh dan pulih dengan minum obat secara rutin. Namun, peraturan di sini cukup jelas bahwa dia minum obat kalau dia mau dan sepanjang orang dengan Skizofrenia tidak menyakiti dirinya sendiri atau menyerang orang lain. Bahkan seorang dokter pun tidak dapat melakukan apa pun. Kami sebagai keluarga pun tidak berdaya, jika ibu bersikap seperti itu. Kami hanya bisa duduk dan menunggu hingga ibu sadar. Kami sebagai keluarga tidak bisa berbuat apa pun. Kami juga tidak bisa mengikatnya yang mungkin kami dengar dari kasus-kasus lainnya.
Mengenai stigma orang dengan Skizofrenia, kami sadar bahwa itu masih terjadi di masyarakat. Bagiku, orang dengan Skizofrenia adalah manusia juga. Kami bisa memaklumi jika ibuku mengatakan hal yang menyakitkan, karena kami tahu bahwa dia tidak bermaksud begitu. Menurutku, kita harus peduli dan menaruh perhatian terhadap orang dengan Skizofrenia. Kita bisa melibatkan mereka, jika dia mau dan menginginkannya. Kita bisa membawa dia, mungkin dia akan sadar.
Sebagai penutup, aku hanya ingin menyampaikan pentingnya kampanye skala besar untuk memerangi stigma sosial yang masih melekat pada orang dengan Skizofrenia. Bagaimana pun orang dengan Skizofrenia adalah manusia juga dan mereka tidak bermaksud buruk/jahat. Kita perlu memberikan dukungan sosial demi kesembuhan mereka.
Penulis: David, tinggal di Jerman