
Halo Sahabat Ruanita, terima kasih telah menjadi ruang aman untuk bercerita dan memberiku kesempatan bergabung dalam program Konseling Kelompok bertema: Toxic Relationship yang lalu. Perasaanku lega, setidaknya aku bisa menyuarakan ketakutanku walau dengan suara dan tubuh bergetar.
Ternyata menyampaikan ketakutan pribadi kepada orang lain yang tidak dikenal itu membantu. Rasanya sedikit leluasa dan lega, karena mereka tidak berpikiran subyektif. Mereka menjadi orang yang netral. Mereka tidak mengenal identitas asliku begitu juga sebaliknya. Sekali lagi, terima kasih.
Ok, aku mulai dengan ini.
Namaku Wani, bukan identitas asliku. Wani dalam Bahasa Jawa artinya berani. Ya, aku memilih nama itu. Aku berani. Lebih baik seperti ini, aku nyaman seperti ini. Bercerita tanpa kalian tahu siapa sebenarnya aku.
Aku adalah seorang wanita paruh baya asal Pulau Jawa, Indonesia. Sejak 2 tahun lalu aku menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan Jerman dan kini tinggal di Jerman. Sekarang aku hanyalah seorang ibu rumah tangga yang berkegiatan rumah tangga biasa tanpa seorang anak. Lantai 2 rumah mertuaku di sebuah desa yang terletak 30 menit dari kota tinggalku adalah tempatku tinggal bersama suami. Ya, kami tinggal satu rumah dengan mertuaku.
Mereka di lantai 1 dan kami di lantai 2, berbeda dapur dan kamar mandi. Seperti layaknya denah rumah susun yang terdiri dari beberapa keluarga. Kegiatan sehari-hariku adalah bangun pagi menyiapkan bekal makan siang suamiku, membersihkan rumah dan memasak. Ada kalanya aku belajar Bahasa Jerman, mencari dan mengirim lamaran pekerjaan, untuk apapun pekerjaannya.
Karena suami tidak mempunyai peluang kerja di Indonesia atau bahkan mendapatkan pekerjaan remote dan kebetulan perusahaan tempatku bekerja akhirnya gulung tikar saat pandemi Covid-19, kami putuskan untuk tinggal bersama setelah menikah di Jerman.
Kami berdua mempunyai impian menghasilkan uang bersama untuk membangun usaha dan sebuah rumah kecil di Indonesia. Kami sama-sama orang yang senang bekerja. Dulu di Indonesia aku bekerja di sebuah perusahaan retail yang terkenal.
Mudah bagiku untuk mencari pekerjaan dari relasi. Aku adalah orang yang ramah, ceria, percaya diri dan pandai pitching klien untuk suatu proyek.
Dari dulu aku terbiasa bekerja dengan dokumen-dokumen sehingga persiapan menuju Jermanku dulu menjadi biasa saja. Semakin menuju ke Jerman semakin tampak ego kami berdua. Aku menyadari tekanan yang aku dapat kebanyakan datang dari kepanikan suamiku.
Dia adalah orang yang selalu merencanakan apapun, berpikiran praktis dan sering ber-ekspektasi berlebih terhadap rencana itu. Rencana cadangannya hanya ada sampai PLAN B. Dia harus benar-benar mengusahakan PLAN A dan PLAN B dulu semaksimal mungkin. Butuh waktu agak lama untuk membuat PLAN C. Sedangkan aku? Aku selalu saja bisa mencari jalan lain menuju Roma. Hidupku terbiasa kompleks sehingga aku mampu membuat PLAN A-Z.
Tidak jarang kami bertengkar karena kami mempunyai cara berbeda dalam menyelesaikan sesuatu. Mental, tenaga, perasaan dan uang kami benar-benar diuji. Apa memang mungkin karena persiapan sebelum menikah itu memang seperti ini? Entahlah, pada saat itu kami hanya punya cinta dan kesediaan untuk hidup bersama.
Pertama kali tiba di Jerman. Aku senang dan bangga dengan diriku sendiri, apa yang aku persiapkan untuk pernikahan dan perjalanan itu akhirnya terlaksana tanpa missed sedikit pun. Ini perjalanan antar benua pertama kaliku ditambah masa awal pandemi Covid-19 yang segala sesuatunya menjadi lebih rumit. Cuaca di Jerman cocok untukku yang tidak begitu menyukai hawa panas.
Masakan Jerman sesuai dengan kemampuan memasakku yang sangat basic dan jelas tidak serumit masakan Indonesia. Hanya saja aku tetap merindukan masakan Indonesia yang kaya akan rasa. Aku tetap berusaha untuk memasak masakan Indonesia semampuku. Beruntung masih ada toko Asia di kota, bumbu instant menjadi andalan.
Sebelum tinggal di Jerman, terbayang olehku kemudahan-kemudahan yang akan datang sama seperti kemudahan yang aku dapatkan di Indonesia. Namun ternyata bayanganku salah. Ya, itu berbeda dengan di Indonesia. Aku menjadi seorang wanita yang tidak berdaya. Bahasa Jerman sebatas level A1 yang aku pelajari di Indonesia ternyata tidak cukup berguna.
Kemampuan Bahasa Inggrisku yang baik pun tak berguna karena orang di sini mengharuskan orang asing yang tinggal di Jerman untuk mampu berbahasa Jerman. Terlihat jelas di dalam syarat perpanjangan Visa Nasional yang aku miliki, pemerintah Jerman mewajibkan pasangan beda warga negara untuk mempunyai sertifikat Bahasa Jerman level B1.
Tahun pertama banyak hal yang aku tidak mengerti. Entah karena aku memang terlalu bodoh atau karena keluarga besar suamiku tidak paham sampai mana materi A1 yang aku pelajari. Mereka tidak sabar, mereka kurang mau memahamiku dan selalu mengetukkan jarinya jika menungguku terlalu lama menjelaskan sesuatu dalam Bahasa Jerman. Aku tetap berusaha tetapi panik selalu datang setiap saat.
Sampai detik ini dalam hidupku di Jerman, Bahasa Jerman adalah yang tersulit. Karena Bahasa adalah awal mula dari segalanya. Memahami budaya dan orangnya akan terasa gampang jika aku bisa berbahasa Jerman. Bahasa Jerman yang aku pelajari kini sampai dengan level B1.
Tapi tetap saja takut dan panik membuyarkan semuanya. Apalagi melihat ekspresi mereka yang tidak sabar menantiku menyelesaikan kalimatku. Bahasa itu akar dari komunikasi. Komunikasi adalah keahlianku semasa di Indonesia. Aku ingin bisa berbahasa Jerman dengan baik agar mereka mengerti dan memahamiku, agar aku bisa bekerja, agar aku kembali seperti aku yang dulu, aku yang dengan percaya diri menjadi diriku sendiri. Aku yang tidak perlu risau dan takut dalam melangkah.
Sejak 2 tahun lalu sampai detik ini, aku kesepian. Secara fisik tidak ada teman yang bisa diajak sekedar minum kopi bersama. Aku tinggal di desa. Tetangga enggan berteman dengan aku yang tidak pandai berbahasa Jerman ini. Dan suamiku sering tidak memperbolehkanku keluar desa ini karena dia terlalu cemas jika aku pergi sendiri. Jadi temanku hanya aku.
Oh, ada seekor anjing kecil milik ayah mertuaku. Iya, aku berbicara dengan anjing itu berbahasa Indonesia dan Jawa tentunya. Dia tidak dapat membalas omonganku tapi sepertinya dia mengerti. Dia tahu di saat aku sedang bersedih. Entah mengapa itu melegakan.
Secara mental, aku punya 7 orang sahabat yang selalu support mentalku. Empat sahabatku tinggal di Jerman tapi berbeda kota denganku, satu sahabat tinggal di Amerika dan dua sahabat di Indonesia. Mereka memberiku kekuatan untuk tetap tegar menjalani hari. Ada saja keceriaan yang mereka bagikan. Aku beruntung. Setidaknya aku masih punya teman.
Jika kalian bertanya, mengapa aku tidak menyebut orang tuaku atau keluargaku di Indonesia sebagai penawar kesepianku. Jawabannya adalah sejak kecil aku bukan anak yang dekat dengan orang tua dan keluarga. Terlalu banyak polemik di keluargaku, saudara-saudaraku bahkan di keluarga besar ayah dan ibuku.
Pengalaman menarik dari kesepian yang aku alami di Jerman adalah setahun pertama yang aku jalani percuma, tidak berarti, tidak bermanfaat dan depresif. Keadaan mental depresi berat karena perubahan sosial.
Ditambah lagi pandemi Covid-19, pembatasan gerak termasuk bertemu teman, kursus Bahasa Jerman tidak tatap muka (via online Zoom-meeting), dan keluarga besar suamiku yang sangat takut terhadap virus corona serta ditambah Winter Depression. Banyak sekali yang dibatasi. Aku tidak bisa bersosialisasi. Aku tidak bisa beradaptasi.
Di tahun kedua ini semua menjadi lebih baik. Ada tiket 9€, aku bisa berpergian ke mana saja. Sendiri saja. Ya, karena teman-temanku berada di kota yang berbeda, paling dekat berjarak 4 jam menggunakan kereta. Tidak apa, setidaknya aku bisa melelahkan kakiku dan menyegarkan pikiranku dengan berjalan-jalan di kota.
Tidak jarang juga aku pergi ke kota hanya untuk beli Indomie goreng di toko Asia. Lalu lanjutkan langkah ke ReWe untuk membeli secangkir kopi dingin, dan selanjutnya aku duduk di sebuah bangku dingin pada gleis arahku pulang ke desa. Menunggu datangnya kereta keloter kedua. Iini melegakan juga.
Menurutku, mengatasi kesepian adalah dengan tidak menganggap kesepian itu penting, cukup biasa saja. Aku bersyukur masih bisa merasakan kasih dari sahabat dan teman walaupun yang aku dapatkan adalah kasih virtual. Tapi setidaknya aku merasa tidak sendiri. Karena aku percaya, semua orang mempunyai masalahnya masing-masing.
Hanya saja bagaimana cara mereka memutuskan apa yang akan mereka lakukan dengan masalah itu. Bagiku, aku akan tetap gigih belajar Bahasa Jerman. Sehari minimal aku belajar 2 jam seperti membaca, mendengar percakapan dan menulis kata-kata penting. Namun entah mengapa, susah aku ingat dan terapkan. Sempat aku berpikir, apakah alam bawah sadarku menolak?
Sepertinya memang aku belum beradaptasi dengan baik. Aku masih dalam proses beradaptasi. Aku kini hanya bisa bertahan dan menjalani apa yang aku hadapi. Mencoba mengembalikan percaya diriku, mencari solusi yang bisa dilakukan, bukan hanya berandai-andai saja. Berbicara itu mudah, melakukannya yang susah.
Sekarang yang bisa aku atasi adalah belajar berbahasa Jerman dengan baik dan apply pekerjaan dengan kemampuan berbahasa Jermanku yang minim. Aku butuh uang untuk bisa berdiri sendiri dengan kakiku, seperti aku yang dulu yang menyenangkan. Aku yakin aku bisa. Ini semua hanya masalah waktu. Harus ada keyakinan dan harapan serta senyuman. Berubah bukan sesuatu yang buruk. Aku mau menjadi aku yang baru.
Kesepian akan selalu hadir. Dinikmati saja. Seperti perasaan bahagia yang tidak selalu hadir. Berterima kasihlah dengan dirimu sendiri, karena dia sudah mau dan mampu bertahan sejauh ini. Semua ada waktunya. Semua yang dihadapi selalu ada maksudnya.
Untuk siapapun kamu yang telah membaca ceritaku, terima kasih. Kamu tidak sendiri dalam memperjuangkan apa yang ingin kamu raih. Tersenyum dan bersyukurlah sejenak.
Jangan lupa semangat! 🙂
Penulis: Aku Wani, tinggal di Jerman.