
Ketika hendak memulai menulis artikel ini, saya mencoba mengingat-ingat kapan minat untuk membaca buku dalam diri ini pertama kali muncul. Ingatan yang kemudian membawa saya kembali ke masa kanak-kanak. Saya tidak ingat kapan pastinya saya mulai mempunyai ketertarikan terhadap buku.
Majalah Bobo adalah buku pertama dan majalah langganan pertama saya, seperti umumnya generasi yang lahir di awal tahun 1970an. Saya belum bisa membaca pada saat itu. Gambar-gambar yang bercerita tentang kehidupan sehari-hari sebuah keluarga kelinci yang jenaka, petualangan Nirmala dan Oki, dan cerita ketidakberuntungan Paman Kikuk adalah karakter-karakter yang masih saya ingat selalu hadir di setiap edisi majalah Bobo.
Cerita-cerita yang dikemas secara komikal ini tentunya secara visual menarik bagi saya. Tetapi, karakter yang paling berkesan untuk saya sebagai anak-anak adalah karakter si Tongki Bebek yang ada di suplemen anak-anak dalam majalah Femina. Ketika saya mulai bisa membaca, saya selalu tidak sabar menunggu kiriman majalah Femina dari tante sebelah rumah. Ibu saya dan tante sebelah rumah saling bertukar majalah. Ibu saya berlangganan majalah Kartini, sedangkan tante sebelah rumah berlangganan majalah Femina.
Ketika saya memasuki sekolah dasar, saya tidak mau buku-buku tulis saya disampul kertas coklat. Saya meminta ibu saya untuk menyampul buku-buku tulis dengan halaman majalah Bobo yang dicabut mulai dari halaman tengahnya. Ternyata ukuran dua sisi halaman majalah pas sekali dengan ukuran buku tulis. Sampul buku tulis menjadi hiburan bagi saya ketika bosan di kelas. Sampul buku tulis juga yang membuat saya bisa belajar membaca dengan cara yang menyenangkan.
Seingat saya sejak sekolah menengah pertama sampul buku tulis saya beralih ke majalah Donal Bebek. Kebiasaan menyampul buku tulis dengan majalah Donal Bebek ini berlanjut sampai saya tamat sekolah menengah atas. Sepertinya minat membaca saya ini berawal dari sampul buku tulis.
Pada masa di sekolah dasar bahan-bahan bacaan saya mulai bervariasi dan didominasi oleh ensiklopedia sains dan buku-buku biografi para tokoh terkemuka dunia dan penemu di bidang sains. Saya juga ingat mempunyai satu set komik petualangan Tintin yang jumlahnya 24 buku, kalau tidak salah. Juga beberapa buku petualangan yang sangat populer pada masa itu seperti Lima Sekawan, Sapta Siaga, dan Pipit si Kaus Kaki Panjang.
Kami memang punya banyak buku di rumah. Walaupun demikian saya belum bisa menikmati dan memahami secara utuh buku-buku yang saya baca, terutama buku-buku sains dan ternyata saya tidak menyukai sains. Rasa senang selalu hadir jika saya bisa ikut terlibat dengan teman-teman dalam keseruan bercerita tentang petualangan Lima Sekawan, misalnya.
Kemampuan literasi saya mulai berkembang ketika saya duduk di bangku sekolah menengah pertama. Di masa inilah saya mengetahui bahwa saya menyukai sejarah dan cerita-cerita di masa lalu.
Membaca sejarah mengenai kerja paksa membangun jalan raya pos antara Anyer dan Panarukan di masa kolonial Belanda membuat rasa ingin tahu saya meningkat ketika kami sekeluarga berlibur ke Jawa Tengah dengan mobil menyusuri pantai utara Jawa. Saya banyak bertanya kepada Ayah yang mungkin juga bingung menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang tidak saya temukan jawabannya dalam buku-buku. Begitu juga ketika mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan. Akhirnya, saya bisa melihat dan mengerti apa yang diilustrasikan dan deskripsikan dalam buku.
Saya ingat saat pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah menengah atas kami ditugaskan untuk membaca novel klasik Indonesia terbitan Balai Pustaka dan membuat ringkasan. Mungkin ini pertama kali saya berpikir kritis yang sesungguhnya. Membaca novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan membuat saya mempertanyakan budaya Minangkabau. Kedudukan perempuan yang dianggap lebih rendah dan nasib tragis yang selalu menghampiri perempuan dalam novel-novel tersebut berlawanan dengan apa yang selama ini saya ketahui.
Keluarga saya berasal dari Minangkabau dan selalu menekankan kedudukan perempuan yang dihormati sebagai Bundo Kanduang. Perempuan adalah penguasa Rumah Gadang. Minangkabau pusat edukasi dan politik tak terkecuali untuk perempuan di masa lalu, selain Jawa, yang melahirkan tokoh-tokoh utama pendiri bangsa ini. Rasa penasaran saya ini terjawab melalui buku juga yang menjelaskan bahwa elemen laki-laki juga hadir begitu kuat di dalam masyarakat matrilineal.
Setelah dewasa, genre buku-buku yang saya baca cukup beragam. Ada masa di mana saya suka sekali membaca novel-novel Harlequin, alias roman picisan. Ada masa juga di mana saya tertarik dengan novel-novel yang berlatar belakang sejarah, seperti Tetralogi Buru, The Nasty Girl, dan Memoirs of a Geisha. Beberapa waktu yang lalu saya membaca The Art of Seduction yang ditulis oleh Robert Greene. Buku ini menyinggung aspek-aspek psikologis mengenai relasi kuasa dari 9 tipe bujukan atau seduction.
Saya juga suka membaca buku-buku mengenai kesehatan mental yang dilihat dari perspektif fisiologi atau sistem biologi manusia seperti buku the Body Keeps the Score yang ditulis oleh Bessel van der Kolk dan When the Body says No oleh Gabor Mate. Benar-benar memberikan sudut pandang yang berbeda dengan buku-buku psikologi populer yang biasa saya baca. Karena spektrum buku yang saya baca cukup luas, saya tidak mempunyai buku maupun penulis favorit. Selalu ada hal-hal menarik yang saya temukan di setiap buku yang saya baca.
Ada pepatah mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia. Buku adalah sumber informasi. Melalui buku kita bisa mengetahui kejadian-kejadian di masa lampau, budaya-budaya yang ada di berbagai belahan dunia, kesehatan mental, sampai prediksi mengenai masa yang akan datang. Manfaat yang saya dapatkan dari membaca buku mungkin sama seperti yang sering dikemukakan orang-orang seperti melatih berpikir kritis, menambah pengetahuan di bidang tertentu, dan memperkaya kosa kata. Tetapi manfaat yang paling saya rasakan untuk diri saya sendiri adalah mempunyai sudut pandang yang baru dalam melihat suatu kejadian, seperti misalnya melihat trauma sebagai masalah fisiologi.
Manfaat membaca juga saya rasakan ketika berinteraksi dengan orang lain. Ketika saya diminta untuk mengajar, banyak sekali contoh-contoh yang saya berikan berasal dari buku-buku yang pernah saya baca. Sehingga saya bisa memperkaya wawasan para mahasiswa. Atau ketika sekedar bercakap-cakap dengan teman saya bisa melempar topik pembicaraan dari hal-hal menarik yang pernah saya baca.
Untuk orang-orang yang punya hobi membaca, membaca mungkin bisa menjadi hal yang terapeutik. Membaca novel-novel Harlequin yang saya sebutkan di atas adalah salah satu cara saya mengatasi stress yang saya alami di masa yang lalu ketika masih berkutat dengan tugas-tugas perkuliahan dan pekerjaan. Setidaknya, novel atau bahan bacaan dengan cerita yang ringan dan alur yang sederhana membantu sistem tubuh untuk mengendurkan kontraksi dalam badan ketika dilanda stress.
Membaca buku sebelum tidur, terutama ketika saya sulit tertidur, cukup membuat saya mengantuk. Saya teringat sebuah kutipan dari Virginia Woolf yang mengatakan, “Books are the mirrors of the soul” atau buku adalah cerminan jiwa. Dari kutipan ini bisa jadi adanya keterkaitan antara kebiasaan membaca dan kesehatan mental. Mental di sini bisa diartikan sebagai sebagai kemampuan berpikir atau yang terkait dengan kognisi. Dengan membuat kegiatan membaca sebagai suatu kebiasaan kita mengasah kognisi, mengasah kemampuan berpikir secara berkelanjutan sehingga kemungkinan terkena penyakit demensia atau menurunnya daya ingat dan daya pikir di masa tua bisa dihindari.
Sayangnya, disebutkan bahwa membaca bukanlah kebiasaan yang umum di Indonesia. Kemampuan literasi dan minat baca orang Indonesia termasuk rendah di dunia. Mungkin ini ada kaitannya dengan tradisi oral masyarakat Indonesia. Apalagi di era teknologi digital sekarang ini orang lebih memilih sumber informasi dalam bentuk visual dengan penjelasan singkat di platform media sosial. Ini merupakan suatu tantangan besar untuk menanamkan kebiasaan membaca.
Tentunya tidak ada yang salah dengan sumber informasi seperti ini. Tetapi untuk melatih berpikir kritis dan memahami permasalahan yang semakin kompleks diperlukan kemampuan literasi yang mumpuni terutama untuk generasi muda. Kemampuan literasi yang mumpuni sejauh pengamatan saya hanya bisa didapat melalui kegiatan membaca buku. Kalau membaca buku dirasa berat, mungkin kebiasaan membaca bisa dimulai dengan membaca blog yang menulis hal-hal yang kita sukai.
Rendahnya minat baca juga bisa dilihat dari kebiasaan dalam keluarga. Saya banyak menemui orang tua yang tidak suka membaca sehingga tidak bisa memberi contoh kepada anak-anaknya. Kognisi anak-anak belum berkembang sempurna sehingga mereka memaknai apa yang terjadi di sekelilingnya dengan mencontoh. Walaupun di rumah banyak koleksi buku-buku bukan berarti pemilik rumah suka membaca.
Buku bukan hanya sebagai dekorasi. Jadi, memang diperlukan adanya kesadaran orang tua bahwa kebiasaan membaca berawal dari mereka. Orang tua mungkin bisa mengamati apa yang disukai oleh anak-anaknya dan membeli buku dengan tema yang disukai anak-anak tersebut. Mengajak anak ke toko buku dan membiarkan mereka memilih buku yang mereka sukai dan melakukan kegiatan membaca bersama-sama dengan anak-anak bisa juga dicoba sebagai awal menanamkan kebiasaan membaca.
Penulis: Dindia tinggal di Jabodetabek dan sedang studi di Jerman.