
Halo Sahabat RUANITA, saya senang sekali bergabung di sini. Meski saya berada jauh di benua Afrika tetapi saya merasa mendapatkan banyak teman-teman dengan membaca program cerita sahabat atau mendengarkan program kalian.
Perkenalkan nama saya Ni, sebut saja begitu. Boleh dibilang Ni adalah nickname saya. Saya senang bisa mendapatkan kesempatan untuk berbagi cerita dan pengalaman tinggal di negeri suami yang jauh dari perkiraan saya sebelumnya.
Saya berasal dari kota Jakarta, ibu kota Indonesia yang merupakan kota Metropolitan atau Megapolitan tepatnya sehingga banyak hal yang membuat saya shock ketika saya harus pindah mengikuti permintaan suami ke negaranya, Nigeria.
Sejak Agustus 2010, saya telah tinggal dan menetap di Lagos, Nigeria. Tepatnya saya sudah 12 tahun menetap di ibu kota Nigeria tersebut. Kota yang saya tempati memiliki penduduk lebih dari 14 juta orang sehingga disebut sebagai kota terbesar kedua di Afrika loh.
Semula saya bertemu suami saat saya masih bekerja di Jakarta. Setelah 4 tahun menikah, suami meminta saya untuk tinggal di Nigeria, negeri asal suami. Alasannya, dia ingin anak-anak kami mengenal budaya dan tradisi asal suami. Saya pun menyanggupi permintaan suami meski tak pernah terbayang dalam impian saya untuk tinggal jauh dari tanah air.
Aktivitas saya sehari-hari di Lagos tidak lebih dari ibu rumah tangga dan mengasuh empat orang anak. Saya juga mengisi waktu luang menjadi Beauty Artist di sini. Pekerjaan yang cukup menjanjikan buat saya.
Hal yang membuat saya kaget pertama kali tinggal adalah hidup tanpa listrik. Bagaimana pun saya terbiasa hidup di ibu kota Indonesia yang semuanya serba ada, termasuk listrik. I mean, kok bisa ya hidup tanpa listrik. Maklum saya lahir dan besar di Jakarta sehingga itu membuat saya kaget luar biasa. Pada akhirnya, saya menyampaikan keluhan saya ini kepada suami. Menurut saya, fasilitas listrik di kota besar jaman sekarang bukan hal yang mewah dan sulit.
Jadi semua rumah di sini punya generator sebagai pengganti listrik, seperti PLN di Indonesia. Saya berkompromi dengan suami. Alhasil suami pun menopang kehidupan kami dengan membeli bensin untuk bahan bakar generator sehingga kami bisa menikmati listrik tiap saat.
Hidup menetap di negeri suami bukan perkara yang mudah. Saya hampir menyerah dan memutuskan untuk bercerai dari suami. Waktu itu tahun 2012, saya benar-benar berada dalam titik kritis karena perlakuan ipar atau saudara dari pihak suami. Mereka benar-benar menganggap suara saya tidak penting. Mereka kurang menghargai saya. Saya lelah dan capek sekali saat itu.
Bersyukurlah suami saya pengertian dan mampu memberi saya sudut pandang yang berbeda sehingga saya bisa memahami bahwa tiap negara punya tradisi dan kebiasaan yang berbeda-beda. Puji Tuhan, masalah kami bisa terselesaikan dengan baik.
Di budaya suku suami, perempuan harus hormat terhadap laki-laki. Hal ini kadang menurut saya tidak masuk akal di mana saya lahir dan dibesarkan di kota Jakarta yang sudah moderen. Kadang suara perempuan seperti saya tidak dianggap, tidak didengar karena laki-laki punya hak lebih tinggi. Jadi suara laki-laki lebih berhak daripada suami. Mereka beralasan karena laki-laki adalah pencari nafkah sehingga mereka lebih berhak daripada perempuan.
Semula saya agak sulit menerima budaya dan cara pandang ini. Beruntungnya suami selalu mendukung dan mengajari saya untuk menerima dan memaklumi keadaan negaranya. Saya tahu bahwa ini butuh proses waktu untuk memahami saja. Begitulah orang-orang Nigeria memaklumi keadaan negara mereka.
Pada akhirnya saya melihat bahwa saya perlu kedewasaan berpikir, bahwa tiap negara punya tradisi dan kebiasaan yang berbeda-beda. Seperti pepatah di Indonesia bilang: Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Setiap daerah punya adat dan kebiasaan sendiri, yang berbeda-beda dengan adat dan kebiasaan daerah lainnya.
Saran dari saya untuk menghadapi culture shock adalah sabar, tenang dan mencari tahu alasannya. Kita bisa membuat kompromi seperti yang saya lakukan dengan suami sehingga saya memahami sudut pandangnya. Sebaiknya kita tidak asal men-judge adat dan kebiasaan orang lain.
Satu lagi pesan saya, jangan mudah menyerah! Hadapi itu sebagai pembelajaran dan pendewasaan kita sebagai pribadi yang bertumbuh.
Penulis: Ni Filan tinggal di Lagos, Nigeria