(CERITA SAHABAT) Karena Rumput Tetangga Belum Pasti Lebih Hijau

Setiap kali orang mengetahui kalau aku bersekolah di luar negeri, mereka selalu berkata, “Wah, enak ya kuliah di luar negeri, jalan-jalan terus! Aku lihat di instagram kamu, seru ya? Pasti gak kaya di Indonesia yang kuliahnya tugas melulu! Irinya…“ 

Aku hanya bisa tersenyum. Ya jelas saja, siapa sih yang mau update kesusahannya di Instagram? Tentunya, seperti orang-orang lain, aku hanya mengunggah foto-fotoku disaat aku senang di Instagram. Aku sudah kebal mendengar kalimat-kalimat seperti itu. 

Tadinya aku merasa konyol dan akan menyanggah perkataan mereka. Namun, aku sudah terlalu sering mendengarnya, jadi aku hanya tersenyum. 

“Andai saja kalian tahu, kalau aku jauh lebih iri pada kalian” sahutku dalam hati. Bagaimana tidak? 

Teman-teman seangkatanku saat SMA dulu sudah lulus kuliah beberapa tahun yang lalu dan sudah meniti karier masing-masing. Sementara aku? 

Sudah beberapa tahun lamanya, aku masih berstatus sebagai mahasiswa S1 di Jerman. Banyak juga yang menyindir, bahkan orangtuaku pun kadang menyindir halus, kenapa aku belum lulus-lulus juga. 

Apa boleh buat, banyak kendala yang membuat aku harus terus menyandang gelar “Mahasiswa Abadi” ini. 

Kadang aku berkilah, “Hei, bahkan orang Jerman juga butuh waktu lama untuk lulus S1, tahu!“ kadang mereka mau mengerti, kadang mereka masih suka nyinyir. Itu tidak terlalu menggangguku, tapi ada saatnya aku menyesali keputusanku untuk kuliah di negara ini.

Seandainya waktu itu aku tidak memutuskan untuk merantau, mungkin aku sudah seperti mereka. Sudah lulus dan dapat kerja. Mungkin juga sudah menikah? Yang penting, aku tidak perlu mengikuti perkuliahan dalam bahasa asing. 

Jurusan yang aku pilih sudah cukup sulit, dipersulit lagi dengan kendala bahasa. Aku pun bukan orang kaya yang serba berkecukupan bahkan lebih, jadi di saat waktu senggang, aku harus bekerja part-time di berbagai tempat. 

Jangan salah, aku bersyukur karena memiliki pengalaman ini. Sewaktu aku melihat teman-teman sepantaranku dulu, mau tidak mau aku terus membandingkan mereka dengan situasiku sekarang. 

Ketika perasaan insecure dan rendah diri melanda, aku menenangkan diriku dengan berpikir, “Hei, bukankah kamu juga hanya melihat mereka disaat mereka senang? Seperti aku, mungkin saja mereka punya kesusahan yang mereka sembunyikan dari mata sosial media. Seperti mereka, aku pun hanya melihat satu porsi dari kehidupan mereka!“ 

Setelah berpikir seperti itu, aku merasa lebih tenang kembali.

Sekarang, saat berkumpul dengan sesama pejuang dari Indonesia, kami hanya tertawa saat mendengar perbandingan-perbandingan di antara situasi kami dengan situasi teman-teman kami di Indonesia. Perasaan ingin menyerah tentu saja tetap ada, terlebih saat berhadapan dengan Kantor Imigrasi Jerman. Namun semua ini adalah proses, jadi, nikmati saja seluruh prosesnya. 

Memang, rumput tetangga itu belum pasti lebih hijau dibanding rumput sendiri… 

Penulis: A adalah salah seorang Mahasiswa S1 Abadi di Jerman. Umurnya hampir mencapai kepala 3. Hobinya adalah jalan-jalan, olahraga, dan fotografi. Dia anak yang rajin dan senang bekerja serta mencari relasi. Dia berharap untuk bisa menikahi kekasihnya sesegera mungkin di Indonesia.