
Surat terbuka ini saya tujukan untuk komunitas-komunitas perempuan yang mempunyai misi menciptakan ruang aman bagi para perempuan untuk berbagi cerita dan saling memberikan dukungan.
Dengan hormat,
Saya teringat dengan konsep Sisterhood yang mempunyai tujuan mulia tetapi kemudian malah menjadi bumerang bagi para perempuan. Di sini saya akan meminjam apa yang dimaksud dengan Sisterhood dari situs Magdelene, yaitu memperjuangkan agenda pemberdayaan perempuan disertai semangat untuk saling mengingatkan diri sendiri dan sesama, menghargai dan memberi dukungan tanpa pandang bulu. Akan tetapi banyak juga perempuan-perempuan yang mengeluhkan bahwa banyak yang mengaku mendukung sisterhood tapi masih suka menghakimi pada sesama perempuan (Magdelene).
Saya mengikuti sebuah komunitas perempuan yang tujuannya memberdayakan perempuan. Komunitas ini dipelopori oleh seorang perempuan yang sangat berdaya yang pernah berada dalam posisi sebagai korban kekerasan di masa yang lalu. Dengan komunitas perempuan yang dipeloporinya, dia sekarang berada dalam posisi sebagai “penyelamat” bagi perempuan-perempuan lainnya.
Dalam suatu pertemuan daring komunitas tersebut yang saya hadiri, seorang anggota komunitas yang merupakan perempuan yang berdaya dalam kehidupan sehari-harinya berbagi cerita mengenai posisi dia yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Alih-alih mendengarkan cerita perempuan tersebut, si pelopor komunitas malah menyudutkan perempuan itu dalam taraf yang menurut saya tidak bisa ditolerir lagi. Dengan mengatakan baper, tidak bisa mengambil pelajaran sampai menyinggung pekerjaan perempuan tersebut.
Padahal perempuan yang berbagi cerita itu memberikan pelajaran penting untuk perempuan yaitu dengan berani melaporkan apa yang dia alami kepada otoritas terkait secara sadar dengan segala konsekuensinya. Karena saya tahu banyak perempuan, walaupun dia berdaya dalam kehidupan sehari-hari, tapi tidak berdaya ketika menjadi korban kekerasan apapun bentuknya dan tidak berani untuk bicara yang kemudian tanpa disadari menimbulkan depresi karena merasa hak-haknya terabaikan, tidak didengarkan dan tidak mendapatkan keadilan.
Dan di sinilah si pelopor komunitas ini dari posisi sebagai “penyelamat” menjadi pelaku perundungan/bully. Sebenarnya perilaku seperti ini biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Korban bully kemudian menjadi pembully. Lebih menyedihkan lagi, perempuan-perempuan anggota komunitas ini pun ikut menghakimi. Bahkan percakapan berlanjut sampai keesokan harinya di Whatappsgroup.
Semua orang berproses dan ada kalanya belum bisa menarik hikmah secara cepat, belum bisa menarik pelajaran dari apa yang terjadi pada dirinya. Di satu sisi terlihat berdaya. Tapi di sisi lain bahkan untuk bangkit walaupun perlahan terasa sulit.
Saya pun pernah mengalaminya. Sekarang ketika melihat kebelakang sepertinya masalah saya tidak berat-berat sekali. Tapi emosi yang dirasakan ketika kejadian itu berlangsung sangat nyata. Sehingga banyak orang yang susah untuk melupakan apa yang terjadi.
Mungkin kita perlu untuk berhati-hati dengan perilaku sebagai “penyelamat” yang ingin memecahkan permasalahan yang tanpa disadari ada motif tersembunyi seperti untuk mendapat pengakuan, kepuasan ketika menjadi tempat orang bergantung dan lain-lain.
Seperti kutipan yang sering dijumpai, kita memang perlu mempunyai empati dan tidak cepat menghakimi karena kita tidak tahu apa yang dialami oleh orang lain. Ini berlaku baik untuk perempuan maupun laki-laki.
Mari kita bersama-sama belajar dan berproses!
Salam,
Dina Diana
Penulis: Dina Diana yang berprofesi sebagai Independent Scholar.