
Kepada Yth:
Dewan Pendidikan Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan di Indonesia
di tempat
Dengan hormat,
Saya meyakini bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia, terlepas dari latar belakang dan jenis kelaminnya. Pendidikan juga menjadi sebuah fundamental pembangunan bangsa, terutama bagi perempuan. Bagi saya, perempuan adalah poros keluarga sehingga mendapatkan hak-haknya untuk memperoleh pendidikan setinggi mungkin adalah penting.
Mengapa demikian? Karena tugas mendidik anak sejak dini dilakukan oleh perempuan sejak anak itu dilahirkan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Medical Research Council Social and Public Health Sciences Unit dengan menganalisis 12.686 orang berusia 14-22 tahun, didapatkan temuan bahwa kecerdasan anak berasal dari sang ibu.
Penelitian ini menyebutkan bahwa ada gen tertentu yang beroperasi secara berbeda tergantung dari mana gen itu berasal, apakah dari ibu atau ayah. Kecerdasan seseorang terletak pada kromosom X. Perempuan membawa dua kromosom X dan laki-laki membawa satu kromosom X, maka dari itu kecerdasan seorang anak sebagian besar berasal dari ibunya.
Generasi-generasi penerus bangsa yang baik dan berwawasan luas lahir akan dari rahim perempuan yang berwawasan luas pula. Lalu mengapa ketika seorang siswi didapati hamil ketika dia masih duduk di bangku sekolah, lantas dianggap tidak layak untuk menyelesaikan pendidikan seperti umumnya?
Ketika saya duduk di bangku sebuah Sekolah Menengah Kejuruan di Yogyakarta, terjadi sebuah kejadian yang menggegerkan seantero sekolah. Seorang siswi, teman baik saya, menjalin hubungan dengan teman satu kelasnya sampai siswi tersebut hamil. Siswa dan siswi itu kemudian dipanggil ke ruang bimbingan konseling yang dihadiri oleh orang tua murid dan dewan sekolah.
Kemudian atas pertimbangan dewan sekolah, siswi tersebut dikeluarkan karena dianggap telah mencoreng nama baik sekolah dengan memberikan contoh yang tidak baik bagi siswi-siswi lain di sekolah. Ketimpangan kemudian terlihat nyata ketika siswa yang menghamili siswi tersebut tidak mendapatkan sanksi yang sama. Siswa laki-laki yang menghamili temannya itu tetap diijinkan untuk menyelesaikan pendidikan.
Lalu bagaimana mungkin dua orang yang melakukan kesalahan yang sama tidak mendapatkan sanksi yang seimbang hanya karena jenis kelamin mereka? Sedangkan berdasarkan pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD), dinyatakan bahwa setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Kata “setiap” di sini menjadikan undang-undang ini juga berlaku bagi para siswi yang hamil tanpa terkecuali.
Sekolah hendaknya meninjau kembali keputusan-keputusan yang timpang dan merugikan siswi yang hamil walaupun mereka masih duduk di bangku sekolah, sehingga keputusan-keputusan yang ada tidak lantas menihilkan fungsi pendidikan di sekolah.
Fungsi pendidikan di sekolah seharusnya mendidik dan melaksanakan pendidikan moral, bukan menghukum. Terlebih lagi memberikan hukuman yang timpang. Siswi yang hamil seharusnya tidak di keluarkan tetapi diberikan bimbingan khusus, karena bagaimanapun juga pendidikan adalah hak asasi mereka.
Banyaknya kasus yang serupa menjadikan pendidikan tentang kesehatan dan reproduksi menjadi penting untuk diberikan. Penyuluhan dan pemberian informasi terkait konsekuensi kehamilan di sekolah juga perlu diberikan baik itu kepada siswa dan siswi maupun orang tua murid.
Saya berharap ketimpangan ini dapat segera diatasi sehingga nantinya tidak ada lagi ketidakadilan yang merugikan perempuan.
Hormat saya,
Perempuan yang mendukung kesetaraan pendidikan