(CERITA SAHABAT) Gila Belanja, Caraku Membalas Dendam

Apa yang akan aku lakukan di waktu lowong saat aku tak ada kelas di universitas dan bekerja paruh waktu? Aku mengunjungi toko online dan memasukkan daftar belanjaan yang ingin aku beli jika aku ada uang. Aku memasukkan barang-barang yang aku anggap “lucu”, menarik, bagus atau barang yang aku suka.

Keranjang belanjaanku sekarang sekitar delapan ratusan. Pandemi tahun lalu saja, dalam lima bulan, setiap bulan aku berbelanja hingga lebih dari empat pakaian. Perilaku berbelanja ku sangat ekstrim dibandingkan dulu sewaktu aku masih di Indonesia. Aku tidak pernah belanja baju sama sekali saat aku masih di Indonesia.

Boleh dibilang kegilaanku berbelanja dan memesan makanan disebabkan oleh “unconscious revenge” (balas dendam yang tidak disadari). Selama sembilan belas tahun aku tinggal di Indonesia, aku tak punya uang di tanganku sendiri. Orang tuaku tidak memberikan uang saku atau uang jajan seperti teman-temanku lainnya. Ibuku jarang sekali membelikanku baju baru.

Berbelanja baju baru yg sesuai dengan usia dan gaya anak muda sebayaku tidak ada dalam kamus keluargaku. Ibuku tidak pernah memperhatikan mode pakaian. Aku mendapatkan pakaian-pakaian bekas dari saudara-saudaraku lainnya. Aku menyebutnya lungsuran dari saudara-saudara dan kerabat ku.

Ketika aku merantau ke negeri orang dan bisa menghasilkan uang sendiri untuk membiayai semua kebutuhan hidupku dari A-Z, aku bisa membeli apapun yang aku inginkan dari keringatku sendiri, salah satunya pakaian.

Tak hanya berkunjung ke toko online saja, aku suka juga mengamati gaya berpakaian dari para artis atau public figure. Saat aku memperhatikan penampilan mereka, aku pun segera mencari tahu barang yang mereka pakai. Aku mencari padanan barang yang sama, tetapi berharga terjangkau. Aku merasa puas bahwa aku bisa memakainya seperti mereka, meskipun harganya tak sebanding seperti mereka.

Aku merasa momen istimewa seperti hari raya atau hari ulang tahun saja, aku sudah memikirkan tentang penampilan apa yang akan kupakai. Momen seperti liburan ke negara A, B atau C, aku sudah memikirkan penampilanku sejak jauh-jauh hari dan kemudian membeli apa yang aku inginkan. 

Kegilaanku berbelanja semakin menjadi-jadi akibat kemudahan pembayaran. Saat saldo di bank menipis, toko online favoritku menawarkan pilihan “bayar nanti” yang menggodaku dalam jeratan penyesalan. Menyesali barang yang dibeli tentu saja sering kualami, apalagi saat aku seharusnya membayar kewajibanku yang lebih penting dan utama. Apa boleh buat, aku sudah terlanjur membelinya.

Sebenarnya aku juga tak bisa menyebut diriku “gila belanja” karena barang-barang yang aku beli bukanlah barang bermerek dan berharga mahal. Namun aku merasa puas bahwa aku bisa memiliki barang-barang yang dulu begitu sulit untuk kubeli.

Tema gila belanja ini, seperti membangunkanku. Saat ini aku masih terus berusaha dan belajar untuk menahan “kegilaan” ini. Karena aku sadar, meskipun gila belanja ini tidak berefek secara langsung secara psikologis padaku, namun efek negatifnya pada dompetku yang menambah list kecemasanku, yang sebetulnya tidak akan ada jika aku bisa membatasi diriku.


Penulis: Anonim, mahasiswa yang tinggal di benua biru.