
Sahabat RUANITA, aku mau bercerita betapa tahun 2021 yang aku lewati ini merupakan tahun yang tak mudah buatku. Masalah hidupku datang bertubi-tubi di tahun ini. Aku tak menyangka, kehidupanku di negeri asing mengajarkanku banyak hal, termasuk untuk tidak mudah mempercayai teman sesama WNI yang kuanggap sebagai sahabatku sendiri. Dari situ aku belajar untuk pasrah dan hanya mengandalkan Tuhan saja saat aku berkeluh kesah.
Ceritaku berawal dari akhir tahun 2020, ketika aku memutuskan untuk membuka usaha di negeri asal mantan suamiku. Saat dulu aku berniat membuka usaha, dia masih suamiku dan mendukung niatku berwirausaha di negara kelahirannya. Sebagai orang yang terbiasa bekerja dan banyak aktivitas sejak aku masih di Indonesia, aku berniat untuk membuka usaha di ibu kota suatu negara di Eropa. Perjalanan panjang mencari lokasi usaha, mengurus perijinan hingga merintis usaha di negeri asing itu bukan hal yang mudah bagiku.
Setelah aku berhasil membuka usaha yang kuinginkan, aku mengalami masalah rumah tangga. Aku tak mengerti budaya asing ini yang seperti mengikatku untuk tidak bisa bergerak menjadi diriku sendiri. Konflik rumah tangga dengan mantan suamiku memuncak sehingga aku memutuskan untuk berpisah. Aku pergi keluar dari rumah dan menjadi diriku sendiri. Rupanya, keputusanku keluar dari rumah membuatku kehilangan kesempatan untuk bersatu dengan suamiku lagi. Aku putuskan untuk tinggal sendiri, di apartemen yang letaknya tak jauh dari lokasi usahaku. Setelah 2,5 tahun aku berumah tangga, aku harus berpisah dengan pria yang telah membawaku ke negeri asing ini. Mantan suamiku pun kini telah hidup dengan perempuan lain.
Semula aku mempercayai sepenuhnya teman, asal Indonesia yang kuanggap sebagai saudara sendiri. Dia mengetahui seluk beluk tentang masalah rumah tanggaku hingga niatku untuk berwirausaha. Pada akhirnya, cerita-ceritaku padanya menjadi bumerang buatku sendiri. Teman ini bak musuh dalam selimut yang membuat terganggu. Saat aku terpuruk tak berdaya karena masalah rumah tanggaku, dia justru merendahkanku. Dengan lantang dia berujar: āOtak itu jangan taruh di dengkul! Ngaca dong, kamu itu siapa! Kamu itu gak kaya!ā
Aku berusaha bangkit dan mengumpulkan kekuatan untuk bisa melewati krisis yang kualami. Pada akhirnya, aku berpisah dengan suamiku. Aku berpikir memang tak mungkin keduanya bisa berjalan beriringan, antara niatku berwirausaha dengan keharmonisan rumah tangga. Aku gagal dalam berumah tangga, bukan berarti aku gagal sepenuhnya dalam hidup. Aku fokuskan hidupku pada usaha yang kurintis di negeri asing, meski itu tak mudah. Apalagi aku merintis usaha di saat pandemi sedang melanda dunia ini. Aku hampir patah arang karena lockdown yang berkepanjangan. Aku tak putus asa, aku tetap menjalani usahaku dengan ketekunan.
Usahaku mulai membuahkan hasil. Beberapa orang-orang ingin bermitra dengan usaha yang aku jalani. Keberhasilan usaha yang aku rintis dilirik media dan mendapat sambutan yang luar biasa dari pejabat publik karena kebetulan aku ditunjuk sebagai leader sebuah organisasi bisnis. Aku merasa keharuan luar biasa ketika lagu Indonesia Raya berhasil diperdengarkan di lokasi usahaku saat upacara pembukaan.
Aku bisa mengatakan bahwa tahun ini adalah tahun perjuangan pun tahun kesedihan. Ayahku telah berpulang di tahun ini. Ayah adalah figur panutan yang membuatku berdiri tegar seperti sekarang. Aku benar-benar terpukul saat ayahku berpulang. Aku semakin bersedih karena aku pun tak bisa menghadiri saat-saat terakhir ayah. Pandemi telah membuatku tetap di negeri asing ini. Aku berpikir aku baru saja merintis usaha dan tak mudah buatku mempercayai orang-orang di sekitarku untuk mengelolanya. Bersyukurlah, keluarga besarku di Indonesia menerima keputusanku untuk tidak pulang ke Indonesia.
Prinsipku, aku boleh sedih, aku boleh gagal, tetapi aku tak boleh menyerah dalam hidup. Tekadku sudah bulat untuk tetap menekuni usaha rintisan ku di negeri asing ini. Tahun ini memberi pelajaran berharga untukku bahwa Tuhan tahu apa yang kubutuhkan. Aku tak mungkin membuat usaha bisnisku dan bahtera rumah tangga berjalan seiringan. Tuhan melihat perjuanganku sehingga aku dipertemukan dengan teman-teman yang lebih baik dan mendukungku. Misalnya, aku bertemu dengan orang-orang baik yang menolongku untuk meneruskan perijinan usaha yang kutekuni ketika mantan suamiku tidak mau jadi penjamin untuk pengurusan surat-suratku di negaranya. Wajar aku kecewa karena dia tidak pernah menafkahiku selama kami menikah. Aku memilih berpisah dengannya.
Tuhan menguatkanku melewati badai hidup yang aku alami di tahun ini karena Dia tahu bahwa aku bisa melewatinya dengan baik. Krisis hidup yang dialami orang-orang berbeda di tahun ini. Tahun ini adalah tahun perjuangan dan tahun kesedihan yang justru menguatkanku di negeri perantauan ini. Di tahun berikutnya, aku akan fokus untuk mengembangkan usaha yang kurintis daripada sekedar mencari pasangan hidup di usiaku yang tak lagi muda. Aku berharap bisa merintis kerja sama dengan orang-orang yang bisa memajukan usaha kurintis ini. Tuhan tidak tidur.
Penulis: Perempuan dan tinggal di Eropa.