
NORWEGIA – Minggu (5/12) RUANITA kembali menggelar diskusi virtual IG Live lewat akun @ruanita.indonesia. Dengan mengangkat tema ‘Shopaholic: Seberapa ‘Gila’ Kamu Berbelanja?’ Anna selaku pemandu diskusi turut mengundang Kiki @kikik.raa (mahasiswi di Jerman) dan psikolog Anita Kristiana @anitapastelblue untuk bersama membahas perilaku gila belanja dan shopaholic.
Di awal diskusi, Anna dan Kiki bercerita tentang fenomena Black Friday di penghujung November, di mana toko-toko di mall memberikan diskon besar & selalu penuh orang-orang mengantri berbelanja. Kondisi pandemi pun tidak menyurutkan antusiasme masyarakat untuk berbelanja saat Black Friday karena kemudahan untuk berbelanja online.
Adapun di luar negeri, promo Black Friday dimanfaatkan untuk tidak hanya berbelanja kado natal, namun juga berbelanja untuk diri sendiri. Kiki menuturkan bahwa saat Black Friday, banyak sekali branded items berkualitas yang didiskon sehingga ia tertarik untuk membelinya karena kalau kualitasnya bagus seperti investasi. Namun ia turut mengakui, alasan tersebut berujung pada banyaknya baju yang menumpuk.
Menurut Anita Kristiana, kegiatan berbelanja adalah normal untuk memenuhi kebutuhan pribadi, sama seperti makan dan minum, selama masih sesuai kebutuhan. Perilaku shopaholic terjadi ketika tidak ada titik cukup saat berbelanja (terlalu berlebihan dan merasa kekurangan). Perilaku shopaholic ini dilakukan secara excessive (berulang-ulang secara berlebihan) dan tidak sesuai dengan kebutuhan. Adapun shopaholic juga ditandai oleh efek rasa nyaman dan excitement yang muncul saat sedang membeli barang-barang dan merasa bersalah setelahnya.
Anita menegaskan bahwa ini berbeda sekali dengan perilaku berbelanja yang normal, di mana rasa nyaman justru diperoleh setelah membeli barangnya dan tidak disertai rasa bersalah. Lanjutnya lagi, ada kecenderungan shopaholic tidak berbelanja sesuai kemampuan dan sering menggunakan metode pembayaran kredit (yang jika dilakukan secara excessive akan berdampak pada kondisi finansial seperti menumpuk utang).
Ketika shopaholic merasa nyaman saat membeli barang dan setelahnya merasakan emosi negatif seperti menyesal, merasa bersalah maka ini akan menjadi bumerang karena emosi negatif tersebut akan dihilangkan dengan berbelanja lagi supaya merasa nyaman, lalu merasa bersalah lagi, dan berbelanja lagi. Jika ini terus-menerus dilakukan maka terjebaklah dalam lingkaran adiksi shopaholic. Secara psikologi jika perilaku ini sudah sangat mengganggu disebut compulsive buying disorder (CBD) yang dikategorikan sebagai impulsive insanity. Jadi shopaholic terjadi ketika seseorang tidak bisa mengontrol perilaku berbelanja dan keuangan mereka.
Anita juga menjelaskan bahwa ada perbedaan antara impulsive buying dan compulsive buying. Yang membedakan adalah faktor adiksi (kecanduan) dalam perilaku compulsive buying. Impulsive buying sendiri lebih berupa suka akan suatu barang -meski tidak ada kebutuhan untuk membeli- dan tiba-tiba ingin membelinya karena bagus and sometimes it’s a good buying.
Biasanya beberapa problem yang dihadapi setelah berbelanja online adalah saat barang yang diterima tidak sesuai atau ukurannya tidak pas. Menurut Kiki, kadang ini menimbulkan penyesalan, apalagi kalau kemudian proses return & refund barang tersebut sulit karena lama diproses. Kiki mengakalinya dengan memberikan barang tersebut ke teman-teman atau saudara. Menurut Anita, berdasarkan pengamatan dari studi yang dilakukannya adalah shopaholic lebih menyesali upaya berbelanjanya. Selain itu ada kecenderungan untuk menyembunyikan hasil belanjaan karena merasa malu dan menyesal sudah berbelanja.
Hal-hal apa saja yang menyebabkan seseorang menjadi shopaholic? Menurut Anita, secara umum perilaku shopaholic bisa muncul ketika seseorang: 1. mencari excitement, approval, love, 2. mengisi kekosongan, 3. mengganti upaya, kondisi yang hilang, atau mengganti perasaan tidak nyaman yang tidak bisa disalurkan dengan cara yang sehat. Anita menjelaskan bahwa mengelola hidup yang sehat adalah ketika kita tidak perlu sesuatu atau orang lain untuk membuat kita merasa cukup. Ketika mulai terasa sebaliknya, saat itulah mulai kita membutuhkan bantuan.
Dampak buruk dari perilaku shopaholic sendiri adalah hilangnya kontrol kita terhadap diri sendiri. Anita menekankan bahwa kehilangan kontrol inilah yang berdampak ke mana-mana seperti kondisi finansial terganggu, terjerat utang, hilangnya waktu untuk menikmati kegiatan yang lebih produktif, bahkan mengganggu fokus, self-esteem dan mengganggu hubungan dengan pasangan dan keluarga.
Anita menyebutkan empat pendekatan yang bisa diambil untuk mengatasi kondisi shopaholic:
- Jauhkan diri dari sumber stress/sumber godaan. Cara praktisnya bisa dengan uninstall dulu semua aplikasi belanja, unsubscribe iklan promosi yang masuk lewat surel, dan unfollow influencers yang kerap mengiklankan barang-barang belanja. Kalau sering mengunjungi mall, tahan dulu untuk tidak pergi ke mall sendirian, atau minta ditemani oleh pasangan, teman dan anggota keluarga yang bisa melarang atau mencegah berbelanja.
- Stop berbelanja dengan kartu kredit dan hanya berbelanja dengan uang sejumlah yang benar-benar dimiliki.
- Kelola pikiran dengan belajar financial literacy.
- Replace atau pendekatan terapi pengganti, untuk membantu membangun healthy experiences & habits. Jika dibutuhkan, bantuan konseling, terapi dan support groups dapat sangat membantu.
Anita menekankan, intinya pembelanjaan kita adalah pilihan kita, bagaimana kita mengenali dan mengelolanya agar sampai di titik cukup. Secara normal, kita harus mempertimbangkan kondisi keuangan dan konsekuensi dari pembelanjaan tersebut.
Jika sahabat RUANITA memiliki ide menarik untuk tema IG Live, silakan follow akun instagram @ruanita.indonesia dan hubungi kami via DM. Terima kasih dan sampai jumpa di diskusi selanjutnya!
(Ditulis oleh Retno Aini untuk RUANITA Indonesia)