
Saya yakin sebagian besar orang sudah tahu apa itu OCD (Obsessive Compulsive Disorder) atau gangguan obsesif kompulsif. Mungkin ada juga yang pernah melabeli dirinya atau orang lain dengan OCD karena sering cuci tangan, bersih-bersih, atau menyusun barang secara simetris, tapi tahu ga kalau OCD lebih dari itu?
Sesuai dengan namanya, gangguan ini menyebabkan penderita melakukan sesuatu dengan obsesif dan terus menerus (kompulsif). Perilaku dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan pikiran-pikiran buruk dan kecemasan yang penderita alami. Perilaku mencuci tangan berkali-kali, misalnya, bertujuan untuk menghilangkan pikiran buruk, bahwa tangan penderita menyentuh benda berkuman yang bisa menyebabkannya jatuh sakit. Ketenangan hati ini sayangnya hanya bersifat sementara. Jika nanti penderita menyentuh sesuatu lagi, ia akan kembali mempunyai pikiran-pikiran negatif dan cuci tangan kembali harus dilakukan. Begitu seterusnya, seperti lingkaran setan.
Saya Ajeng, tinggal di Hamburg. Proses tersebut baru saya mengerti 10 bulan terakhir ini, sejak saya didiagnosis OCD oleh psikolog. Memang selama ini saya sudah berpikiran saya mempunyai gejala OCD karena „hobi“ banget pakai pembersih tangan sejak mulai remaja. Sempat berkurang karena saya tidak mau berakhir menjadi penderita OCD, tapi sejak pandemi malah semakin bertambah. Mengamati diri sendiri, saya pakai cairan pembersih tangan pada akhirnya bukan karena takut bakteri, tapi karena jijik. Sejak pandemi mata saya „terbuka“: orang bisa saja pegang hidung atau mulut lalu pegang gagang pintu atau tiang bus. Membayangkannya saja jijik. Bukan hanya soal cuci tangan, bagi saya juga penting kalau tempat tidur dan sofa saya bebas dari pakaian yang dipakai di luar rumah. Bahkan terakhir sebelum saya terapi, karpet saya juga sudah termasuk. Jika ada teman datang dan duduk di sofa dan di karpet, saya akan langsung mengganti alas sofa dengan yang bersih agar saya bisa duduk di atasnya dengan baju rumah. Jika saya sedang malas menyuci, saya akan menyemprot sofa dan karpet dengan desinfektan.
Selain ritual pasca menerima tamu, saya masih punya banyak contoh tindakan OCD lainnya, seperti ritual pulang ke rumah, ritual toilet, dan ritual pegang ponsel. Walau begitu, tindakan saya tidak seburuk dengan pikiran obsesif kompulsif saya. Oh ya, dalam bahasa Jerman ada dua istilah penting yang berhubungan dengan Zwangsstörung (OCD), yaitu 1) Zwangsgedanken dan 2) Zwangshandlung. Istilah pertama berarti pikiran OC dan yang kedua adalah perilaku/tindakan OC (sengaja saya hilangkan huruf D di akhir singkatan). Menurut saya kedua istilah ini memudahkan sekali untuk mengerti OCD, bahwa OCD bukan hanya soal perilaku tapi juga pikiran.
Walau perilaku OC saya tidak terlalu parah dan tetap membuat saya frustrasi juga memakan banyak waktu saya, tapi pikiran OC lebih membuat saya frustrasi. Pikiran-pikiran agresif termasuk ke dalamnya, misalnya bayangan yang terlintas di pikiran saya saat saya sedang menunggu di kereta di stasiun: OCD mendorong orang ke rel kereta. Menurut co-terapis saya, saya harus membuat jarak dengan OCD saya, karena itu saya tidak bilang „saya mendorong orang ke rel kereta api“ tapi OCD saya yang melakukannya. OCD saya yang mau mendorong orang ke rel kereta api, saya tidak. Sejak itu saya berhenti mengatasnamakan saya di semua pikiran agresif yang pernah terlintas di benak saya.
Pikiran-pikiran OC juga mengganggu kehidupan sehari-hari saya. Kadang saya harus menghindar bertemu teman atau pergi ke suatu tempat karena saya takut pikiran agresif muncul. Ketakutan terbesar saya adalah membuat pikiran agresif itu menjadi kenyataan. Di RS saya harus mengikuti seminar atau terapi grup tentang OCD seminggu sekali. Di sana trainer kami bilang penderita OCD, terutama mereka yang sudah mendapatkan diagnosis dari ahli, tidak akan melakukan pikiran agresifnya. Mereka justru akan berusaha untuk menghindar, baik secara fisik, dengan tidak datang ke tempat tersebut, atau secara pikiran dengan berusaha menekan pikiran-pikiran tersebut (keduanya sebenarnya tidak disarankan).
Pikiran-pikiran agresif ini pernah membuat saya sangat sedih, karena membuat saya merasa menjadi orang jahat, tidak bermoral juga tidak beragama. Saya bukan orang baik karena saya punya berpikiran mencelakakan orang lain dan orang-orang yang saya sayangi. Lucunya, pikiran dan ketakutan menjadi orang jahat ini juga bisa menjadi bagian dari pikiran obsesif kompulsif. Sejak rajin ikut terapi dan tentang OCD, saya semakin yakin, bahwa yang jahat itu OCD bukan saya. Pikiran-pikiran OC bukan kenyataan. Dan yang paling penting: pikiran-pikiran agresif itu bukan bagian dari kepribadian saya.
Oh iya, saya juga baru tahu loh kalau perfectionist juga termasuk ke dalam OCD. Saya dulu tidak sadar kalau saya perfectionist, sampai teman-teman saya kasih bukti: datang selalu tepat waktu, bahkan kalau bisa lebih awal; nilai kuliah harus bagus; berkunjung ke rumah orang harus bawa buah tangan; kerjaan harus perfect; dan rumah harus bersih dan wangi kalau ada tamu datang. Saya kira itu semua hal biasa, tapi saat di terapi grup kami disodori contoh-contoh yang ternyata itu SAYA BANGET. Saya juga ga sadar kalau perfectionist itu bukan hal baik dan mengapa orang-orang memandangnya negatif. Maksud saya, bukankah semua yang harus kita lakukan harus benar-benar sempurna hasilnya?
Ternyata kekurangan dari perfectionist adalah bisa membuat frustrasi. Untuk datang tepat waktu saya harus benar-benar kalkulasi waktu. Jika saya janjian jam 12 dan waktu tempuh 30 menit, saya akan memberikan waktu tambahan 5-10 menit. Jaga-jaga di jalan ada kejadian tak terduga. Untuk itu saya harus tahu jam berapa bangun tidur dan siap-siap. Tambahan waktu itu juga penting, karena anxiety membuat saya harus ke toilet berkali-kali sebelum saya keluar rumah. Teman saya bilang, bagus dong saya datang cepat jadi engga stres di jalan. Ehem, sebenarnya sebaliknya. Saya frustrasi. Jika bus/kereta datang telat, saya akan kesal sendiri, seharusnya saya berangkat lebih pagi lagi. Kelemahan lainnya, saya juga memaksakan teman-teman saya untuk tepat waktu dan saya akan marah jika mereka datang telat, terutama jika tanpa kabar. Hasilnya: beberapa di antara mereka malas untuk janjian dengan saya lagi.
Jika kalian sadar saya menulis dengan ejaan bahasa Indonesia yang hampir sempurna, itu juga bagian dari perilaku perfectionist saya 😛 Rasanya gatal sekali jika saya salah menulis. Latihan-latihan yang saya lakukan untuk mengurangi ke-perfectionist-an saya adalah datang telat; menulis Whatsapp dan email tanpa memperhatikan PUEBI; tidak membereskan apartemen, jika tamu datang; dan tidak membawa buah tangan, kalau bertamu ke teman. Oh, satu lagi kelemahan saya gara-gara si perfectionist ini: saya malu sekali untuk berbicara bahasa Jerman, padahal saya tinggal di Jerman. Bagi saya lebih baik diam dari pada salah menggunakan bahasa asing. Kalau saya tidak perfectionist, saya pasti akan lebih berani berbicara menggunakan bahasa asing.
Latihan-latihan yang saya sebut di atas saya lakukan mandiri dan terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, selain itu saya juga melakukan bersama co-terapis saya. Latihan atau terapi itu bernama Exposure and Response Prevention (ERP) dan sangat serius dan harus direncanakan dengan baik. Sebelumnya saya harus membuat hierarki perilaku dan pikiran OC saya dari 10-100%. Perilaku dan pikiran OC di atas 50% akan dilatih bersama. Sebelum, selama, dan sesudah latihan akan ada grafik tentang ketegangan saya. Setelah latihan saya harus memberikan diri sendiri hadiah yang juga harus saya rencanakan sebelumnya. Minggu lalu saya latihan memegang dan mengusap tembok yang punya motif bulatan-bulatan kecil menonjol. Saya tidak boleh menyuci tangan, menggunakan desinfektan, atau menyeka tangan saya ke pakaian selama satu jam. Setelah itu saya pergi beli bubble tea sebagai hadiah untuk diri sendiri.
Sebelum membuat hierarki OCD itu saya diminta untuk mengisi protokol tentang self-observation. Setiap OCD saya muncul saya harus menuliskan detailnya: apa yang saya pikirkan, apa perasaan saya, bagaimana perasaan saya saat OC hilang, seberapa sering itu terjadi, dan kegiatan apa yang bisa saya lakukan jika perilaku dan pikiran OC itu tidak ada. Dari situ saya bisa tahu yang terbanyak adalah mencuci tangan dan kedua terbanyak adalah pikiran agresif. Latihan-latihan ini mungkin akan harus saya lakukan bulan depan, setelah latihan-latihan di level lebih bawah sudah selesai.
Jika tadi saya menyebutkan tentang co-terapis, terapi grup atau seminar, itu karena di tahun 2021 saya dirawat inap di psikiatri khusus gangguan kecemasan dan OCD. Awalnya karena saya didiagnosa gangguan kecemasan (fobia sosial) dan depresi. Di Hamburg susah sekali untuk menemukan psikoterapis, pasien harus menunggu minimal setengah tahun. Psikiater saya menyarankan untuk masuk rumah sakit, karena lebih cepat dapat tempat. Akhirnya setelah banyak konsultasi dengan psikiater, psikolog dan kolega-kolega yang juga pernah masuk psikiatri, saya memberanikan diri untuk mendaftar. Bukan keputusan yang mudah, tapi menjadi keputusan terbaik yang pernah saya buat.
Hari kedua di psikiatri saya mengukuti workshop tentang gangguan kecemasan. Salah satu peserta cerita tentang Zwangsgedanken (OC pikiran) yang ia miliki. Karena saya tidak paham, dia menjelaskan ke saya apa itu. Saya kaget sekali waktu itu, karena saya bisa melihat diri saya di cerita dia. Besoknya saya menemui psikolog saya sambil menangis, karena saya takut sekali kalau saya juga punya OCD. Saya menanggap diri saya gagal, tidak beragama, jika saya sampai punya tiga gangguan metal dalam satu waktu. Singkat cerita, benar saya memiliki OCD. Awalnya sangat berat bagi saya untuk menerimanya, tapi setelah benar-benar memahami gangguan-gangguan mental yang saya miliki, saya akhirnya bisa menerima. Bahkan saya bersyukur bisa mendapatkan diagnosa tersebut.
Saya tinggal di rumah sakit selama tiga bulan. Berbeda dengan RSJ yang kita dengar tentang kesuramannya, suasana di sana santai dan terbuka sekali. Setiap sore pasien diperbolehkan pulang atau keluar sampai maksimal jam 10 malam. Satu malam di akhir pekan pun kami boleh tidur di rumah. Tidak terasa seperti sedang di RSJ. Oh ya, karena memiliki asuransi kesehatan, hampir seluruh biaya rumah sakit saya diambil alih oleh asuransi. Dalam satu tahun pasien hanya mengeluarkan biaya rawat inap sebesar 10 Euro/ hari. Karena saya di RS selama tiga bulan, maka saya hanya membayar 280 Euro untuk 28 hari dan sisanya oleh asuransi. Tagihannya baru saya dapatkan sekitar empat bulan setelahnya. Kaget juga, karena saya kira bebas biaya 😛
Saya berharap stigma negatif tentang gangguan metal hilang dari masyarakat kita, agar orang-orang bisa lebih terbuka tentang kesehatan mentalnya dan tidak sungkan mencari pertolongan. Selain itu, harapan saya akses ke kesehatan mental di Indonesia menjadi lebih mudah dan terjangkau. Kualitas RSJ juga semoga semakin baik lagi.
Untuk teman-teman yang masih awam tentang OCD, yuk cari tahu lagi tentang OCD dari ahlinya atau dari pengalaman orang-orang dengan OCD. Bahkan sekarang ini informasi tentang OCD bisa diakses di media sosial, seperti Instagram. Jika kamu merasa memiliki gejala-gejala, pastikan hanya dokter atau psikolog yang diagnosa kamu. Dan jangan lupa, kamu tidak sendiri dan OCD bisa dikalahkan.
Penulis: Mariska Ajeng. Menetap di Hamburg, Jerman. Tulisannya bisa dibaca di http://www.mariskaajeng.wordpress.com
[…] virus Corona lalu episode depresi yang disusul dengan diagnosa gangguan kecemasan sosial dan OCD yang saya dapat di awal pengobatan di klinik psikiatri. Walau menjadi tahun terberat, namun saya […]
SukaSuka