Di bulan Mei 2023 ini RUANITA Kembali hadir dengan diskusi online IG Live bertema ‘Bagaimana Play Therapy Bisa Mengatasi Trauma’. Kali ini host Dina Diana @ibudindia mengundang narasumber diskusi Mala Holland, seorang psikoterapis dan trainer untuk trauma model di Inggris yang mendalami play and creative art therapy untuk mengatasi trauma di @connectplaytherapy.
Kala mendengar kata ‘bermain’, mungkin yang terpikirkan hanyalah aktivitas bermain untuk anak-anak. Kenyataannya secara ilmiah bermain membawa manfaat positif untuk kesehatan jiwa di segala kelompok usia. Seperti apa sajakah bentuk play therapy dan bagaimana caranya dalam mengatasi trauma?
Mala Holland menjelaskan bahwa trauma itu punya banyak jenis dan bentuk, tergantung pada kasus penyebabnya. Untuk bidang trauma yang didalami oleh Mala sendiri adalah trauma pada kasus kekerasan seksual dan kekerasan domestik.
Play and creative art therapy adalah sebuah model psikoterapi yang menggunakan permainan dan alat-alat seni untuk membantu seseorang mengekspresikan diri dan memproses apa yang dipikirkan atau dirasakan.
Ketika bicara tentang trauma, menurut Mala orang kerap kali orang kesulitan untuk menjelaskan atau bingung untuk mengekspresikan yang dirasakan. Contohnya seperti ketika Mala bertanya ‘Hi, how are you?’ kepada klien, jawaban awal yang didapat hanyalah kalimat-kalimat pendek seperti ‘I’m fine’, atau ‘a little bit sad’.
Ketika mulai memakai tools seperti lewat permainan atau art and crafting material seperti pasir dan tanah liat, mereka bisa lebih mengerti perasaan mereka sendiri, mudah mengekspresikan perasaan, dan lebih bebas untuk memproses apa yang mereka alami.
Dalam hubungan antara usia, memori dan trauma, Mala menuturkan bahwa secara alami anak-anak belum mulai terbentuk memorinya di bawah usia 3 atau 4 tahun. Ini ada hubungannya dengan kematangan fungsi otak, terutama di bagian prefrontal lobe yang mengatur rasionalitas dan baru matang nanti di usia 20-an.
Mala menegaskan bahwa oleh karena itu banyak memori trauma manusia terekam sebagai emosi atau perasaan, namun secara kognitif tidak mampu mengingatnya.
Ini terjadi di banyak kasus trauma di mana korban tidak bisa mengingat kejadian atau penyebab trauma tetapi merasakan efeknya dengan intens, atau bisa tiba-tiba terpicu (triggered)oleh situasi-situasi tertentu.
Untuk kasus di mana trauma itu muncul dan orang tidak punya kemampuan atau tidak sempat untuk memprosesnya, ini akan memengaruhi coping strategy. Menurut Mala, trauma is not just what happen to us, but it is our ability to process the event. Sebenarnya kondisi triggered ini adalah cara kerja alami dari otak untuk melindungi diri agar aman.
Namun ketika efek dari sebuah kejadian menjadi sedemikian hebatnya sampai mengganggu fungsi dan kehidupan sehari-hari, di situlah trauma tersebut sudah berkembang menjadi post-traumatic stress disorder (PTSD) dan membutuhkan penanganan yang berbeda lagi.
Kondisi yang Mala kerap temui adalah kerap kali klien dengan kondisi trauma tahu apa yang membuat mereka sakit atau takut, tetapi tidak memiliki kemampuan kognitif atau kosa kata yang cukup untuk menjelaskan apa yang terjadi atau apa yang dirasakan.
Namun ketika mulai memakai art sand atau pasir dan gambar saat terapi, barulah keluar cerita tentang kejadian traumatis yang dialami oleh klien.
Mala juga menuturkan bahwa penting bagi orangtua untuk mampu memodelkan komunikasi yang sehat, agar anak belajar untuk berani bercerita dan merasa aman ketika mengomunikasi kejadian apapun kepada orangtua. Di sisi lain, memang ada anak-anak yang pembawaan atau sifatnya cenderung tertutup dan tidak langsung terbuka untuk bercerita.
Di sinilah orangtua harus lebih jeli memperhatikan perubahan perilaku anak-anak mereka, karena Mala menjelaskan bahwa inilah yang akan terlihat lebih awal ketika anak mengalami kejadian yang menimbulkan trauma.
Menurut Mala, terapis play therapy dasarnya mulai dari bekerja pada penanganan trauma pada anak-anak terlebih dahulu lalu baru orang dewasa. Namun khusus art therapy dimulai dengan menangani orang dewasa terlebih dahulu baru kemudian mengambil extra module untuk penanganan trauma pada anak-anak.
Informasi lebih lengkapnya, Sahabat RUANITA dapat simak dalam video berikut:
Subscribe kanal YouTube kami untuk mendapatkan video terbaru dari kami.
Halo Sahabat Ruanita, namaku Amanda. Di tulisan ini aku mau bercerita tentang pengalamanku transaksi tanpa uang fisik di Cina, tempat aku tinggal sekarang ini.
Saat sampai di Cina pertama kali tahun 2021, aku kesulitan untuk belanja, bahkan membeli makanan di sini. Waktu itu aku, suamiku, dan kedua anak kami harus dikarantina selama tiga minggu di hotel tempat kami tinggal. Sayangnya hotel tersebut dan toko-toko tidak menerima uang fisik, padahal waktu itu kami hanya bawa uang Euro dan Yen saja, belum punya rekening bank Cina. Oh ya, sebelum tinggal di Cina, aku dan suami yang berkewarganegaraan Prancis tinggal di Jerman dan Prancis.
Karena sudah mendapatkan informasi tentang cashless dari forum-forum ekspatriat di Cina, kami membawa tiga kardus popok dari Prancis untuk anak-anak kami yang waktu itu masih berumur di bawah tiga tahun. Makanan memang disediakan oleh catering perusahaan tempat suami kerja, tapi mau tidak mau kami harus makan yang disediakan. Kami tidak bisa memilih. Suamiku yang terbiasa makan roti, terpaksa harus makan nasi. Akhirnya, waktu itu suami pinjam uang ke koleganya yang sudah tinggal lebih lama di Cina dan sudah punya rekening bank Cina. Mereka kirim uang lewat WeChat dan kami ganti dengan Euro ke bank Prancis. Untungnya WeChat dan Alipay, aplikasi yang marak digunakan di Cina untuk transaksi keuangan, bisa digunakan meskipun tidak mempunyai rekening bank Cina.
Setelah selesai karantina, aku dan suami didampingi oleh orang dari agen yang ditunjuk oleh perusahaan suami untuk buka rekening bank di Cina. Di sini setiap orang hanya diperbolehkan punya satu rekening. Pembuatan rekening bank juga mudah, hanya perlu paspor dan surat registrasi tempat tinggal dari kepolisian. Setoran pertama di bank juga tidak perlu banyak. Aku pernah melihat orang-orang tua menyetor uang berkoper-koper atau kantong plastik. Itu masih bisa. Untuk mengambil uang harus dari ATM, tidak bisa di bank langsung. Di ATM tidak hanya untuk mengambil saja, tetapi juga menyetor uang. Nah, registrasi aplikasi seperti WeChat dan Alipay lebih ribet dibandingkan membuat rekening bank. Kami harus memasukkan sumber uang, misalnya rekening bank kami. Paspor, juga harus diverifikasi dengan foto dan scan muka.
Selama hampir dua tahun tinggal di sini, aku mungkin memegang uang hanya 2-3 kali saja, karena itu memang sangat jarang sekali harus pakai uang tunai. Bahkan untuk belanja di pasar tradisional juga memakai aplikasi meskipun pedagangnya orang tua. Aplikasi-aplikasi tersebut juga menggunakan speaker. Setelah kita telah membayar, di hape pedagang akan bunyi, „Anda mendapatkan transaksi uang sebesar 57 yuan“, misalnya. Itu suaranya kencang sekali dan orang-orang di sekitar kami jadi ikut mendengar. Istilah data privacy tidak dikenal di sini.
Aku melihat di sini semua orang dipaksa untuk memahami dan menggunakan cashless. Semua orang harus punya dan bisa pakai hape. Begitu juga dengan orang-orang tua, mereka dipaksa untuk memahami kehidupan sekarang. Banyak orang tua yang menghambat transaksi di kasir karena mereka tidak paham menggunakan hape dan aplikasinya. Di beberapa toko atau restoran, masih ada yang memperbolehkan bayar tunai, walaupun penjual tampaknya tidak senang. Bisa jadi, mereka tidak punya uang tunai untuk kasih uang kembalian ke pembeli. Ini juga yang membuat kesulitan untuk turis-turis yang datang.
Sebelum pindah ke Cina, kami sering baca-baca di forum untuk expat di Cina. Banyak saran untuk mengenal dan bisa menggunakan hape sendiri dulu. Begitu kita turun dari pesawat, QR code ini juga sudah dipakai di bandara di sini. Dulu aku tidak mengerti bagaimana cara scan QR code, aku baru mengetahuinya di sini karena semua harus bisa. Awal tinggal di sini rasanya aku ingin melempar hape. Selain aku tidak mengerti bahasanya, aku tidak tahu menggunakan aplikasi. Kalau aku mau transaksi di toko ada dua cara yakni: aku yang scan QR code mereka atau sebaliknya. Memang sih, cashless memberikan kemudahan dalam bertransaksi, tetapi rasanya seperti dikontrol gadget. Kalau kita tidak mengerti, tidak punya gadget, atau hape mati maka kita akan „lost“. Kita tidak bisa melakukan apa pun. Kita tidak bisa sewa sepeda, tidak bisa naik kereta atau taksi. Kita nothing tanpa hape di sini.
Aku menggunakan kedua aplikasi yang tersedia, yaitu Alipay dan WeChat, karena terkadang ada toko online yang hanya menggunakan salah satunya. Mirip dengan aplikasi GoPay di Indonesia. Sesama aplikasi juga bisa mengirimkan uang dengan gratis. Hanya saja, orang tidak bisa mengirimkan uang dari satu aplikasi ke lainnya. Misalkan, aku mau mengirim uang dari WeChat ke Alipay. Aku harus mengirim uang dulu dari WeChat ke bankku, lalu dari sana baru aku mengirim ke Alipay. Itu lebih ribet dan ada biaya 0,1% untuk setiap transaksi transfer uang dari aplikasi ke rekening bank, sedangkan transfer uang dari bank ke aplikasi gratis. Gaji suamiku masuknya ke rekening bank dia di Prancis. Jadi suami harus transfer uangnya dari bank Prancis ke bank Cina, lalu ke aplikasi. Karena aku tidak bekerja di sini, suami mengirimkan uang dari aplikasinya ke aplikasiku. Cara lain, dia mengirimkannya dari rekening bank Cina, lalu ke aplikasiku. Itu bukan masalah karena uangnya bisa dikirim lewat aplikasi.
Sejak tahun 2022, anakku yang paling besar masuk ke PAUD (=Pendidikan Anak Usia Dini) di sini. Untuk membayar uang sekolahnya, kita harus langsung membayarnya satu tahun yang dibayar lewat WeChat. Misalnya, aku membayar uang sekolah anak 1000 yuan per bulan maka kami harus transfer uang langsung 12.000 yuan. Waktu itu, untungnya aku bisa menegosiasikan dengan kepala sekolah, karena kami tidak bisa mengirimkan uang langsung sebanyak itu dalam sekali. Transfer dari bank Prancis ke Cina juga cuma gratis lima kali. Akhirnya, kami bisa menyicil tiga kali dalam sebulan. Tahun 2022, itu masih lockdown. Jadi, anakku sebenarnya cuma sekolah tiga bulan. Pada tahun ini, dia melanjutkan sekolah di sana dan adiknya juga juga ikut sekolah di sana juga sehingga kami hanya membayar kekurangannya saja. Istilahnya kami sudah mempunyai saldo di sana. Rencananya bulan Juli tahun ini, kami akan kembali ke Eropa. Nanti uang sisanya itu bisa di-refund ke WeChat kami. Kami sudah wanti-wanti ke pihak sekolah untuk mengirimkan uangnya tepat waktu, karena kami juga akan menutup rekening bank Cina.
Ada kejadian menarik di PAUD anakku. Pihak sekolah mengadakan bazar kecil-kecilan untuk anak-anak sebagai latihan. Harga barangnya juga murah, hanya sekitar 2 sampai 5 yen. Tujuan mereka adalah untuk melatih anak-anak menggunakan uang dan melatih belajar berhitung. Nah, sekolah meminta orang tua murid untuk membawa uang tunai untuk anak-anaknya. Aku dan orang tua murid lainnya tidak ada yang punya tunai. Ujung-ujungnya, kami mengirimkan uang ke guru-guru sekolah. Lalu, mereka memberikan uang tunai ke kami. Jadi kami bertukar uang. Menurutku, itu aneh juga sih. Di kehidupan nyata di Cina semua sudah serba cashless sehingga membuat anak-anak tidak perlu memegang uang dan belajar menghitung uang tunai.
Saat anak-anakku pergi fieldtrip dengan PAUD-nya juga, aku hanya perlu mengirimkan uang via WeChat ke sekolah dengan menuliskan namaku dan anakku. Aku tidak perlu mengirimkan bukti transfer, karena pihak sekolah bisa langsung mengecek sendiri.
Untukku, cashless bukan hal yang aneh. Di Indonesia, aku sudah mengenal GoPay dan saat aku tinggal di Jerman juga sudah banyak tempat bisa cashless. Perbedaan yang kurasakan, semua orang di Cina dipaksa untuk cashless. Menurutku, segi keamanan di sini juga sudah bagus. Mereka benar-benar sudah mempersiapkannya. Keamanan aplikasi juga berlapis. Punya nomor hp di Cina itu sulit sekali. Kita harus mendaftarkan diri dan memberikan dokumen-dokumen penting. Itu berbeda sekali dengan di Indonesia yang bisa didapatkan secara mudah. Nomor hape itu sangat penting di Cina dan digunakan untuk verifikasi semua hal. Sebelum kita bayar sesuatu, kita akan diminta kode PIN untuk verifikasi. PIN ini yang harus kita ingat. Sewaktu membuat Aplikasi pertama kali, kita juga memakai password.
Nomor hape juga mempermudah transaksi. Misalnya, aku naik taksi lalu hape mati saat mau check out atau lupa bayar. Nanti, aku mau pesan taksi lagi maka aku akan diingatkan untuk melunasi pembayaran sebelumnya atau aku tidak bisa menggunakan taksi. Ini juga yang membuat susah bagi penipu dengan sistem cashless. Berbeda dengan di Indonesia yang belum ada peraturannya dan nomor hape bisa dibeli dengan mudah, sehingga itu masih ada celah untuk penipuan.
Sahabat Ruanita, kita mungkin ingat kasus penipuan kotak amal di masjid yang menggunakan QR code. Pengemis di Cina juga sekarang mengikuti zaman, mereka menggantungkan QR code dari aplikasi-aplikasi di badan mereka. Orang yang mau beramal, bisa langsung scan kodenya. Nanti aplikasi akan bunyi memberitahu berapa transaksinya. Kita menjadi tahu memang dia yang menerima uangnya. Saranku untuk sahabat-sahabat Ruanita yang beramal lewat QR code, pastikan orang yang akan diberi sedekah itu ada di sana.
Harapanku, transaksi cashless di Indonesia bisa diperbanyak, karena akan mempermudah dan lebih efisien. Namun, sebelumnya kita perlu memperkuat tingkat keamanan digitalnya dan harus memperhitungkan sisi kriminalitasnya juga. Menurutku, Cina sudah banyak memperhitungkan ini sehingga kasus kriminalnya juga sedikit. Di desa tentu masih susah dan prosesnya akan lama. Pengalaman aku saat liburan di sebuah desa di Maluku, penduduknya tidak punya hape dan tidak memakai uang. Bahan makanan mereka didapat dari sekitar rumah seperti ikan yang ditangkap dari laut untuk nelayan. Di sana sudah benar-benar sudah cashless.
Penulis: Mariska Ajeng, penulis di http://www.mariskaajeng.com. Berdasarkan pengalaman dari Amanda, tinggal di Cina dan Hamburg, bisa dihubungi lewat Instagram di @amandapatriciam
Hai, namaku Rita. Aku tinggal di Hamburg, Jerman saat ini. Kegiatanku sekarang sebagai Florist atau perangkai bunga dalam Bahasa Indonesia di salah satu toko bunga di Hamburg. Pekerjaan ini sangat menyenangkan dan kreatif. Sebelum aku masuk ke dunia Floristic, aku pernah kuliah di Universitas Hamburg. Tepatnya tahun 2014/2015, aku memulai kuliah. Awal tahun 2020 aku selesai dengan sarjanaku atau Bachelor.
Kembali ke masa itu. Sekitar tahun 2013/2014 dan aku mulai daftar untuk masuk Universitas, aku sempat mengalami stres berat karena aku mengurusi berbagai hal, seperti perpanjangan visa, dll. Selain itu, kehidupan di Jerman terkadang sangat berat dijalani sendirian.
Nah, pola makanku menjadi tidak teratur ketika aku terlalu stres. Lalu berat badanku turun drastis, sekitar 3 kg. Untukku kehilangan 3 kg itu sangat banyak karena buatku sendiri sangat susah sekali untuk menaikkannya kembali. Maklum saja dari kecil sampai dewasa memang aku tidak pernah punya berat badan melebihi 42 kg.
Namun aku pernah loh mengalami satu kali, sekali-kalinya dalam hidup 42 kg. Berat badan normalku sebenarnya antara 37 sampai dengan 39 kg. Mungkin untuk orang seusiaku, awalnya banyak orang bertanya, apakah ini normal? Walaupun begitu, dokterku pun tidak mengkhawatirkan berat badanku ini. Menurutnya, memang ini sudah genetik. Selain itu, kesehatanku baik-baik saja.
Saat menyadari di mana beratku turun menjadi 34 kg kala itu, aku langsung pergi ke dokter. Aku diperiksa, test darah, dll. Hasilnya memang aku baik-baik saja. Namun, aku masih belum puas dengan hasil pemeriksaannya. Kecemasanku belum juga berkurang.
Aku ikuti sesi psikologi khusus untuk gizi dan masalah berat badan. Ternyata ini lumayan memotivasiku. Aku juga banyak membaca artikel di internet tentang pola makan.
Dulu aku sempat download aplikasi untuk menghitung kalori makanan, dan lainnya. Namun dengan berjalannya waktu, aku lebih mengerti dengan kebutuhanku sendiri.
Masa stres itu memang masa yang begitu sulit untuk mengontrol diri sendiri. Pola makanku dulu yang teratur, jadi terabaikan.
Dokterku juga memberikan minuman ekstra berkalori untuk membantu menaikkan berat badan. Nama minumannya Fortimel. Aku disarankan untuk minum 2-3 botol/hari dan ditambah aku juga tetap makan seperti biasanya.
Satu botol berisi 300 ml dan memiliki 300 kalori. Minuman ini juga memiliki berbagai rasa. Tanpa resep dokter orang tidak bisa mendapatkan minuman berkalori ini. Memang ada syaratnya dan asuransi yang menanggung biayanya.
Aku biasanya hanya membayar 5% dari 100% harga minumannya, yaitu 10€ untuk 128 botol. Minuman ini dulu membantuku sekali. Namun lama-lama aku tidak bisa mengonsumsinya lagi karena kadang-kadang membuatku merasa mual. Akhirnya aku hanya minum satu kali sehari. Setelah berat badanku kembali ke 37 kg, aku berhenti minum Fortimel. Sebagai gantinya, aku mengusahakan membuat smoothie yang berkalori tinggi atau makanan lainnya.
Aku juga berbagi cerita tentang masalah berat badan ke teman-temanku di sini. Saat itu, ada satu teman asal Jerman yang kebetulan juga mendapatkan resep minuman ini dari dokternya. Lalu kami saling bercerita. Ternyata temanku ini juga merasakan hal yang sama tentang minuman itu.
Di Jerman, berbicara tentang berat badan adalah hal yang sensitif. Di sini orang hampir tidak pernah menyinggung berat badan seperti: Kenapa kurus?; Kok gendut?; Kamu makannya banyak kok tetep kurus?, dan lain-lain.
Orang-orang di sini sangat menghormati dan menjaga sesuatu yang dianggap pribadi. Hal ini juga membuat aku merasa lebih percaya diri.
Saat aku masih di Indonesia, aku mengalami Bullying. Di Jerman, malah sebaliknya, mereka memuji. Terkadang, ketika di Indonesia, kita tidak sadar, kalau lingkungan sekitar mem-bully.
Mungkin memang maksud mereka tidak serius seperti sekedar mendapat julukan “Olive” atau si kurus. Ternyata, hal itu berpengaruh terhadap kesehatan mental loh. Dulu aku tidak berani dan tidak percaya diri memakai baju lengan pendek. Hal ini karena aku mengingat kata-kata mereka yang berada di sekitarku itu.
Beruntungnya lagi aku tinggal di sini, aku punya akses kesehatan yang baik. Jadi segala sesuatu bisa aku konsultasikan dengan ahlinya. Dokter atau para ahli di sini, tidak me-judge kekurangan atau masalah kita.
Untuk teman-teman yang punya masalah sama, tak usah sungkan untuk bertanya ke psikolog, dokter ataupun tenaga profesional.
Pesanku ini teruntuk teman-teman yang lebih cepat turun berat badan daripada naik berat badan seperti aku ini. Coba kalian tambahkan ekstra porsi kalori setiap harinya seperti, Smoothie, buah-buahan, juga cemilan berprotein lainnya. Usahakan makanan tersebut tetap hadir di antara menu sehari-hari.
Selain makanan utama, makanan kecil yang disebutkan tadi pun perlu diusahakan. Saranku lainnya adalah mengurangi makan Fast food atau cepat saji.
Semua saranku ini sudah terbukti berdampak bagus terhadap mentalku selama ini. Yang mana aku mulai disiplin dan merasa nyaman dengan kebiasaan makanku. Aku merasakan dampak positifnya, bukan hanya secara fisik melainkan secara mental juga. Kesehatan mental ‘kan salah satu hal terpenting dalam hidup kita.
Biarpun berat badan kembali normal, aku tetap memerhatikan kebiasaan makanku. Memang sih tidak semudah yang dibicarakan. Menurutku, stres juga bisa memengaruhi loh.
Untungnya aku sadar akan hal itu. Aku ingin mengubahnya! Memang itu butuh proses dan perjalanan yang panjang. Aku percaya, sesulit apapun itu kalau kita mau berusaha, suatu saat itu akan membuahkan hasil.
Intinya dalam keadaan apa pun, kita harus tetap ingat makan. Biasanya, aku masak dengan porsi banyak agar bisa dimakan pada hari-hari berikutnya. Ini sangat membantu, apalagi kalau hari-hari yang membuatku bakalan sibuk sekali.
Beban stres bisa berkurang. Pokoknya sesibuk apapun, sempatkan waktu untuk makan. Terakhir yang lebih penting lagi, menikmati juga makanannya.
Penulis: Rita, tinggal di Jerman dan dapat dikontak akun IG ritasjungle.
JERMAN – Business plan atau rencana bisnis adalah hal mendasar untuk kesuksesan suatu bisnis. Sebagai inti dari sebuah bisnis, rencana bisnis harus bisa menyakinkan banyak pihak yang bisa membantu berkembangnya suatu bisnis, contohnya pemberi modal.
Rencana faktor keberhasilan model bisnis juga akan dijelaskan dalam rencana bisnis, seperti jasa atau produk, target konsumen, pemasukan dan pengeluaran. Karena alasan-alasan tersebut, rencana bisnis merupakan dokumen yang paling penting dalam pembuatan atau pengembangan suatu bisnis.
Menindaklanjuti seminar pada tahun 2022 dengan tema „Kewirausahaan Perempuan di Indonesia“, tahun ini Ruanita menyelenggarakan workshop penyusunan business plan. Dalam workshop ini akan dibahas tiga tema penting, yaitu cara menjadi wirausaha perempuan, bagaimana menulis business plan, dan cara mengembangkan model keuangan. Diharapkan dengan workshop ini akan muncul lebih banyak lagi wirausaha perempuan Indonesia di mancanegara, terutama di Eropa.
Workshop akan dibagi ke dalam dua pertemuan, yaitu pada hari sabtu, tanggal 13 dan 20 Mai 2023, pada pukul 10.00-12.00 CEST atau 15.00-17.00 WIB. Acara workshop akan dipandu oleh moderator Sartika Kurniawan, yang juga merupakan pengusaha perempuan di Spanyol dan dibuka dengan sambutan dari Syafiih Kamil selaku CEO dari Java Foundation Amsterdam.
Narasumber Dessy Rutten yang merupakan ekonom senior, wirausaha perempuan, dan dosen tidak hanya akan berbicara tentang tiga tema yang telah disebutkan di atas, namun pada sesi terakhir di pertemuan kedua juga akan memberi masukan pada business plan yang akan disusun peserta setelah workshop hari pertama dan dikirimkan kepada panitia penyelenggara.
Workshop ini akan berlangsung secara virtual dan bisa diikuti dengan mendaftarkan diri sebelumnya melalui bit.ly/workshop-ruanita dengan biaya sebesar lima (5) Euro.
Peserta diharapkan sudah atau berencana memiliki usaha dan bersedia mempraktikan pembuatan proposal bisnis. Panitia juga akan memberikan sertifikat elektronik kepada peserta yang hadir penuh selama dua hari dan mengirimkan proposal bisnis yang mereka susun.
Tujuan diselenggarakannya acara pelatihan penulisan proposal bisnis ini, selain bentuk dari tindak lanjut dari seminar bertemakan kewirausahaan perempuan di Eropa pada Februari 2022 lalu adalah peserta memiliki kapasitas rencana bisnis dan mempraktikan ilmu yang sudah didapatkan dengan menyusun rencana bisnis.
RUANITA (Rumah Aman Kita) Indonesia adalah komunitas diaspora Indonesia yang dibentuk untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman seputar permasalahan psikologis dan kehidupan di luar negeri. Tujuan diberdirikannya RUANITA adalah untuk mempromosikan isu kesehatan mental, psikoedukasi serta berbagi praktik baik tentang keterampilan diri untuk tinggal di luar Indonesia.
Dalam rangka Hari Perawat Internasional 12 Mei 2023, RUANITA – Rumah Aman Kita mengundang Dewi Nielsen yang tinggal dan bekerja sebagai perawat di Denmark. Tentunya bidang pekerjaan mengurus dan merawat orang sakit bukan pekerjaan asing untuk Dewi yang telah menetap di Denmark sejak lebih dari 10 tahun lalu. Dewi sendiri pernah bekerja sebagai perawat di salah satu puskesmas di Indonesia sebelum akhirnya dia menikah dan menetap di Denmark.
Setelah lulus dari Sekolah Keperawatan di Indonesia, Dewi pun melanjutkan studi di Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta. Dia juga pernah mendapatkan praktik magang di Swedia saat masih menjadi mahasiswi di UGM.
Berbekal pengalamannya di negeri Skandinavia tersebut dan keterampilannya berbahasa Inggris, Dewi pun memberanikan diri untuk melamar menjadi tenaga kesehatan di salah satu rumah sakit di Denmark.
Tak mudah memang memenuhi persyaratan menjadi perawat di Denmark mengingat tes yang harus ditempuhnya berkali-kali yang disesuaikan dengan kemampuan berbahasa asing, yakni Danish yang memang tidak mudah dipelajari untuk orang awam sekali pun. Kegigihan Dewi untuk menembus dunia keperawatan di Denmark berbuah manis, dia pun berhasil lolos dan kini menjadi perawat di Aalborg, Denmark.
Menjadi perawat bukan cita-cita Dewi di masa kecil, tetapi karakter melayani sesama membuatnya terdorong untuk memenuhi permintaan orang tuanya menjadi bidan pada waktu dia masih memikirkan profesi impiannya.
Pengalamannya bergelut melayani orang-orang sakit telah membawa impian Dewi untuk menekuninya di Denmark, negeri asing yang memberinya pengalaman baru yang menantang.
Ada banyak pengalaman berharga yang Dewi dapatkan. Bagaimana perawat-perawat senior yang lebih lama bekerja dan para dokter spesialis sekali pun begitu mengharga keberanian dan kegigihan Dewi untuk mau belajar.
Mereka menghargai bagaimana Dewi belajar kosakata Bahasa Danish yang tak mudah. Dewi salut terhadap mereka yang bekerja di dunia keperawatan dan kesehatan di Denmark, seperti tidak ada kasta di antara mereka. Semua orang mau belajar dan menerima kekurangan masing-masing tenaga kesehatan.
Di Hari Internasional Perawat yang dirayakan 12 Mei, Dewi berharap bahwa para perawat Indonesia yang punya mimpi untuk melanjutkan jenjang karir lebih tinggi atau ingin bekerja di luar negeri agar tidak takut bermimpi. Perkuat skill komunikasi dalam Bahasa Inggris agar bisa mendapatkan kesempatan seperti dirinya untuk bekerja di luar negeri.
Peluang untuk menjadi perawat di mancanegara selalu terbuka lebar dan tingkatkan kompetensi perawat sesuai bakat yang dimiliki. Begitu pesan Dewi di Hari Perawat Sedunia, 12 Mei.
Simak penjelasan Dewi berikut ini di kanal YouTube kami berikut:
Menikah adalah salah satu fase dalam kehidupan yang momennya banyak melibatkan emosi baik keluarga, pasangan bahkan diri sendiri. Perkenalkan saya adalah Inur, berasal dari keluarga pendidik atau pengajar. Ayah, ibu dan kedua kakak saya adalah seorang pengajar, baik di instansi, sekolah dasar dan universitas. Begitu pun saya, enam tahun mengajar di universitas swasta di daerah Depok – Jawa Barat. Sampai pada akhirnya, saya memutuskan untuk bekerja di perusahaan.
Sebagai satu-satunya orang yang mengatur personalia, rasanya senang sekali pada saat itu walaupun saya merasa ada gap antara yang saya pelajari (Psikologi Klinis) dengan aplikasi pada pekerjaan (Psikologi Industri dan Organisasi). Namun saya berusaha untuk bisa menjadikan diri saya bukan sekedar melihat sisi Industri dan Organisasi tetapi bisa sekaligus melakukan konseling ketika karyawan mengalami masalah. Observasi ketika rekrutmen tidak selalu berdasarkan yang tampak, tetapi saya pun mencoba menganalisa dari hal-hal yang biasanya luput dari penilaian User.
Selama tujuh tahun bekerja di perusahaan terakhir, saya merasa memiliki keluarga yang sangat dekat. Prinsip saya, ketika bekerja kami adalah rekan kerja, tetapi ketika selesai bekerja mereka adalah adik, sahabat, kakak, bahkan orang tua yang mengajarkan banyak hal kepada saya. Kondisi comfort zone tersebut terpaksa harus saya akhiri karena saya menikah dengan pria warga negara Switzerland. Tepatnya 30 November 2021 saya resmi mengundurkan diri dan siap untuk pindah ke negara bersalju.
‘’Sedih yang tidak berujung’’ benar-benar menjadi kalimat yang saya rasakan. Dimulai dengan surprise farewell dari Departemen Operasional & HRGA. Makan-makan yang awalnya menjadi Birthday Lunch seorang teman (karena saya bertugas membeli kue ulang tahun) ternyata itu adalah surprise Farewell Lunch saya.
Rasa haru melebihi surprise ulang tahun, betapa tidak, pelukan dari atasan dan sahabat diiringi lagu “Mungkinkah” dari Stinky. Sama sekali tidak ada kecurigaan, momen ulang tahun yang seharusnya hanya berlima menjadi 2 meja panjang dari 2 departemen.
Lagu selamat ulang tahun yang biasa dinyanyikan semua pramusaji berganti jadi lagu sedih, polosnya di awal saya tetap membuat video dan happy, sampai seorang teman memeluk saya dari belakang kemudian atasan juga ikut memeluk. Baru saya sadar, momen, hadiah bahkan kue ulang tahun yang bertuliskan nama teman semuanya di hari itu adalah untuk saya. Terima kasih ibu dan bapak, teman-teman semuanya, masih suka sedih kalau melihat video tersebut.
Begitu juga di hari terakhir saya bekerja, sengaja saya memesan makanan untuk semua karyawan agar kami bisa makan bersama-sama. Sepatah dua patah salam perpisahan dari saya sebelum kami semua mulai mengambil makanan. Walaupun saat itu masih berjalan sistem pembagian Work from Home dan Work from Office, tetapi bersyukur banyak karyawan yang tetap datang ke kantor sehingga momen dan foto perpisahan terasa sangat hangat.
Kemudian kurang lebih seminggu setelah hari terakhir saya bekerja, salah satu teman kantor berkunjung ke rumah untuk memberikan hadiah perpisahan dan foto bersama yang dibingkai dengan ukuran yang sangat besar. Infonya, ada teman yang inisiatif untuk mengumpulkan dana untuk kemudian dibelikan beberapa barang yang sangat berguna saat musim Winter. Masha Allah, saya bersyukur diberikan rekan kerja seperti saudara. Sampai dengan tulisan ini saya buat, Alhamdulillah saya masih menjalin komunikasi dengan hampir semua teman kerja.
Perasaan senang akhirnya bisa bersama dengan suami, tetapi juga sedih harus meninggalkan keluarga, sahabat, dan rekan kerja. Namun hidup harus berjalan, kita tidak pernah mengetahui rencana Sang Pencipta. Tanggal 8 Desember 2021 saya tiba di Switzerland, pengurusan semua dokumen pun selesai. Mulailah saya berpikir: “Terus saya ngapain disini? Apa yang bisa saya kerjakan dan juga menghasilkan ?”
Saya sempat merasa up and down, stres karena tuntutan merasa harus segera mengikuti les bahasa. Sampai pernah ada momen saya takut ketemu kakak ipar karena selalu ditanya update les bahasa. Pengeluaran rutin tetap berjalan sementara pemasukan rutin belum ada. Merasa inferior, tidak berdaya, bergantung parah sampai akhirnya menangis sejadi-jadinya ke suami.
Alhamdulillah suami sangat mengerti, dia tidak pernah memaksa saya untuk bekerja, bahkan untuk les bahasa. Dia sangat senang ketika saya izin main bertemu teman WNI yang juga tinggal di Zürich. Senyumnya sumringah ketika saya pulang dari Asia Store membawa belanjaan. Hampir setiap minggu saya main bertemu dengan teman-teman, makin banyak kenalan makin banyak pelajaran, ilmu, motivasi bahkan nasehat yang saya dapat.
Pemahaman saya pada saat itu tidak mudah mendapatkan pekerjaan di Swiss, mostly must be certified dari lembaga atau sekolah di Swiss juga. Pusing lagi kan jadi nya, 😀
Searching di social media, tawaran dari teman yang kerja di restoran, bikin saya tambah bingung. Saya sempat merasa takut antara mau kerja tapi jadi harus bicara sama orang, nah bahasanya saja belum lancar.
Awalnya saya belum pernah mendengar yang namanya Career Gap, tapi mungkin yang saya lalui selama 6 bulan pertama di Switzerland adalah fenomena Career Gap, di mana saya tidak sedang bekerja karena menikah dan harus pindah negara. Menurut saya sebenarnya Career Gap ini sering sekali terjadi. Tidak hanya kaum perempuan, para pria juga mengalami. Hanya saja dilihat dari alasannya, mungkin kaum perempuanlah yang lebih sering mengalami. Beberapa alasan terjadinya Career Gap adalah menikah, memiliki anak, pindah tempat tinggal, pemutusan hubungan kerja, dll.
Pada kasus saya, setelah mencoba aktif di media social dengan belajar buat video dan foto yang aesthetic, soal masakan atau sekedar memperlihatkan keindahan kota tempat saya tinggal, saya merasa jenuh karena menuntut saya harus terus aktif setiap hari untuk benar-benar menghasilkan sesuatu yang dapat dinikmati teman di media social.
Sampai akhirnya saya menemukan sebuah platform Babysitting di Switzerland. Bermodal senang dengan anak kecil, dekat dengan semua keponakan dan Bahasa Inggris, saya coba membuat account. Tiga bulan setelahnya tawaran pekerjaan masuk melalui message, mereka berkewarganegaraan USA yang juga tinggal di Switzerland dan berjarak hanya 500m dari rumah. Berkunjung ke kediamannya, bertemu dengan anak dan mendiskusikan banyak hal mengenai pekerjaan. Setelah itu saya diskusikan kembali dengan suami, apakah baik untuk saya lanjutkan atau tidak.
Memiliki pekerjaan membuat saya lebih mandiri dan percaya diri. Banyak hikmah yang saya pelajari. Perbedaan negara yang signifikan membuat saya harus menyadari saya bukan siapa-siapa di sini. Selalu berdiskusi dengan suami adalah hal penting bagi saya. Apakah pekerjaan saya akan membuatnya malu atau tidak, bagaimana kira-kira pendapat keluarga suami apakah akan memalukan bagi mereka atau tidak.
Hal itu yang saya ke depankan sebelumnya. Setelah mendapat pekerjaan, kepercayaan dan menyayangi anak kecil seperti keponakan atau anak sendiri adalah cara saya memperlakukan mereka. Saat menemani anak bermain, seringkali kami mengunjungi teman-teman sekolahnya, sehingga para orang tua mengenal saya dengan baik.
Ini saya dengar karena mereka menceritakannya ke saya 😊. Sampai akhirnya beberapa di antara mereka meminta untuk Occasional Babysitter. Tepat 1,5 bulan pekerjaan tersebut selesai dan lanjut pekerjaan berikutnya tanpa gap, kontrak kerja yang awalnya hanya dua bulan dan sekarang sampai waktu yang tidak ditentukan 😊
Memiliki beberapa kenalan (orang tua anak sekolah) di kota yang sama membuat saya merasa punya teman dan tidak sendiri lagi. Kondisi ini membuat saya semakin berani dan pada akhirnya mendaftar Kursus Bahasa Jerman yang diadakan oleh Gemeinde kota tempat saya tinggal.
Yap, makin banyak kenalan, makin sering tegur sapa karena bertemu di supermarket, taman bermain, dan public transport. Tidak hanya para orang tua, tetapi kasir supermarket, pegawai restoran dan gerai toko di supermarket, sampai beberapa bus driver dan taxi driver. Masha Allah, senang sekali rasanya saat ini, saya merasa aman karena sudah punya banyak kenalan dan tidak khawatir lagi walaupun pulang malam.
Kembali perihal Career Gap, menurut saya intinya ada self-acceptance. Ketika kita menerima dengan baik kondisi tersebut, maka secara tidak sadar tubuh pun akan merasa rileks. Saat merasa santai, cara pandang dan cara berpikir akan lebih baik. Begitupun dengan pemilihan aktivitas yang ingin dikerjakan, apakah tetap mencari pekerjaan baru atau sekedar menyalurkan hobi.
Namun peran pasangan, keluarga atau teman dekat juga sangat mempengaruhi. Bagaimana mereka ikut menerima, memotivasi, memberi nasehat, dan atau memberi solusi. Saya bersyukur atas segalanya, tetapi tetap bermimpi suatu saat bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan Bahasa Jerman dan atau Swiss German. Saya juga ingin mendapat pekerjaan sesuai dengan mimpi saya.
Penulis: Inur Darham, seorang anak bungsu dari tiga bersaudara. Inur memelajari Psikologi Klinis pada jenjang Universitas, mengajar di Fakultas Psikologi, menjadi pembicara pada beberapa Dialogue Interactive, menggeluti bidang Human Resource pada Pest Control dan Oil and Gas Company, menikah lalu mengundurkan diri dan kini tinggal di Switzerland.
Namaku Fadni, aku berasal dari Jakarta dan sekarang bermukim di Jerman. Pada tahun 2014, aku lulus SMA berpindah dan memberanikan diri melanjutkan pendidikan di Jerman hingga sekarang. Kini aku berdomisili di ibukota Jerman yaitu kota Berlin. Terhitung aku sudah 9 tahun tinggal di Jerman, tepat pada tanggal 7 Februari 2023 lalu.
Kegiatanku sehari-hari tentu saja tidak jauh berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa pada umumnya, seperti: menghadiri seminar-seminar, presentasi, dan mengerjakan tugas perkuliahan lainnya. Selain itu aku juga menyempatkan bekerja paruh waktu untuk menambahkan uang saku dan membeli kebutuhan hidup sehari-hari. Namun pekerjaanku masih serabutan, terkadang aku menjadi kasir di sebuah toko kelontongan. Sekali-kali aku juga bekerja di pabrik obat-obatan.
Aku lahir di sebuah keluarga yang standar, boleh dibilang umum. Aku memiliki satu ayah, satu ibu, dua saudara kandung, dua nenek, dan dua kakek. Situasi keluarga besarku lainnya pun seragam. Aku berpendapat tentang hal ini di luar ajaran agama yang kami percayai. Poligami, Poliandri bahkan perceraian pun bukan menjadi pilihan di dalam keluargaku. Di dalam keluargaku keutuhan adalah segalanya. Itu merupakan barometer keluarga atau pernikahan yang tertanam di diriku sejak kecil. Lambat laun lingkunganku pun berganti menjadi lebih luas dan terbuka. Aku pun mulai mengenal struktur kehidupan keluarga dari teman-teman di sekitarku.
Ternyata, ada beberapa temanku memiliki struktur keluarga yang lebih komplit. Ada sosok lain sebagai ayah, ada sosok ibu tambahan, dan tahu-tahu ada kakak dan adik sambung yang belum pernah sebelumnya bertemu atau dikenal. Mereka sudah tumbuh besar dan tinggal bersama dalam satu atap. Belum lagi, kakek dan nenek mereka yang juga terkejut mendapat „cucu“ baru yang tidak mengenal masa kecilnya.
Aku menceritakan hal ini sesuai pengalaman yang aku jalin dengan teman-temanku yang memiliki keluarga sambung atau istilah lainnya Patchwork Family. Jelas kondisi dan keadaan mereka semua tidak sama. Begitu juga mungkin Sahabat Ruanita yang membaca ini, memiliki pandangan yang berbeda. Aku coba mendeskripsikan apa yang aku rasa ketika mengetahui temanku memiliki Patchwork Family. Mendengar pernyataan salah satu temanku tersebut tentang silsilah keluarganya, perasaanku awalnya bingung. Aku merasakan empati yang meninggi dan condong ke arah sedih.
Awalnya aku tidak tahu, apakah dia sudah dapat menerima kondisi keluarganya atau keputusan kedua orang tuanya bersama pasangan baru mereka masing-masing. Setelah itu, muncul rasa simpati yang lebih terhadap temanku tersebut. Aku melihat seberapa dewasanya dia, bagaimana dia berbesar hati untuk dapat menerima jalan kehidupannya. Aku berusaha juga lebih banyak menyempatkan waktu untuk menanyakan kabarnya sesekali. Aku pun berusaha tidak bertanya lebih dalam tentang keluarganya tersebut, kecuali temanku yang ingin bercerita sendiri, tanpa adanya paksaan atau pertanyaan pancingan.
Cara aku menjelaskan kepada keluarga atau teman-teman tentang keluarga sambung yang dimiliki teman-temanku yaitu dengan diawali menceritakan prestasi yang ia dapat, bagaimana kemampuan yang mereka miliki serta tekadnya. Lalu, aku bercerita tentang struktur keluarga sambung, bahwa temanku tersebut memiliki banyak saudara dan lingkungan sosial yang lebih luas. Dia bisa saja bertemu keluarganya di jalan tanpa dia sadari baik itu keluarga kandung, keluarga tiri maupun keluarga sambung.
Karena adanya ikatan baru dari kedua orang tua yang ia sayangi, ia pun harus bersedia untuk mengenal dan memelajarinya satu persatu. Di satu sisi, ia pun enggan untuk memosisikan dirinya sebagai anggota keluarga baru. Dia butuh waktu dan usaha yang tiada henti. Akupun sedikit khawatir bahwa keluarga atau teman-temanku lainnya akan berpikiran buruk terhadap teman-temanku yang memiliki Patchwork Family. Atau pahitnya aku dilarang untuk berkontak dengan mereka kembali karena penilaian yang ada di masyarakat luas pada umumnya. Di lingkungan keluarga dan pertemananku, hal ini masih sangat jarang dilalui.
Pada awalnya, reaksi orang terdekat seperti keluarga d Indonesia tentang struktur keluarga yang demikian adalah menggeneralisasikannya. Padahal, kebanyakan dari keluarga yang menjalaninya memiliki pemahaman kehidupan yang berbeda-beda. Mulai dari asal-usul, daerah tempat tinggal, adat istiadat hingga norma serta kebiasaan setempat disebutkan menjadi penyebab terbesar Patchwork Family terbentuk. Lalu tingkat pendidikan juga dipertanyakan oleh keluarga dan teman-temanku.
Ketika aku menceritakan tentang teman-teman dari Patchwork Family, keluarga dan teman-temanku yang tidak mengalami Patchwork Family tampak cemas dan berempati. Mereka pun berasumsi bahwa anak-anak yang mengalami keluarga sambung atau Patchwork Family merupakan anak yang tak terurus, seperti Troublemakers (=mencari masalah), memiliki banyak masalah dalam keluarganya, hingga memiliki Childhood Trauma yang mendalam. Oleh karena itu, keluarga dan teman-temanku yang tidak mengalami keluarga sambung pun dapat bercermin dan merasa harus lebih memerhatikan satu sama lain dalam hal berkeluarga. Mereka harus menghormati masing-masing individu dalam keluarga serta peranannya.
Salah satu contoh bentuk social support yang diberikan kepada teman-teman dengan keluarga sambung adalah perhatian dari ibuku. Ibuku berpesan padaku untuk tetap menjalin pertemanan dengan mereka, mencoba selalu ada, dan mengulurkan tangan ketika mereka memerlukan pertolongan. Menurut ibuku, kita perlu peka yang lebih tinggi pada mereka.
Bahwasanya kehidupan berjalan tidak selalu seperti apa yang kita inginkan atau impikan. Kita pun tidak bisa membuat standar mana keluarga terbaik ataupun keluarga ideal. Kita perlu belajar menerima takdir atau keadaan yang tidak menetap dengan lapang dada. Kita sebaiknya menjalin kontak yang hangat sehingga hidup pun akan menyenangkan kembali. Aku yakin, bahwa setiap fase dalam kehidupan kita akan mengantarkan diri kita sendiri ke posisi yang lebih baik.
Untuk menemukan kecocokan dan penerimaan satu sama lain, aku tentu saja pernah mengalami fase berselisih dengan teman-temanku, terlepas dari apapun struktur keluarga mereka. Ketika aku menjalin komunikasi dengan orang lain, ada kalanya muncul selisih paham atau perbedaan, terlepas dari apapun latar belakang struktur keluarganya tersebut. Menurutku, itu adalah hal yang lumrah.
Aku hanya perlu tahu bagaimana aku harus menempatkan diri, tidak terbawa emosi, memahami maksud pendapat yang dilontarkan teman lain, dan menghargai apapun keputusan akhirnya. Setiap aku berkenalan dengan teman baru, aku tidak pernah membanding-bandingkan. Aku tidak memiliki ekspektasi bahwa dia harus cocok dan satu frekuensi dalam berpikir, berpendapat ataupun memberikan saran bila kita berdiskusi bersama.
Menurutku, setiap individu bisa menjadi guru untuk kita. Setiap individu yang kita kenal dapat memberikan kita sebuah pelajaran yang baru. Setiap makhluk di dunia ini unik terlepas dari cara bicaranya, cara menyampaikan pendapat, atau cara mereka menghadapi masalah pada fase-fase kehidupan tertentu pun berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh pengalaman, alur kehidupan, dan wawasan yang juga bervariasi
Pengalaman berharga yang bisa aku bagikan setelah mengenal beberapa temanku yang memiliki Patchwork Family atau keluarga sambung adalah cara pandangku tentang keluarga ideal pun berubah. Di dalam Patchwork Family yang sering dinilai sebagai keluarga-keluarga gagal dalam masyarakat ternyata tumbuh juga anak-anak ceria yang berprestasi. Mereka juga tumbuh dengan toleransi yang lebih tinggi, lebih mudah bersosialisasi, dan cepat menyesuaikan diri pada lingkungan.
Walaupun sebagai seorang anak dalam Patchwork Family, teman-temanku memiliki peran yang mendalam sebagai orang kakak dan adik sekaligus. Saya pikir ini memerlukan usaha penerimaan diri yang lebih besar hingga pada akhirnya mereka dapat membuka diri kepada keluarga-keluarga barunya dan menerima situasi baru. Meskipun di sisi lain, ada juga seorang temanku yang masih belum bisa bangkit dari trauma dan depresi yang dialaminya, sejak orang tuanya bercerai. Kini orang tuanya masing-masing telah memiliki pasangan baru. Temanku ini masih memilih untuk tetap menutup diri. Dia pun sempat mengaku kalau dia tidak memiliki mimpi hingga tujuan hidup. Temanku ini menjadi sulit untuk merasakan kebahagiaan atau kesedihan.
Sekali lagi, aku menekankan bahwa aku bukan seorang ahli yang memiliki ilmu dan pengalaman langsung dalam hal ini. Aku hanya ingin berpendapat di sini, karena orang terdekatku dan beberapa teman di lingkunganku hidup dalam keluarga sambung atau Patchwork Family. Menurutku, faktor-faktor yang mendukung keberhasilan Patchwork Family antara lain:
Kita tidak memaksa tetapi memberikan cukup waktu dan tempat agar setiap individu di dalamnya merealisasikan keadaan yang baru dan mengolah emosi serta ego masing-masing. Kita harus tetap menjalin hubungan baik dengan mereka. Penting diingat kalau kita tidak perlu memutus tali silaturahmi dengan keluarga sebelumnya karena ada tanggung jawab bersama yang tidak akan pernah putus.
Kita harus tetap berkomunikasi, yakni menceritakan kepada anak atau pasangan lama dan keluarga baru tentang masa lalunya. Bahwa semuanya telah selesai secara baik-baik. Kita berharap setiap individu di dalam keluarga ini telah menerima, memaafkan, dan menjalani kehidupan baru yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan masa lalu. Komunikasi ini pun harus dijalankan secara rutin, agar kedekatan tetap terjaga, terutama anak-anak, supaya mereka tidak menjauh dan merasa asing pada orang tua dan keluarga.
Kita harus memberikan perhatian dengan cara memberikan waktu dan prioritas terhadap anggota keluarga satu sama lain. Ini semua membutuhkan proses terbentuknya Patchwork Family melalui pendampingan oleh orang tua, psikolog, hingga anggota keluarga yang dituakan. Ini sangat dibutuhkan oleh anak-anak di dalam Patchwork Family. Penting juga role model dari orang tua atau saudara kandung agar setiap individu di dalamnya tidak merasakan kesepian atau meyakini perbedaan yang kontras. Hati-hati juga agar jangan sampai orang tua sibuk dengan pasangan baru atau anak-anak sambungnya. Sebagai orang tua, kita bisa memberikan penjelasan yang jujur apa yang dirasakan dan dikehendaki di masa depan dengan kondisi baru. Orang tua perlu meyakinkan kalau mereka selalu ada, satu sama lain. Tidak ada perubahan terhadap cinta dan kasih sayang yang akan diberikan nantinya.
Kita perlu juga menanamkan keadilan, di mana semua individu di dalam keluarga mendapatkan hak dan kewajiban yang sama sesuai perannya masing-masing. Segala bentuk pemberian disalurkan sama ke seluruh anggota keluarga sesuai posisinya, dalam semua aspek kehidupan seadil-adilnya. Jangan biarkan terjadi perbedaan baik kepada anak kandung, anak tiri maupun anak sambung! Bagaimanapun hal ini akan menimbulkan kecemburuan ke depannya dan berakibat timbul rasa kurang percaya diri, terutama pada anak.
Kita perlu menghargai privasi setiap anggota keluarga dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, dengan cara tetap memberikan ruang untuk sendiri atau Me time. Kita tidak perlu memaksa salah satu pihak untuk terus menerus bersama-sama dengan anggota keluarga lain. Kita tidak memaksa untuk menceritakan segala hal yang terjadi dalam hidupnya agar tidak adanya rahasia atau hal-hal yang ditutupi.
Kita perlu terbuka dengan cara tidak menyembunyikan perasaan atau pikiran yang dimiliki. Kita menyadari bahwa tidak ada orang yang ingin disakiti dan menyakiti. Semua orang berhak menjalankan keputusannya masing-masing. Semua orang berhak untuk bangkit lagi dan menemukan cintanya. Semua orang juga berhak memberikan kesempatan untuk tetap mendukung setelah adanya kegagalan dalam keluarga. Tidak ada orang yang sempurna di dunia ini dan kita pasti pernah berbuat kesalahan.
Pesanku untuk sahabat Ruanita yang mengalami situasi Patchwork Family, aku berada dalam sepatu kalian. Aku bisa memahami sudah berapa banyak kerikil di dalam sepatu kalian yang ingin disingkirkan, dikeluarkan atau dibersihkan agar kalian bisa tersenyum kembali. Kita harus merelakan, berbesar hati, dan perlahan membuka diri. Jangan sungkan, jika kalian butuh teman atau keluarga untuk berbagi apa yang ada di dalam pikiran dan hati kalian!
Terakhir, kita percaya bahwa menjalani adalah hal yang paling baik untuk semua pihak agar mendapatkan kedamaian dan kebahagian yang abadi. Kalian tidak sendirian. Kalian harus percaya bahwa tidak akan ada yang meninggalkan apalagi melupakan kalian. Semua orang ada untuk menyayangi kalian setulus hati.
Aku berharap pada masyarakat untuk menghentikan stigma negatif. Ada banyak stigma negatif yang terus menerus tertanam luas tentang Patchwork Family, ibu tiri atau ibu sambung yang kejam, bapak sambung atau bapak tiri yang sering diberitakan telah melakukan pelecehan seksual terhadap anak tiri atau anak sambungnya. Stigma negatif lainnya pada anak-anak dengan Patchwork Family seperti dianggap anak nakal, anak-anak yang memiliki pergaulan bebas, anak-anak yang menggunakan obat-obatan terlarang atau anak-anak berkonflik dengan hukum. Kita tidak menjauhi mereka atau melakukan Bullying karena perbedaan yang dimiliki.
Sebagai teman, tetangga atau keluarga, kita perlu memberikan ruang yang aman dan nyaman untuk mereka. Kita perlu mendampingi, mengulurkan tangan, dan mendukung mereka. Sudah sepatutnya, kita menghargai privasi mereka dengan tidak bertanya terlalu dalam, seperti: apa penyebab perceraian orang tua mereka? apakah ibu/bapak baru mereka bersikap baik? atau pertanyaan lainnya yang dapat melukai perasaan mereka.
Kita tidak tahu bagaimana kondisi dan situasi mereka, apakah cukup stabil atau baik-baik saja untuk menjawab keingintahuan kita, meskipun kita memiliki kedekatan dengan mereka. Jangan pula menceritakan hal-hal buruk mengenai pengalaman keluarga sambung atau Patchwork Family yang lain. Bagaimana pun, tidak semua hal tentang perpisahan membawa keterpurukan atau kehancuran. Justru kita perlu mengambil banyak pelajaran dari apa yang mereka alami.
Tidak ada orang di dunia ini yang menginginkan perpisahan apalagi dengan keluarga yang dicintai yang telah melahirkan dan membesarkan kita ke dunia ini. Sudah sepatutnya kita menghargai kondisi kehidupan keluarga, terlepas dari apapun struktur keluarga tersebut. Semua orang itu berbeda dan tidak ada yang sama. Masalah yang dihadapinya pun bervariasi dan tidak ada yang mirip. Kita tidak tahu, betapa sulitnya tumbuh di dalam keluarga baru. Kita tidak pernah tahu sudah berapa banyak usaha yang telah mereka lakukan. Saranku, kita mendoakan yang terbaik dan memberikan dukungan agar mereka dapat mencintai dirinya sendiri terlebih dulu baru kemudian orang lain di sekitarnya.
Penulis: Fadni, tinggal di Jerman dan dapat dikontak via akun IG: @fadniiii.
Nama saya Rika, tinggal di Helsinki bersama suami yang warga Finlandia dan dua anak laki-laki. Setahun belakangan ini hidup saya rasanya sibuk sekali karena sekarang saya kembali bekerja full time setelah dua tahun sempat vakum dari dunia tenaga kerja. Selain itu saya juga ikut kelas menari India di Helsinki dan seminggu sekali mengajar tari Indonesia di KBRI. Hampir setiap hari saya juga harus wara-wiri mengantar anak pergi dan pulang ekskul. Tiap-tiap anak jadwal latihannya empat kali dalam seminggu, belum termasuk turnamen yang sering diadakan di akhir pekan.
Setelah melahirkan anak pertama saya mengalami postpartum depression. Si anak pertama memang termasuk “high need baby” yang tidurnya sedikit, nangisnya banyak, dan cuma bisa tenang jika disusui. Capek sekali rasanya jadi ibu baru. Setelah kejadian tersebut, memang rasanya saya jadi lebih mudah mengalami stres dan depresi. Pada akhirnya di tahun 2018 saya mengalami depresi berkepanjangan dan memutuskan untuk mulai mengonsumsi obat antidepresi. Keadaan saya jadi lebih baik berkat obat antidepresi. Namun menjelang menstruasi tetap saja depresi saya kembali lagi walaupun kadarnya sedikit saja.
Tahun 2019, suami saya ditugaskan ke Amerika Serikat selama dua tahun. Wuaaaa, rasanya bahagia sekali. Amerika ‘kan negara impian saya. Karena merasa terlalu bahagia, saya memutuskan untuk berhenti minum obat antidepresi. Optimis sekali hidup saya akan bahagia pol di Amerika. Lagipula, obat antidepresinya bikin saya jerawatan dan naik berat badan. ‘Kan sebel.
6-8 bulan lepas dari antidepresi saya mulai menyadari bahwa setiap habis masa ovulasi, pasti saja mood saya memburuk. Bukan sekadar mood swings seperti PMS (premenstrual syndrome) biasa, tetapi benar-benar masuk ke keadaan depresi lagi. Kebetulan saya juga menderita mittelschmerz alias sakit nyeri ovulasi, jadi saya tahu persis kapan saya ovulasi. Seperti magic saja, mood saya berubah total sehari setelah ovulasi. Bagaimana merasakannya? Ketika bangun tidur ada perasaan berat di dada. Otak pun cuma bisa dipakai untuk memikirkan hal-hal negatif. Susah sekali buat merasa senang.
Pandemi membuat keadaan saya jadi lebih parah. Keadaan terisolasi bikin depresi menjadi-jadi. Semakin lama, kondisi depresi saya semakin parah sampai kadang tidak sanggup untuk bangun dari tempat tidur. Semua terasa berat, melelahkan, menakutkan, bikin sedih, bikin marah, dan bikin putus asa. Jadi saya cuma bisa mengurung diri saja di kamar. Namun tiga hari setelah menstruasi, keadaan berubah total lagi. Saya bangun tidur dan hati rasanya ringan. Rasanya ingin ke dapur, bikin makanan enak-enak untuk keluarga. Ingin menghirup udara segar, ingin jalan-jalan, ingin ngobrol panjang lebar. Semua perasaan depresi tiba-tiba hilang. Sampai nanti setelah ovulasi, depresinya akan datang kembali.
Hidup saya pun jadi terbagi menjadi dua shift, masing-masing per dua minggu. Ketika lagi “normal”, saya banyak bikin rencana ini-itu. Namun begitu depresinya datang, langsung semuanya buyar. Sampai akhirnya saya nggak pernah lagi mau bikin rencana apa-apa. Mau baca buku saja jadi malas karena bacaannya jadi terbengkalai ketika depresi kumat dan akhirnya malah kena denda telat mengembalikan buku ke perpustakaan.
Pertama kali ketemu dokter itu gara-gara depresi di akhir tahun 2018. Sebenarnya ini atas inisiatif suami: dia yang membawa saya ke puskesmas karena saya jadi gampang histeris kalau ada masalah. Di tahun 2021, saya kembali menemui dokter. Saat itu saya sedang tinggal di Amerika Serikat, dan PMDD (termasuk depresinya) kumat akibat pandemi. Kondisi ini yang mendorong saya kembali mencari bantuan profesional.
Singkatnya sih, PMDD (premenstrual dysphoric disorder) itu adalah versi parahnya PMS. Kalau PMS umumnya perempuan mengalami mood swings, penderita PMDD malah mengalami depresi. Gejala PMDD nggak sekadar masalah mental. Umumnya juga merambah ke fisik seperti saya yang mengalami kram perut selama dua mingguan sejak ovulasi hingga hari kedua menstruasi. Jerawat juga wadaaaw… jangan ditanya. Mati satu tumbuh seribu.
Di Amerika urusan ketemu dokter jadi gampang berkat asuransi, termasuk dokter spesialis. Tidak tanggung-tanggung, saya ketemu dua dokter sekaligus: dokter umum dan spesialis ObGyn karena saat itu saya sudah curiga sepertinya yang saya alami adalah gejala PMDD.
Mau cerita sedikit tentang kunjungan saya ke dua dokter tersebut. Dokter umum saya berteori kalau PMDD disebabkan karena underlying depression. Jadi kalau ingin menyembuhkan PMDD, depresinya yang harus diberesin. ObGyn saya berpendapat PMDD dan depresi itu seperti telur dan ayam: entah mana yang mulai duluan dan memberi efek ke yang lain. Sebelum memberikan treatment, beliau meminta saya untuk mengisi jurnal siklus menstruasi dulu selama 3 bulan. Jurnal ini merekam gejala-gejala umum PMDD. Tujuannya untuk melihat apakah gejala tersebut muncul secara sporadis, konstan, atau di waktu tertentu saja. Berkat jurnal ini jadi terlihat kalau memang gejala depresi maupun fisik (kram perut, jerawat) yang saya alami muncul di fase luteal hingga hari ke-2 atau ke-3 menstruasi.
Kalau ditanya soal apa yang biasa dilakukan saat mengalami fase PMDD? Sayangnya karena terlalu tenggelam dalam keadaan depresi, saya jadi tidak melakukan apa-apa. Namun satu hal yang jelas: setelah minum obat, gejala PMDD saya sangat minim dan hampir seperti hari-hari normal lainnya.
Ada beberapa peristiwa yang pernah saya alami saat PMDD terjadi. Kalau lagi masuk fase PMDD dan depresi memuncak, saya jadi takut menyetir mobil. Entah mengapa rasanya deg-degan terus dan akhirnya jadi banyak bikin kesalahan. Pernah suatu kali, saya banting setir ke kiri karena ada bunyi klakson. Gak tahunya, bukan saya yang diklakson. Tapi cuma dengar klakson saja sudah cukup bikin saya panik dan otomatis banting setir. Untung jalanan lagi sepi.
Soal proses menerima kondisi PMDD ini, saya terpukul sekali waktu dokter bilang PMDD biasanya disebabkan oleh underlying depression. Waktu tahu soal PMDD, saya menyalahkan hormon atas keadaan depresi saya. Lega rasanya ada yang bisa disalahkan. Tapi setelah mendengar perkataan bu dokter, saya sempat terpuruk selama beberapa hari. Pikiran ‘ternyata memang saya yang depresi’ dan ‘memang saya yang gak beres’ terus berulang-ulang muncul.
Yang kemudian sangat membantu adalah ketika beberapa teman bercerita kalau mereka juga didiagnosa depresi dan sama-sama minum antidepressant seperti saya. Segala pertanyaan “Why me?” dan pikiran yang menyalahkan diri sendiri langsung hilang. Siapa saja bisa depresi, entah apa pun alasannya.
Saya baru mulai mencari informasi ketika muncul rasa heran: kenapa depresi saya munculnya menjelang menstruasi? Lewat pencarian google barulah saya mengenal istilah PMDD. Lalu karena malas sekali rasanya kembali minum obat antidepresi, saya berusaha mencari pengobatan alternatif. Kebetulan dokter umum saya di Amerika mempunyai pendekatan holistik dalam pengobatan dan beliau memberikan banyak masukan tentang mencoba akupunktur dan obat-obatan herbal yang bisa saya coba seperti misalnya St. John’s Wort dan chinese medicine yang katanya ampuh untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan hormon (yang sering kali dikaitkan dengan PMDD).
Saya sempat datang ke klinik TCM (traditional chinese medicine) dan obat yang diresepkan cukup membantu. Pikiran jadi lebih tenang, kulit muka jadi bersih. Tapi terus kliniknya sempat tutup lama sekali ketika kasus pandemi memuncak. Pengobatan saya pun jadi berhenti di tengah jalan.
Untuk proses dan prosedur mendapatkan treatment depresi dan PMDD ini, di Finlandia sendiri penanganan untuk segala macam masalah kesehatan dimulai dari puskesmas. Jadi saya nggak bingung-bingung harus mencari bantuan ke mana. Walaupun saya lumayan kaget karena ternyata antidepressant saya diresepkan oleh dokter umum. Tidak perlu menemui psikiater. Dokter pun menjelaskan bahwa kasus-kasus tertentu saja yang dirujuk ke psikiater. Namun saya juga mendapatkan sesi terapi pendamping, kok. Ada perawat khusus yang menemui saya sebulan sekali untuk talk-therapy. Ini sifatnya optional dan pada akhirnya saya hentikan setelah dua kali pertemuan karena nggak enak kalau terlalu sering izin dari kantor. Waktu itu belum jamannya WFH (=Work From Home), sih.
Untuk obat yang diresepkan, obat antidepresi standar seperti citalophram dan e-citalophram harganya murah sekali. Lebih murah dari Panadol. Waktu saya pindah obat ke Voxra, dokternya minta maaf karena obatnya mahal. Eh ternyata masih sangat terjangkau, kok. Terima kasih universal healthcare!
Ketika tinggal di Amerika Serikat, untungnya kami punya asuransi yang lumayan bagus. Segala pengobatan ke dokter gratis, tapi biaya obat tidak ditanggung penuh walaupun mendapatkan potongan harga. Karena saya diresepkan dua jenis obat (antidepressant dan pil KB), bayarnya sungguh lumayan. Apalagi pil KB-nya, bahkan setelah diskon harganya hampir 60 dollar/pack. Di Finlandia, pil yang sama harganya 14 euro/pack.
Asuransi kami juga menanggung psikoterapi, jadi saya sempat konsultasi rutin dengan psikolog seminggu sekali selama beberapa bulan. Ini hal yang sangat mewah karena kunjungan ke psikolog itu mahal sekali dan di Finlandia cuma kasus-kasus berat saja yang dirujuk ke psikolog maupun psikiater dengan biaya ditanggung negara. Kalau terapinya atas inisiatif sendiri, bayarnya sungguh bikin bangkrut.
Banyak sekali pelajaran yang saya petik dari memiliki kondisi PMDD ini. Pertama, saya tidak lagi meremehkan PMS. Sebelum hamil saya tidak pernah mengalami PMS sampai-sampai saya kira PMS itu dongeng saja yang dijadikan alasan buat manja. Eh, taunya… sekarang saya malah dikasih PMDD. Penderita PMDD ataupun PMS berhak mendapat empati.
Pelajaran lain berkaitan dengan depresi. Depresi tidak selalu terlihat dan pada umumnya orang nggak mau kelihatan depresi. Jangan kaget kalau dengar kabar seseorang menderita depresi. Gak usah bilang “Gak nyangka ya, kayanya hidupnya seneng-seneng terus“. Kalau ada teman yang tiba-tiba menghilang, yang jadi jarang ngumpul, coba cek keadaanya. Depresi bikin seseorang merasa helpless, insignificant, and even unloved. Just to know that someone cares helps A LOT!
Gak perlu mikirin terlalu ribet, bagaimana membantu seseorang keluar dari depresi. Pada umumnya cuma profesional yang bisa membantu. Just. Be. There. Dan bantu dia mengerjakan hal-hal yang sulit dia lakukan sendiri seperti beli makanan, bersih-bersih rumah. Itu sudah sangat cukup dan berarti.
Satu lagi pelajaran yang sangat berarti: ternyata benar loh yang orang-orang bilang, kalau olahraga dan udara segar sangat ampuh untuk mengatasi depresi. Keadaan PMDD saya jadi lebih teratasi kalau saya lagi rutin berolahraga dan banyak-banyak keluar rumah. Terkukung di rumah dan kurang gerak sungguh pencetus depresi.
Penulis: Rika, tinggal di Helsinki. Bisa dihubungi di akun instagram @seerika.
Dalam mewujudkan dukungan terhadap kesetaraan gender, RUANITA memiliki program Karir & Kewirausahaan untuk perempuan Indonesia yang tinggal di mancanegara. Agar semakin mendorong lebih banyak lagi perempuan Indonesia terampil dalam berwirausaha, RUANITA membagikan praktik baik yang sudah dilakukan oleh Dewi Maya.
Dewi Maya adalah perempuan Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat dan telah berhasil mendirikan usaha tas dengan nama bisnis: Dewi Maya. Koleksi tas yang diciptakannya dapat dilihat dalam akun Instagram: dewimaya.shop di mana koleksi tas buatan tangannya banyak dilirik oleh warga Amerika Serikat.
Dewi bercerita bagaimana perjuangannya di awal tinggal di Amerika Serikat itu tidak mudah. Dia memulai kedatangannya dengan memperkuat keterampilan berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Dewi pun membagi waktunya dengan bekerja agar impiannya memiliki usaha dapat terwujud. Berbekal tekad yang kuat, Dewi pun belajar bagaimana membangun jaringan dan usaha sehingga kelak dia tahu bagaimana dia harus mengelola usahanya.
Ketika Pandemi Covid-19 melanda dunia, Dewi tak kehilangan akal. Dia menekuni hobi menjahit yang dulu sudah dikenalnya dari sang ibu. Dia pun mencoba berbagai bahan Good Will yang tersedia di market negeri Paman Sam sebagai material yang berkualitas baik. Meskipun Dewi hamil, niatnya memulai usaha tidak surut. Tas yang dikerjakannya benar-benar berkesan bagi para pembeli yang menjadi pengunjung Bazaar sekitar tempat tinggalnya.
Ya, Dewi memulai usahanya dari kelompok kecil dan area sekitar tempat tinggalnya. Usaha Dewi tak sia-sia, produk tas yang dihasilkannya pun banyak dilirik warga di Amerika Serikat. Setelah Dewi mendaftarkan izin usahanya di Amerika Serikat, Dewi pun berpeluang mendapatkan Grants berupa 2 unit mesin jahit yang mendukung usahanya tersebut.
Dewi menceritakan bagaimana pengalaman kesehariannnya antara berbagi tugas menjadi ibu dengan perempuan berwirausaha di rumahnya. Dia pun berbagi peran dan tanggung jawab dengan suaminya dalam urusan domestik. Keberhasilan Dewi berwirausaha di Amerika Serikat didengar pihak VOA yang mengundangnya berbagai keberhasilan lewat kanal media mereka.
Bagaimana pengalaman Dewi sebagai ibu rumah tangga dan Entrepreneur di Amerika Serikat? Simak dalam kanal YouTube kami berikut ini:
Halo Sahabat RUANITA semua, perkenalkan nama saya Tyka. Saya sekarang menetap di Barcelona, Spanyol. Saya berasal dari Bali, kemudian menetap di negeri matador ini lebih dari sepuluh tahun.
Sehari-hari saya adalah ibu rumah tangga, tetapi saya tidak mau tinggal diam. Saya juga mengembangkan bisnis di bidang pariwisata. Saya bertugas sebagai Business Development dalam usaha tersebut. Usaha tersebut memberikan saya banyak kesempatan, termasuk bertemu dengan berbagai orang dari berbagai karakter dan kebiasaan kerja.
Berikut saya bagikan sepenggal cerita, tentang pengalaman suka duka bertemu dengan berbagai orang seperti orang yang suka menunda pekerjaan/tugas. Menurut saya, menunda tugas/pekerjaan adalah kebiasaan buruk. Hal itu tentu saja membuat saya kecewa, kesal kadang marah dengan kebiasaan tersebut.
Baik sengaja maupun tidak disengaja, terkadang kita tidak menyadari kebiasaan menunda tugas/pekerjaan tersebut. Dan itu bisa terjadi pada siapapun, dalam berbagai bidang pekerjaan dan posisi jabatan loh.
Menurut saya, kita tidak bisa mengatakan kalau orang yang sering kali menunda pekerjaan/tugas itu adalah orang pemalas. Itu beda sekali. Anak-anak milenial sekarang menyebutnya adalah Procrastination. Saya tahunya hanya suka/sering menunda pekerjaan/tugas saja.
Orang yang malas adalah orang yang tidak melakukan apapun tugas/pekerjaannya dan dia merasa oke saja dengan hal tersebut. Namun, orang yang suka menunda pekerjaan seperti Procrastination yang disebut anak milenial itu adalah orang yang memiliki keinginan untuk melakukan tugas/pekerjaannya tetapi tidak bisa melakukannya. Alasannya bisa beragam.
Kita tidak bisa menghakimi seseorang, mengapa dia menunda tugas/pekerjaan, bisa saja dia sibuk. Namun orang yang sering/suka menunda pekerjaan menurut para ahli, mungkin saja dia tidak merasa percaya diri dengan tugas/pekerjaan yang diberikannya. Ada loh orang yang suka meragukan kemampuannya sendiri. Alasan lainnya, kita tidak pernah tahu kalau tugas/pekerjaan yang diberikan padanya itu membuat orang tersebut merasa bersalah.
Sahabat, kita harus memahami latar belakang mengapa seseorang itu sering kali menunda tugas/pekerjaan yang diberikan kepadanya. Kalau saya berpendapat, hal itu biasanya kesalahan mengelola waktu. Ada loh orang yang tidak bisa memilih tugas mana yang harus diselesaikan dulu dan mana yang harus diberi nomor dua, tiga, empat dan seterusnya.
Artinya, orang yang suka menunda tugas/pekerjaan bisa jadi dia tidak tahu bagaimana memberi prioritas pada pekerjaannya sehingga pekerjaan diberikan tidak tepat waktu. Bisa jadi orang menjadi stres tinggi atau sakit saat melihat tumpukan pekerjaan, kemudian muncul pada perasaan negatif yang membahayakan yaitu malas.
Tentu ini membuat image negatif terhadap orang tersebut seperti dicap kurang bertanggung jawab. Cap ini tentu membuat kita juga kurang mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Kalau sudah kurang kepercayaan dari orang lain atau atasan di tempat kerja, tentu peluang kita untuk berkembang sebagai pribadi menjadi kecil. Malahan kita menjadi kehilangan kesempatan atau peluang yang membuat karir kita maju. Itu cuma gara-gara kita sering kali menunda pekerjaan/tugas loh.
Buat sahabat RUANITA semua, saya bagikan tips bagaimana agar kita terhindar dari kebiasaan buruk menunda tugas/pekerjaan berdasarkan pengalaman saya. Sebelum tidur biasanya saya selalu siapkan kertas dan pulpen untuk me-review hal-hal yang sudah saya lakukan pada hari tersebut.
Tak sampai situ saja, saya juga menulis hal-hal yang akan saya lakukan di hari berikutnya secara detil. Boleh dibilang, ini seperti jurnal harian yang membantu saya memilih atau memilah tugas yang jadi prioritas saya. Mana sih tugas yang harus diselesaikan duluan besok hari. Saya akan beri nomor urut dalam jurnal saya tersebut.
Saya tempelkan di samping cermin yang ada di kamar mandi. Mengapa? karena ini memudahkan saya untuk bisa melihatnya setiap kali saya bangun tidur. Dengan memiliki jurnal atau agenda harian, sesibuk apapun itu akan menjadi support kita. Kita tentu akan bersemangat menyelesaikan tugas tersebut dengan baikSebagai pemula, saya tahu hari pertama itu mungkin sulit. Namun saya terus melakukannya terus menerus sehingga menjadi kebiasaan dan terbiasa. Demikian sharing pendapat dan pengalaman saya. Terima kasih.
Penulis: Tyka Karunia, tinggal di Barcelona, Spanyol. Pengelola @fiindolan.id dan @mypasportmyparadise dan @wiracana_handfan.