
Ini adalah pengalamanku yang sampai saat ini kadang masih menjadi traumaku dan tentunya menjadi pelajaran berharga bagiku. Selama empat tahun, sejak aku masih SMA hingga aku tiba di Jerman 2017 yang lalu, aku memiliki mantan pacar yang enam tahun lebih tua dariku, yang melakukan gashlighting terhadapku, yang sayangnya baru kusadari setelah aku berhasil putus darinya. Kami berkenalan di acara karang taruna desa kami saat aku masih duduk di bangku SMP.
Awalnya dia menunjukkan sikap yang baik dan perhatian. Namun lama kelamaan dia mulai berubah dan menunjukkan sikap yang tidak masuk akal. Dia mulai menjauhkanku dari teman-teman dan keluargaku. Ia mulai melarangku untuk bermain dengan teman-temanku.
Ia berusaha meyakinkanku bahwa teman-teman yang sudah kukenal lama ini bukanlah orang yang baik. “Kalau kamu cuma main sama dia, mau jadi apa kamu!”, katanya saat itu. Meskipun pulang malam adalah hal yang sudah biasa bagiku dan tentunya dengan sepengetahuan kedua orang tuaku, ia mulai sering berargumen, “Kamu tuh udah dibilang bukan anak baik-baik, pulang malem. Nggak usah deh ikut acara apa-pa. Demi nama baik kamu.”
Selain dia menjauhkanku dari keluargaku, ia bahkan memanggil orang tuaku langsung dengan nama, mengatai-ngatai kedua orang tuaku dan berusaha mendoktrinku bahwa orang tuaku bukanlah orang yang baik.
Sebenarnya pun keluarga dan beberapa tetanggaku sudah memperingatkan dan melarangku untuk berhubungan dengannya. Sayangnya bagiku saat ini, hanya “jangan dekat dengannya” tidaklah cukup meyakinkanku.
Tidak seorang pun yang menjelaskan padaku dengan mengapa aku tak boleh dekat dengannya. Mereka hanya mengatakan: intinya jangan berhubungan sama dia. Titik. Peringatan itu kuabaikan saja dan aku tidak mau mempercayainya. Aku pernah menanyakan hal ini padanya dan jawabannya, “Dia aja yang nggak mau kita bersama.” Bodohnya aku, aku mempercayai jawabannya itu.
Ini yang menjadi poin penting bagaimana aku sulit lepas dari mantan pacarku ini dan entah bagaimana tetap saja mempercayainya. Mungkin sebagai gambaran awal, aku adalah tipikal orang yang “ngemong”, super care dan royal. Ketika orang melihat ini sebagai poin plus, ini adalah titik lemahku di hadapannya, yang sering ia manfaatkan. Caranya memanipulasiku sangatlah manis, menjanjikan sesuatu yang hampir setiap perempuan ingin dengar dari setiap laki-laki, seperti ingin membangunkan rumah untukku, membicarakan berapa banyak anak yang ingin dia miliki bersamaku, atau bagaimana ia ingin berakhir bersamaku.
Ketika ia tahu aku sudah dalam kuasanya, ia memanfaatkan “kelemahanku” dengan bersikap manja padaku, menunjukkan karakter lemah yang bisa menyentuh hatiku, dan mulai meminta ini itu. Lama kelamaan tidak lagi sungkan untuk meminta apapun dariku. “Aku mau ini dong”, “Aku mau itu dong” atau “Beliin ini dong”. Sayangnya makin kesini ia jadi memaksa untuk dituruti keinginannya saat itu juga. Jika tidak dituruti ia akan berkata, “Apaan sih. Kayak gitu aja nggak bisa. Udah, kalau nggak mau, putus aja.”
Bertahun-tahun ia terus mengulang-ulang, bahwa cuma dia yang mau menerimaku. Dia mendoktrinku untuk mempercayai bahwa aku anak yang nakal dan ia sudah memperbaiki imageku. Dia mempermasalahkan keperawananku dan mengatakan bahwa semua mantannya masih perawan dan cuma aku yang tidak. Padahal dia juga melakukan hubungan sex denganku. Dia terus mengatakan, seharusnya aku bersyukur bahwa dia mau denganku, hanya dia yang mengerti aku dan sebagainya.
Bahkan pernah suatu kali, saat aku ketahuan chat dengan teman perempuanku yang dilarangnya, ia lalu menginjak hpku dan menendang dadaku. Itu justru membuatku merasa bersalah kenapa aku melakukannya dan menyakiti dia. Ia bersikap seakan-akan dia orang tuaku, layaknya orang tua menasehati anaknya.
Ketika dia marah, aku jadi berpikir, dia mau aku jadi lebih baik. Karena ia membuatku sibuk memikirkan “kesalahanku” dan menyalahkan diriku sendiri, aku sampai tak sadar kalau dia sering “membeli perempuan”. Namun ketika dia mau sesuatu, seketika dia bisa berubah sikap begitu saja menjadi sangat sweet dan manja, yg membuatku tidak bisa menolak kemauannya.
Sebenarnya aku sadar bahwa dia bersikap buruk dan aku harus mengakhiri hubungan ini dengannya. Namun setiap kali mau putus, di kepalaku selalu muncul: siapa lagi yang bisa mengerti dia selain aku, siapa lagi yang mau sama dia selain aku. Yang ada di kepalaku justru bagaimana orang tuaku bisa menerima dia, karena meskipun begitu aku juga tidak mau kehilangan orang tuaku.
Ironisnya, bahkan saat aku sudah di Jerman ia mulai membuat janji-janji manis seperti akan mengunjungiku di Jerman. Selang dua minggu setelah kedatanganku di Jerman, ia minta dibelikan motor CB.
Ini semua membuatku jadi parno kalau dekat dengan laki-laki yang apa-apa minta dibayarin, sampai sekarang aku masih bermimpi tentangnya seperti dikejar-kejar, aku jadi merasa rendah diri dan merasa kecil dihadapan orang tuaku dan tentunya masih merasa bersalah terhadap orang tuaku dan belum bisa memaafkan diriku sendiri.
Sekolah ke Jerman lah yang menyelamatkan hidupku darinya. Setelah aku pindah ke Jerman, aku menjadi sibuk, banyak hal yang harus aku urus, aku memulai sesuatu yg besar, dan ini antara hidup dan mati tanpa orang tua. Bertemu berbagai macam orang, aku mulai merasakan perbedaan karakter dan treatment terhadapku dibandingkan dengan mantanku.
Selain itu sejak aku ke Jerman aku bertemu banyak orang-orang baru dengan berbagai macam latar belakang, asal daerah yang berbeda dan cerita masa lalu yang hampir sama, yang membuatku berpikir bahwa aku tidak sendirian, bahwa siapapun bisa membuat kesalahan dan mengambil keputusan yang salah dan itu tidak menjamin bahwa di masa depan juga akan mengambil keputusan yang salah lagi. Dan mereka juga bisa berhasil dalam hidup.
Untuk mengakhiri ceritaku, aku menyadari bahwa sulit untuk korban menyadari dan keluar dari hubungan seperti ini. Hanya orang itu sendiri yang bisa melepaskan dirinya dari hubungan itu dan mengambil keputusan. Namun sangat penting juga: kalau kalian punya teman atau anggota keluarga yang mengalami hal serupa, dalam kasus seperti ini kalian harus tegas dan jangan hanya melarang tanpa penjelasan apapun.
Penulis: Mahasiswi, tinggal di Jerman.