(CERITA SAHABAT) Mulai Menulis Jurnal, Menulis Berkat Dalam Hidup

Saya masih duduk di kelas 3 sekolah dasar saat itu. Ayah saya meminta saya untuk membeli sebuah buku tulis di warung, yang letaknya tak jauh dari rumah. Saya pun menyanggupinya. Saya diminta ayah untuk menuliskan hal-hal apa saja yang membuat saya bersyukur. Buku tulis biasa dibuat kotak-kotak dengan penggaris biasa, kemudian diberi tanggal, hari dan tahun. 

Makin lama saya menyukai pekerjaan menuliskan buku harian. Saya pernah mendapatkan buku harian mulai dari buku yang wangi, penuh hiasan sampai dengan buku harian yang terkunci. Saya pernah membuat kata-kata sandi untuk menuliskan buku harian agar orang-orang di rumah, apalagi ayah membaca buku harian. Saya juga punya brankas rahasia di mana tidak ada orang yang tahu letak buku harian saya itu. 

Kebiasaan menulis buku harian membuat saya mengenali apa yang terjadi dalam hidup saya. Saya pernah menuliskan bagaimana saya punya teman sebangku di kelas yang selalu mendapatkan rangking 1 sejak kelas 1 SD. Saya bercerita tentang betapa pintarnya dia. Pada akhirnya, saya belajar strategi belajar darinya sehingga saya pun kemudian mendapatkan rangking tiga besar di kelas.

Follow us: ruanita.indonesia

Lewat buku harian, saya pernah mencatat daftar resep masakan. Ceritanya ibu saya berpergian selama lebih dari satu bulan untuk mengunjungi keluarga ayah yang letaknya berbeda pulau. Pada akhirnya saya yang masih terhitung kelas 5 SD belajar memasak, dengan daftar resep yang diceritakan ibu saya. Saya menuliskan bagaimana menanak nasi, menumis sayuran atau memasak sup ayam misalnya. Pengalaman memasak itu saya tuangkan juga loh di buku harian saya.

Saya ingat bahwa saya pernah menuliskan pengalaman naksir dengan teman kelas sehingga peristiwa itu pun saya tuliskan di buku harian. Saya begitu malu mengingat semua itu ketika saya membaca ulang semua catatan buku harian saya ketika saya sudah beranjak remaja 17 tahun. Pengalaman saya jatuh cinta, membuat masakan, mendapatkan rangking kelas, mendapatkan pujian, bertengkar dengan adik kandung atau berlibur membuat buku harian saya begitu penuh warna.

Setelah saya remaja dan duduk di bangku SMA, saya memutuskan untuk membakar semua buku harian yang saya miliki. Tempat persembunyian untuk meletakkan buku harian telah diketahui oleh adik dan sepupu saya. Saya begitu malu ketika mereka membacakannya. Dengan malu bercampur sedih, saya membakar buku harian saya.

Saya melihat ayah saya memiliki buku agenda kantor. Saya suka melihat kebiasaan ayah saya yang suka mendokumentasikan apa yang sudah dilakukannya dan apa yang direncanakannya untuk masa mendatang. Ayah saya pun kemudian membelikan saya buku agenda kantor, tanpa perlu saya membuat garis kotak-kotak seperti dulu. 

Hal yang saya ingat dari menulis buku harian tersebut adalah saya mencatat tentang rasa syukur yang saya miliki. Saya memulainya dengan kalimat, saya bersyukur karena… Dari kalimat itu, saya bisa menuliskan panjang lebar tentang betapa baiknya Tuhan dalam hidup saya. Meski saya berjerawat pada saat itu, saya mendapatkan nilai ulangan sejarah yang sempurna. Apa pun yang saya tuliskan dalam buku harian, itu seperti menuliskan banyak berkat yang terkadang saya lupa. 

Kebiasaan menulis buku harian itu juga membantu saya mengelola pikiran dan perasaan saya. Buku harian itu ditulis dengan tangan saya, tidak ada laptop atau handphone pada masa itu. Saya bisa mengolah rasa marah, sedih, kecewa, senang, bahagia, takut, dan berbagai perasaan yang berkecamuk lewat buku harian tersebut. Itu seperti mengenal diri saya dengan baik, bagaimana saya sebenarnya. 

Buku harian seperti membentuk pribadi saya untuk mengontrol rasa yang bergejolak saat itu, seperti bahagia atau marah. Sekarang orang bisa saja posting di sosial media betapa bahagianya hidup mereka, tetapi kita tidak pernah tahu bagaimana reaksi orang setelah membaca postingan tersebut karena kita tidak bisa mengontrol respon seseorang. Lewat buku harian, saya bisa menumpahkan apa yang dirasa dan dipikirkan tanpa takut dihakimi atau diketahui orang lain. 

Jejak buku harian telah membawa saya pada impian Anne Frank, seorang remaja asal Belanda yang fenomenal lewat buku hariannya. Saat ke Belanda kemarin, saya menyambangi tempat Anne Frank tersebut. Anne berpendapat bahwa menuliskan segalanya di buku harian membuat ia mengenal dirinya sendiri. Hadiah buku harian kala ia berulang tahun ketiga belas tahun rupanya telah memberikan makna bagaimana ia tumbuh secara pribadi dengan karakternya yang unik sebagai perempuan remaja dan sebagai seorang Yahudi waktu itu.

Saya kutip dari Anne Frank tentang pentingnya menulis jurnal sebagai berikut:

“Unless you write yourself, you can’t know how wonderful it is. I always used to moan about the fact that I couldn’t draw, but now I’m overjoyed that at least I can write. And if I don’t have the talent to write books, newspapers, articles etc. I can write for myself. I want to achieve more than that.”

Mumpung masih di awal tahun, bagaimana kebiasaan Sahabat RUANITA semua menuilskan buku harian?

Penulis: seorang yang suka menuliskan jurnal untuk mendokumentasikan berkat dalam hidupnya, tinggal di benua biru.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s