Di bulan Mei 2023 ini RUANITA Kembali hadir dengan diskusi online IG Live bertema ‘Bagaimana Play Therapy Bisa Mengatasi Trauma’. Kali ini host Dina Diana @ibudindia mengundang narasumber diskusi Mala Holland, seorang psikoterapis dan trainer untuk trauma model di Inggris yang mendalami play and creative art therapy untuk mengatasi trauma di @connectplaytherapy.
Kala mendengar kata ‘bermain’, mungkin yang terpikirkan hanyalah aktivitas bermain untuk anak-anak. Kenyataannya secara ilmiah bermain membawa manfaat positif untuk kesehatan jiwa di segala kelompok usia. Seperti apa sajakah bentuk play therapy dan bagaimana caranya dalam mengatasi trauma?
Mala Holland menjelaskan bahwa trauma itu punya banyak jenis dan bentuk, tergantung pada kasus penyebabnya. Untuk bidang trauma yang didalami oleh Mala sendiri adalah trauma pada kasus kekerasan seksual dan kekerasan domestik.
Play and creative art therapy adalah sebuah model psikoterapi yang menggunakan permainan dan alat-alat seni untuk membantu seseorang mengekspresikan diri dan memproses apa yang dipikirkan atau dirasakan.
Ketika bicara tentang trauma, menurut Mala orang kerap kali orang kesulitan untuk menjelaskan atau bingung untuk mengekspresikan yang dirasakan. Contohnya seperti ketika Mala bertanya ‘Hi, how are you?’ kepada klien, jawaban awal yang didapat hanyalah kalimat-kalimat pendek seperti ‘I’m fine’, atau ‘a little bit sad’.
Ketika mulai memakai tools seperti lewat permainan atau art and crafting material seperti pasir dan tanah liat, mereka bisa lebih mengerti perasaan mereka sendiri, mudah mengekspresikan perasaan, dan lebih bebas untuk memproses apa yang mereka alami.
Dalam hubungan antara usia, memori dan trauma, Mala menuturkan bahwa secara alami anak-anak belum mulai terbentuk memorinya di bawah usia 3 atau 4 tahun. Ini ada hubungannya dengan kematangan fungsi otak, terutama di bagian prefrontal lobe yang mengatur rasionalitas dan baru matang nanti di usia 20-an.
Mala menegaskan bahwa oleh karena itu banyak memori trauma manusia terekam sebagai emosi atau perasaan, namun secara kognitif tidak mampu mengingatnya.
Ini terjadi di banyak kasus trauma di mana korban tidak bisa mengingat kejadian atau penyebab trauma tetapi merasakan efeknya dengan intens, atau bisa tiba-tiba terpicu (triggered)oleh situasi-situasi tertentu.
Untuk kasus di mana trauma itu muncul dan orang tidak punya kemampuan atau tidak sempat untuk memprosesnya, ini akan memengaruhi coping strategy. Menurut Mala, trauma is not just what happen to us, but it is our ability to process the event. Sebenarnya kondisi triggered ini adalah cara kerja alami dari otak untuk melindungi diri agar aman.
Namun ketika efek dari sebuah kejadian menjadi sedemikian hebatnya sampai mengganggu fungsi dan kehidupan sehari-hari, di situlah trauma tersebut sudah berkembang menjadi post-traumatic stress disorder (PTSD) dan membutuhkan penanganan yang berbeda lagi.
Kondisi yang Mala kerap temui adalah kerap kali klien dengan kondisi trauma tahu apa yang membuat mereka sakit atau takut, tetapi tidak memiliki kemampuan kognitif atau kosa kata yang cukup untuk menjelaskan apa yang terjadi atau apa yang dirasakan.
Namun ketika mulai memakai art sand atau pasir dan gambar saat terapi, barulah keluar cerita tentang kejadian traumatis yang dialami oleh klien.
Mala juga menuturkan bahwa penting bagi orangtua untuk mampu memodelkan komunikasi yang sehat, agar anak belajar untuk berani bercerita dan merasa aman ketika mengomunikasi kejadian apapun kepada orangtua. Di sisi lain, memang ada anak-anak yang pembawaan atau sifatnya cenderung tertutup dan tidak langsung terbuka untuk bercerita.
Di sinilah orangtua harus lebih jeli memperhatikan perubahan perilaku anak-anak mereka, karena Mala menjelaskan bahwa inilah yang akan terlihat lebih awal ketika anak mengalami kejadian yang menimbulkan trauma.
Menurut Mala, terapis play therapy dasarnya mulai dari bekerja pada penanganan trauma pada anak-anak terlebih dahulu lalu baru orang dewasa. Namun khusus art therapy dimulai dengan menangani orang dewasa terlebih dahulu baru kemudian mengambil extra module untuk penanganan trauma pada anak-anak.
Informasi lebih lengkapnya, Sahabat RUANITA dapat simak dalam video berikut:
Subscribe kanal YouTube kami untuk mendapatkan video terbaru dari kami.
Halo Sahabat Ruanita, namaku Amanda. Di tulisan ini aku mau bercerita tentang pengalamanku transaksi tanpa uang fisik di Cina, tempat aku tinggal sekarang ini.
Saat sampai di Cina pertama kali tahun 2021, aku kesulitan untuk belanja, bahkan membeli makanan di sini. Waktu itu aku, suamiku, dan kedua anak kami harus dikarantina selama tiga minggu di hotel tempat kami tinggal. Sayangnya hotel tersebut dan toko-toko tidak menerima uang fisik, padahal waktu itu kami hanya bawa uang Euro dan Yen saja, belum punya rekening bank Cina. Oh ya, sebelum tinggal di Cina, aku dan suami yang berkewarganegaraan Prancis tinggal di Jerman dan Prancis.
Karena sudah mendapatkan informasi tentang cashless dari forum-forum ekspatriat di Cina, kami membawa tiga kardus popok dari Prancis untuk anak-anak kami yang waktu itu masih berumur di bawah tiga tahun. Makanan memang disediakan oleh catering perusahaan tempat suami kerja, tapi mau tidak mau kami harus makan yang disediakan. Kami tidak bisa memilih. Suamiku yang terbiasa makan roti, terpaksa harus makan nasi. Akhirnya, waktu itu suami pinjam uang ke koleganya yang sudah tinggal lebih lama di Cina dan sudah punya rekening bank Cina. Mereka kirim uang lewat WeChat dan kami ganti dengan Euro ke bank Prancis. Untungnya WeChat dan Alipay, aplikasi yang marak digunakan di Cina untuk transaksi keuangan, bisa digunakan meskipun tidak mempunyai rekening bank Cina.
Setelah selesai karantina, aku dan suami didampingi oleh orang dari agen yang ditunjuk oleh perusahaan suami untuk buka rekening bank di Cina. Di sini setiap orang hanya diperbolehkan punya satu rekening. Pembuatan rekening bank juga mudah, hanya perlu paspor dan surat registrasi tempat tinggal dari kepolisian. Setoran pertama di bank juga tidak perlu banyak. Aku pernah melihat orang-orang tua menyetor uang berkoper-koper atau kantong plastik. Itu masih bisa. Untuk mengambil uang harus dari ATM, tidak bisa di bank langsung. Di ATM tidak hanya untuk mengambil saja, tetapi juga menyetor uang. Nah, registrasi aplikasi seperti WeChat dan Alipay lebih ribet dibandingkan membuat rekening bank. Kami harus memasukkan sumber uang, misalnya rekening bank kami. Paspor, juga harus diverifikasi dengan foto dan scan muka.
Selama hampir dua tahun tinggal di sini, aku mungkin memegang uang hanya 2-3 kali saja, karena itu memang sangat jarang sekali harus pakai uang tunai. Bahkan untuk belanja di pasar tradisional juga memakai aplikasi meskipun pedagangnya orang tua. Aplikasi-aplikasi tersebut juga menggunakan speaker. Setelah kita telah membayar, di hape pedagang akan bunyi, „Anda mendapatkan transaksi uang sebesar 57 yuan“, misalnya. Itu suaranya kencang sekali dan orang-orang di sekitar kami jadi ikut mendengar. Istilah data privacy tidak dikenal di sini.
Aku melihat di sini semua orang dipaksa untuk memahami dan menggunakan cashless. Semua orang harus punya dan bisa pakai hape. Begitu juga dengan orang-orang tua, mereka dipaksa untuk memahami kehidupan sekarang. Banyak orang tua yang menghambat transaksi di kasir karena mereka tidak paham menggunakan hape dan aplikasinya. Di beberapa toko atau restoran, masih ada yang memperbolehkan bayar tunai, walaupun penjual tampaknya tidak senang. Bisa jadi, mereka tidak punya uang tunai untuk kasih uang kembalian ke pembeli. Ini juga yang membuat kesulitan untuk turis-turis yang datang.
Sebelum pindah ke Cina, kami sering baca-baca di forum untuk expat di Cina. Banyak saran untuk mengenal dan bisa menggunakan hape sendiri dulu. Begitu kita turun dari pesawat, QR code ini juga sudah dipakai di bandara di sini. Dulu aku tidak mengerti bagaimana cara scan QR code, aku baru mengetahuinya di sini karena semua harus bisa. Awal tinggal di sini rasanya aku ingin melempar hape. Selain aku tidak mengerti bahasanya, aku tidak tahu menggunakan aplikasi. Kalau aku mau transaksi di toko ada dua cara yakni: aku yang scan QR code mereka atau sebaliknya. Memang sih, cashless memberikan kemudahan dalam bertransaksi, tetapi rasanya seperti dikontrol gadget. Kalau kita tidak mengerti, tidak punya gadget, atau hape mati maka kita akan „lost“. Kita tidak bisa melakukan apa pun. Kita tidak bisa sewa sepeda, tidak bisa naik kereta atau taksi. Kita nothing tanpa hape di sini.
Aku menggunakan kedua aplikasi yang tersedia, yaitu Alipay dan WeChat, karena terkadang ada toko online yang hanya menggunakan salah satunya. Mirip dengan aplikasi GoPay di Indonesia. Sesama aplikasi juga bisa mengirimkan uang dengan gratis. Hanya saja, orang tidak bisa mengirimkan uang dari satu aplikasi ke lainnya. Misalkan, aku mau mengirim uang dari WeChat ke Alipay. Aku harus mengirim uang dulu dari WeChat ke bankku, lalu dari sana baru aku mengirim ke Alipay. Itu lebih ribet dan ada biaya 0,1% untuk setiap transaksi transfer uang dari aplikasi ke rekening bank, sedangkan transfer uang dari bank ke aplikasi gratis. Gaji suamiku masuknya ke rekening bank dia di Prancis. Jadi suami harus transfer uangnya dari bank Prancis ke bank Cina, lalu ke aplikasi. Karena aku tidak bekerja di sini, suami mengirimkan uang dari aplikasinya ke aplikasiku. Cara lain, dia mengirimkannya dari rekening bank Cina, lalu ke aplikasiku. Itu bukan masalah karena uangnya bisa dikirim lewat aplikasi.
Sejak tahun 2022, anakku yang paling besar masuk ke PAUD (=Pendidikan Anak Usia Dini) di sini. Untuk membayar uang sekolahnya, kita harus langsung membayarnya satu tahun yang dibayar lewat WeChat. Misalnya, aku membayar uang sekolah anak 1000 yuan per bulan maka kami harus transfer uang langsung 12.000 yuan. Waktu itu, untungnya aku bisa menegosiasikan dengan kepala sekolah, karena kami tidak bisa mengirimkan uang langsung sebanyak itu dalam sekali. Transfer dari bank Prancis ke Cina juga cuma gratis lima kali. Akhirnya, kami bisa menyicil tiga kali dalam sebulan. Tahun 2022, itu masih lockdown. Jadi, anakku sebenarnya cuma sekolah tiga bulan. Pada tahun ini, dia melanjutkan sekolah di sana dan adiknya juga juga ikut sekolah di sana juga sehingga kami hanya membayar kekurangannya saja. Istilahnya kami sudah mempunyai saldo di sana. Rencananya bulan Juli tahun ini, kami akan kembali ke Eropa. Nanti uang sisanya itu bisa di-refund ke WeChat kami. Kami sudah wanti-wanti ke pihak sekolah untuk mengirimkan uangnya tepat waktu, karena kami juga akan menutup rekening bank Cina.
Ada kejadian menarik di PAUD anakku. Pihak sekolah mengadakan bazar kecil-kecilan untuk anak-anak sebagai latihan. Harga barangnya juga murah, hanya sekitar 2 sampai 5 yen. Tujuan mereka adalah untuk melatih anak-anak menggunakan uang dan melatih belajar berhitung. Nah, sekolah meminta orang tua murid untuk membawa uang tunai untuk anak-anaknya. Aku dan orang tua murid lainnya tidak ada yang punya tunai. Ujung-ujungnya, kami mengirimkan uang ke guru-guru sekolah. Lalu, mereka memberikan uang tunai ke kami. Jadi kami bertukar uang. Menurutku, itu aneh juga sih. Di kehidupan nyata di Cina semua sudah serba cashless sehingga membuat anak-anak tidak perlu memegang uang dan belajar menghitung uang tunai.
Saat anak-anakku pergi fieldtrip dengan PAUD-nya juga, aku hanya perlu mengirimkan uang via WeChat ke sekolah dengan menuliskan namaku dan anakku. Aku tidak perlu mengirimkan bukti transfer, karena pihak sekolah bisa langsung mengecek sendiri.
Untukku, cashless bukan hal yang aneh. Di Indonesia, aku sudah mengenal GoPay dan saat aku tinggal di Jerman juga sudah banyak tempat bisa cashless. Perbedaan yang kurasakan, semua orang di Cina dipaksa untuk cashless. Menurutku, segi keamanan di sini juga sudah bagus. Mereka benar-benar sudah mempersiapkannya. Keamanan aplikasi juga berlapis. Punya nomor hp di Cina itu sulit sekali. Kita harus mendaftarkan diri dan memberikan dokumen-dokumen penting. Itu berbeda sekali dengan di Indonesia yang bisa didapatkan secara mudah. Nomor hape itu sangat penting di Cina dan digunakan untuk verifikasi semua hal. Sebelum kita bayar sesuatu, kita akan diminta kode PIN untuk verifikasi. PIN ini yang harus kita ingat. Sewaktu membuat Aplikasi pertama kali, kita juga memakai password.
Nomor hape juga mempermudah transaksi. Misalnya, aku naik taksi lalu hape mati saat mau check out atau lupa bayar. Nanti, aku mau pesan taksi lagi maka aku akan diingatkan untuk melunasi pembayaran sebelumnya atau aku tidak bisa menggunakan taksi. Ini juga yang membuat susah bagi penipu dengan sistem cashless. Berbeda dengan di Indonesia yang belum ada peraturannya dan nomor hape bisa dibeli dengan mudah, sehingga itu masih ada celah untuk penipuan.
Sahabat Ruanita, kita mungkin ingat kasus penipuan kotak amal di masjid yang menggunakan QR code. Pengemis di Cina juga sekarang mengikuti zaman, mereka menggantungkan QR code dari aplikasi-aplikasi di badan mereka. Orang yang mau beramal, bisa langsung scan kodenya. Nanti aplikasi akan bunyi memberitahu berapa transaksinya. Kita menjadi tahu memang dia yang menerima uangnya. Saranku untuk sahabat-sahabat Ruanita yang beramal lewat QR code, pastikan orang yang akan diberi sedekah itu ada di sana.
Harapanku, transaksi cashless di Indonesia bisa diperbanyak, karena akan mempermudah dan lebih efisien. Namun, sebelumnya kita perlu memperkuat tingkat keamanan digitalnya dan harus memperhitungkan sisi kriminalitasnya juga. Menurutku, Cina sudah banyak memperhitungkan ini sehingga kasus kriminalnya juga sedikit. Di desa tentu masih susah dan prosesnya akan lama. Pengalaman aku saat liburan di sebuah desa di Maluku, penduduknya tidak punya hape dan tidak memakai uang. Bahan makanan mereka didapat dari sekitar rumah seperti ikan yang ditangkap dari laut untuk nelayan. Di sana sudah benar-benar sudah cashless.
Penulis: Mariska Ajeng, penulis di http://www.mariskaajeng.com. Berdasarkan pengalaman dari Amanda, tinggal di Cina dan Hamburg, bisa dihubungi lewat Instagram di @amandapatriciam
JERMAN – Business plan atau rencana bisnis adalah hal mendasar untuk kesuksesan suatu bisnis. Sebagai inti dari sebuah bisnis, rencana bisnis harus bisa menyakinkan banyak pihak yang bisa membantu berkembangnya suatu bisnis, contohnya pemberi modal.
Rencana faktor keberhasilan model bisnis juga akan dijelaskan dalam rencana bisnis, seperti jasa atau produk, target konsumen, pemasukan dan pengeluaran. Karena alasan-alasan tersebut, rencana bisnis merupakan dokumen yang paling penting dalam pembuatan atau pengembangan suatu bisnis.
Menindaklanjuti seminar pada tahun 2022 dengan tema „Kewirausahaan Perempuan di Indonesia“, tahun ini Ruanita menyelenggarakan workshop penyusunan business plan. Dalam workshop ini akan dibahas tiga tema penting, yaitu cara menjadi wirausaha perempuan, bagaimana menulis business plan, dan cara mengembangkan model keuangan. Diharapkan dengan workshop ini akan muncul lebih banyak lagi wirausaha perempuan Indonesia di mancanegara, terutama di Eropa.
Workshop akan dibagi ke dalam dua pertemuan, yaitu pada hari sabtu, tanggal 13 dan 20 Mai 2023, pada pukul 10.00-12.00 CEST atau 15.00-17.00 WIB. Acara workshop akan dipandu oleh moderator Sartika Kurniawan, yang juga merupakan pengusaha perempuan di Spanyol dan dibuka dengan sambutan dari Syafiih Kamil selaku CEO dari Java Foundation Amsterdam.
Narasumber Dessy Rutten yang merupakan ekonom senior, wirausaha perempuan, dan dosen tidak hanya akan berbicara tentang tiga tema yang telah disebutkan di atas, namun pada sesi terakhir di pertemuan kedua juga akan memberi masukan pada business plan yang akan disusun peserta setelah workshop hari pertama dan dikirimkan kepada panitia penyelenggara.
Workshop ini akan berlangsung secara virtual dan bisa diikuti dengan mendaftarkan diri sebelumnya melalui bit.ly/workshop-ruanita dengan biaya sebesar lima (5) Euro.
Peserta diharapkan sudah atau berencana memiliki usaha dan bersedia mempraktikan pembuatan proposal bisnis. Panitia juga akan memberikan sertifikat elektronik kepada peserta yang hadir penuh selama dua hari dan mengirimkan proposal bisnis yang mereka susun.
Tujuan diselenggarakannya acara pelatihan penulisan proposal bisnis ini, selain bentuk dari tindak lanjut dari seminar bertemakan kewirausahaan perempuan di Eropa pada Februari 2022 lalu adalah peserta memiliki kapasitas rencana bisnis dan mempraktikan ilmu yang sudah didapatkan dengan menyusun rencana bisnis.
RUANITA (Rumah Aman Kita) Indonesia adalah komunitas diaspora Indonesia yang dibentuk untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman seputar permasalahan psikologis dan kehidupan di luar negeri. Tujuan diberdirikannya RUANITA adalah untuk mempromosikan isu kesehatan mental, psikoedukasi serta berbagi praktik baik tentang keterampilan diri untuk tinggal di luar Indonesia.
Dalam rangka Hari Perawat Internasional 12 Mei 2023, RUANITA – Rumah Aman Kita mengundang Dewi Nielsen yang tinggal dan bekerja sebagai perawat di Denmark. Tentunya bidang pekerjaan mengurus dan merawat orang sakit bukan pekerjaan asing untuk Dewi yang telah menetap di Denmark sejak lebih dari 10 tahun lalu. Dewi sendiri pernah bekerja sebagai perawat di salah satu puskesmas di Indonesia sebelum akhirnya dia menikah dan menetap di Denmark.
Setelah lulus dari Sekolah Keperawatan di Indonesia, Dewi pun melanjutkan studi di Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta. Dia juga pernah mendapatkan praktik magang di Swedia saat masih menjadi mahasiswi di UGM.
Berbekal pengalamannya di negeri Skandinavia tersebut dan keterampilannya berbahasa Inggris, Dewi pun memberanikan diri untuk melamar menjadi tenaga kesehatan di salah satu rumah sakit di Denmark.
Tak mudah memang memenuhi persyaratan menjadi perawat di Denmark mengingat tes yang harus ditempuhnya berkali-kali yang disesuaikan dengan kemampuan berbahasa asing, yakni Danish yang memang tidak mudah dipelajari untuk orang awam sekali pun. Kegigihan Dewi untuk menembus dunia keperawatan di Denmark berbuah manis, dia pun berhasil lolos dan kini menjadi perawat di Aalborg, Denmark.
Menjadi perawat bukan cita-cita Dewi di masa kecil, tetapi karakter melayani sesama membuatnya terdorong untuk memenuhi permintaan orang tuanya menjadi bidan pada waktu dia masih memikirkan profesi impiannya.
Pengalamannya bergelut melayani orang-orang sakit telah membawa impian Dewi untuk menekuninya di Denmark, negeri asing yang memberinya pengalaman baru yang menantang.
Ada banyak pengalaman berharga yang Dewi dapatkan. Bagaimana perawat-perawat senior yang lebih lama bekerja dan para dokter spesialis sekali pun begitu mengharga keberanian dan kegigihan Dewi untuk mau belajar.
Mereka menghargai bagaimana Dewi belajar kosakata Bahasa Danish yang tak mudah. Dewi salut terhadap mereka yang bekerja di dunia keperawatan dan kesehatan di Denmark, seperti tidak ada kasta di antara mereka. Semua orang mau belajar dan menerima kekurangan masing-masing tenaga kesehatan.
Di Hari Internasional Perawat yang dirayakan 12 Mei, Dewi berharap bahwa para perawat Indonesia yang punya mimpi untuk melanjutkan jenjang karir lebih tinggi atau ingin bekerja di luar negeri agar tidak takut bermimpi. Perkuat skill komunikasi dalam Bahasa Inggris agar bisa mendapatkan kesempatan seperti dirinya untuk bekerja di luar negeri.
Peluang untuk menjadi perawat di mancanegara selalu terbuka lebar dan tingkatkan kompetensi perawat sesuai bakat yang dimiliki. Begitu pesan Dewi di Hari Perawat Sedunia, 12 Mei.
Simak penjelasan Dewi berikut ini di kanal YouTube kami berikut:
Menikah adalah salah satu fase dalam kehidupan yang momennya banyak melibatkan emosi baik keluarga, pasangan bahkan diri sendiri. Perkenalkan saya adalah Inur, berasal dari keluarga pendidik atau pengajar. Ayah, ibu dan kedua kakak saya adalah seorang pengajar, baik di instansi, sekolah dasar dan universitas. Begitu pun saya, enam tahun mengajar di universitas swasta di daerah Depok – Jawa Barat. Sampai pada akhirnya, saya memutuskan untuk bekerja di perusahaan.
Sebagai satu-satunya orang yang mengatur personalia, rasanya senang sekali pada saat itu walaupun saya merasa ada gap antara yang saya pelajari (Psikologi Klinis) dengan aplikasi pada pekerjaan (Psikologi Industri dan Organisasi). Namun saya berusaha untuk bisa menjadikan diri saya bukan sekedar melihat sisi Industri dan Organisasi tetapi bisa sekaligus melakukan konseling ketika karyawan mengalami masalah. Observasi ketika rekrutmen tidak selalu berdasarkan yang tampak, tetapi saya pun mencoba menganalisa dari hal-hal yang biasanya luput dari penilaian User.
Selama tujuh tahun bekerja di perusahaan terakhir, saya merasa memiliki keluarga yang sangat dekat. Prinsip saya, ketika bekerja kami adalah rekan kerja, tetapi ketika selesai bekerja mereka adalah adik, sahabat, kakak, bahkan orang tua yang mengajarkan banyak hal kepada saya. Kondisi comfort zone tersebut terpaksa harus saya akhiri karena saya menikah dengan pria warga negara Switzerland. Tepatnya 30 November 2021 saya resmi mengundurkan diri dan siap untuk pindah ke negara bersalju.
‘’Sedih yang tidak berujung’’ benar-benar menjadi kalimat yang saya rasakan. Dimulai dengan surprise farewell dari Departemen Operasional & HRGA. Makan-makan yang awalnya menjadi Birthday Lunch seorang teman (karena saya bertugas membeli kue ulang tahun) ternyata itu adalah surprise Farewell Lunch saya.
Rasa haru melebihi surprise ulang tahun, betapa tidak, pelukan dari atasan dan sahabat diiringi lagu “Mungkinkah” dari Stinky. Sama sekali tidak ada kecurigaan, momen ulang tahun yang seharusnya hanya berlima menjadi 2 meja panjang dari 2 departemen.
Lagu selamat ulang tahun yang biasa dinyanyikan semua pramusaji berganti jadi lagu sedih, polosnya di awal saya tetap membuat video dan happy, sampai seorang teman memeluk saya dari belakang kemudian atasan juga ikut memeluk. Baru saya sadar, momen, hadiah bahkan kue ulang tahun yang bertuliskan nama teman semuanya di hari itu adalah untuk saya. Terima kasih ibu dan bapak, teman-teman semuanya, masih suka sedih kalau melihat video tersebut.
Begitu juga di hari terakhir saya bekerja, sengaja saya memesan makanan untuk semua karyawan agar kami bisa makan bersama-sama. Sepatah dua patah salam perpisahan dari saya sebelum kami semua mulai mengambil makanan. Walaupun saat itu masih berjalan sistem pembagian Work from Home dan Work from Office, tetapi bersyukur banyak karyawan yang tetap datang ke kantor sehingga momen dan foto perpisahan terasa sangat hangat.
Kemudian kurang lebih seminggu setelah hari terakhir saya bekerja, salah satu teman kantor berkunjung ke rumah untuk memberikan hadiah perpisahan dan foto bersama yang dibingkai dengan ukuran yang sangat besar. Infonya, ada teman yang inisiatif untuk mengumpulkan dana untuk kemudian dibelikan beberapa barang yang sangat berguna saat musim Winter. Masha Allah, saya bersyukur diberikan rekan kerja seperti saudara. Sampai dengan tulisan ini saya buat, Alhamdulillah saya masih menjalin komunikasi dengan hampir semua teman kerja.
Perasaan senang akhirnya bisa bersama dengan suami, tetapi juga sedih harus meninggalkan keluarga, sahabat, dan rekan kerja. Namun hidup harus berjalan, kita tidak pernah mengetahui rencana Sang Pencipta. Tanggal 8 Desember 2021 saya tiba di Switzerland, pengurusan semua dokumen pun selesai. Mulailah saya berpikir: “Terus saya ngapain disini? Apa yang bisa saya kerjakan dan juga menghasilkan ?”
Saya sempat merasa up and down, stres karena tuntutan merasa harus segera mengikuti les bahasa. Sampai pernah ada momen saya takut ketemu kakak ipar karena selalu ditanya update les bahasa. Pengeluaran rutin tetap berjalan sementara pemasukan rutin belum ada. Merasa inferior, tidak berdaya, bergantung parah sampai akhirnya menangis sejadi-jadinya ke suami.
Alhamdulillah suami sangat mengerti, dia tidak pernah memaksa saya untuk bekerja, bahkan untuk les bahasa. Dia sangat senang ketika saya izin main bertemu teman WNI yang juga tinggal di Zürich. Senyumnya sumringah ketika saya pulang dari Asia Store membawa belanjaan. Hampir setiap minggu saya main bertemu dengan teman-teman, makin banyak kenalan makin banyak pelajaran, ilmu, motivasi bahkan nasehat yang saya dapat.
Pemahaman saya pada saat itu tidak mudah mendapatkan pekerjaan di Swiss, mostly must be certified dari lembaga atau sekolah di Swiss juga. Pusing lagi kan jadi nya, 😀
Searching di social media, tawaran dari teman yang kerja di restoran, bikin saya tambah bingung. Saya sempat merasa takut antara mau kerja tapi jadi harus bicara sama orang, nah bahasanya saja belum lancar.
Awalnya saya belum pernah mendengar yang namanya Career Gap, tapi mungkin yang saya lalui selama 6 bulan pertama di Switzerland adalah fenomena Career Gap, di mana saya tidak sedang bekerja karena menikah dan harus pindah negara. Menurut saya sebenarnya Career Gap ini sering sekali terjadi. Tidak hanya kaum perempuan, para pria juga mengalami. Hanya saja dilihat dari alasannya, mungkin kaum perempuanlah yang lebih sering mengalami. Beberapa alasan terjadinya Career Gap adalah menikah, memiliki anak, pindah tempat tinggal, pemutusan hubungan kerja, dll.
Pada kasus saya, setelah mencoba aktif di media social dengan belajar buat video dan foto yang aesthetic, soal masakan atau sekedar memperlihatkan keindahan kota tempat saya tinggal, saya merasa jenuh karena menuntut saya harus terus aktif setiap hari untuk benar-benar menghasilkan sesuatu yang dapat dinikmati teman di media social.
Sampai akhirnya saya menemukan sebuah platform Babysitting di Switzerland. Bermodal senang dengan anak kecil, dekat dengan semua keponakan dan Bahasa Inggris, saya coba membuat account. Tiga bulan setelahnya tawaran pekerjaan masuk melalui message, mereka berkewarganegaraan USA yang juga tinggal di Switzerland dan berjarak hanya 500m dari rumah. Berkunjung ke kediamannya, bertemu dengan anak dan mendiskusikan banyak hal mengenai pekerjaan. Setelah itu saya diskusikan kembali dengan suami, apakah baik untuk saya lanjutkan atau tidak.
Memiliki pekerjaan membuat saya lebih mandiri dan percaya diri. Banyak hikmah yang saya pelajari. Perbedaan negara yang signifikan membuat saya harus menyadari saya bukan siapa-siapa di sini. Selalu berdiskusi dengan suami adalah hal penting bagi saya. Apakah pekerjaan saya akan membuatnya malu atau tidak, bagaimana kira-kira pendapat keluarga suami apakah akan memalukan bagi mereka atau tidak.
Hal itu yang saya ke depankan sebelumnya. Setelah mendapat pekerjaan, kepercayaan dan menyayangi anak kecil seperti keponakan atau anak sendiri adalah cara saya memperlakukan mereka. Saat menemani anak bermain, seringkali kami mengunjungi teman-teman sekolahnya, sehingga para orang tua mengenal saya dengan baik.
Ini saya dengar karena mereka menceritakannya ke saya 😊. Sampai akhirnya beberapa di antara mereka meminta untuk Occasional Babysitter. Tepat 1,5 bulan pekerjaan tersebut selesai dan lanjut pekerjaan berikutnya tanpa gap, kontrak kerja yang awalnya hanya dua bulan dan sekarang sampai waktu yang tidak ditentukan 😊
Memiliki beberapa kenalan (orang tua anak sekolah) di kota yang sama membuat saya merasa punya teman dan tidak sendiri lagi. Kondisi ini membuat saya semakin berani dan pada akhirnya mendaftar Kursus Bahasa Jerman yang diadakan oleh Gemeinde kota tempat saya tinggal.
Yap, makin banyak kenalan, makin sering tegur sapa karena bertemu di supermarket, taman bermain, dan public transport. Tidak hanya para orang tua, tetapi kasir supermarket, pegawai restoran dan gerai toko di supermarket, sampai beberapa bus driver dan taxi driver. Masha Allah, senang sekali rasanya saat ini, saya merasa aman karena sudah punya banyak kenalan dan tidak khawatir lagi walaupun pulang malam.
Kembali perihal Career Gap, menurut saya intinya ada self-acceptance. Ketika kita menerima dengan baik kondisi tersebut, maka secara tidak sadar tubuh pun akan merasa rileks. Saat merasa santai, cara pandang dan cara berpikir akan lebih baik. Begitupun dengan pemilihan aktivitas yang ingin dikerjakan, apakah tetap mencari pekerjaan baru atau sekedar menyalurkan hobi.
Namun peran pasangan, keluarga atau teman dekat juga sangat mempengaruhi. Bagaimana mereka ikut menerima, memotivasi, memberi nasehat, dan atau memberi solusi. Saya bersyukur atas segalanya, tetapi tetap bermimpi suatu saat bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan Bahasa Jerman dan atau Swiss German. Saya juga ingin mendapat pekerjaan sesuai dengan mimpi saya.
Penulis: Inur Darham, seorang anak bungsu dari tiga bersaudara. Inur memelajari Psikologi Klinis pada jenjang Universitas, mengajar di Fakultas Psikologi, menjadi pembicara pada beberapa Dialogue Interactive, menggeluti bidang Human Resource pada Pest Control dan Oil and Gas Company, menikah lalu mengundurkan diri dan kini tinggal di Switzerland.
Nama saya Rika, tinggal di Helsinki bersama suami yang warga Finlandia dan dua anak laki-laki. Setahun belakangan ini hidup saya rasanya sibuk sekali karena sekarang saya kembali bekerja full time setelah dua tahun sempat vakum dari dunia tenaga kerja. Selain itu saya juga ikut kelas menari India di Helsinki dan seminggu sekali mengajar tari Indonesia di KBRI. Hampir setiap hari saya juga harus wara-wiri mengantar anak pergi dan pulang ekskul. Tiap-tiap anak jadwal latihannya empat kali dalam seminggu, belum termasuk turnamen yang sering diadakan di akhir pekan.
Setelah melahirkan anak pertama saya mengalami postpartum depression. Si anak pertama memang termasuk “high need baby” yang tidurnya sedikit, nangisnya banyak, dan cuma bisa tenang jika disusui. Capek sekali rasanya jadi ibu baru. Setelah kejadian tersebut, memang rasanya saya jadi lebih mudah mengalami stres dan depresi. Pada akhirnya di tahun 2018 saya mengalami depresi berkepanjangan dan memutuskan untuk mulai mengonsumsi obat antidepresi. Keadaan saya jadi lebih baik berkat obat antidepresi. Namun menjelang menstruasi tetap saja depresi saya kembali lagi walaupun kadarnya sedikit saja.
Tahun 2019, suami saya ditugaskan ke Amerika Serikat selama dua tahun. Wuaaaa, rasanya bahagia sekali. Amerika ‘kan negara impian saya. Karena merasa terlalu bahagia, saya memutuskan untuk berhenti minum obat antidepresi. Optimis sekali hidup saya akan bahagia pol di Amerika. Lagipula, obat antidepresinya bikin saya jerawatan dan naik berat badan. ‘Kan sebel.
6-8 bulan lepas dari antidepresi saya mulai menyadari bahwa setiap habis masa ovulasi, pasti saja mood saya memburuk. Bukan sekadar mood swings seperti PMS (premenstrual syndrome) biasa, tetapi benar-benar masuk ke keadaan depresi lagi. Kebetulan saya juga menderita mittelschmerz alias sakit nyeri ovulasi, jadi saya tahu persis kapan saya ovulasi. Seperti magic saja, mood saya berubah total sehari setelah ovulasi. Bagaimana merasakannya? Ketika bangun tidur ada perasaan berat di dada. Otak pun cuma bisa dipakai untuk memikirkan hal-hal negatif. Susah sekali buat merasa senang.
Pandemi membuat keadaan saya jadi lebih parah. Keadaan terisolasi bikin depresi menjadi-jadi. Semakin lama, kondisi depresi saya semakin parah sampai kadang tidak sanggup untuk bangun dari tempat tidur. Semua terasa berat, melelahkan, menakutkan, bikin sedih, bikin marah, dan bikin putus asa. Jadi saya cuma bisa mengurung diri saja di kamar. Namun tiga hari setelah menstruasi, keadaan berubah total lagi. Saya bangun tidur dan hati rasanya ringan. Rasanya ingin ke dapur, bikin makanan enak-enak untuk keluarga. Ingin menghirup udara segar, ingin jalan-jalan, ingin ngobrol panjang lebar. Semua perasaan depresi tiba-tiba hilang. Sampai nanti setelah ovulasi, depresinya akan datang kembali.
Hidup saya pun jadi terbagi menjadi dua shift, masing-masing per dua minggu. Ketika lagi “normal”, saya banyak bikin rencana ini-itu. Namun begitu depresinya datang, langsung semuanya buyar. Sampai akhirnya saya nggak pernah lagi mau bikin rencana apa-apa. Mau baca buku saja jadi malas karena bacaannya jadi terbengkalai ketika depresi kumat dan akhirnya malah kena denda telat mengembalikan buku ke perpustakaan.
Pertama kali ketemu dokter itu gara-gara depresi di akhir tahun 2018. Sebenarnya ini atas inisiatif suami: dia yang membawa saya ke puskesmas karena saya jadi gampang histeris kalau ada masalah. Di tahun 2021, saya kembali menemui dokter. Saat itu saya sedang tinggal di Amerika Serikat, dan PMDD (termasuk depresinya) kumat akibat pandemi. Kondisi ini yang mendorong saya kembali mencari bantuan profesional.
Singkatnya sih, PMDD (premenstrual dysphoric disorder) itu adalah versi parahnya PMS. Kalau PMS umumnya perempuan mengalami mood swings, penderita PMDD malah mengalami depresi. Gejala PMDD nggak sekadar masalah mental. Umumnya juga merambah ke fisik seperti saya yang mengalami kram perut selama dua mingguan sejak ovulasi hingga hari kedua menstruasi. Jerawat juga wadaaaw… jangan ditanya. Mati satu tumbuh seribu.
Di Amerika urusan ketemu dokter jadi gampang berkat asuransi, termasuk dokter spesialis. Tidak tanggung-tanggung, saya ketemu dua dokter sekaligus: dokter umum dan spesialis ObGyn karena saat itu saya sudah curiga sepertinya yang saya alami adalah gejala PMDD.
Mau cerita sedikit tentang kunjungan saya ke dua dokter tersebut. Dokter umum saya berteori kalau PMDD disebabkan karena underlying depression. Jadi kalau ingin menyembuhkan PMDD, depresinya yang harus diberesin. ObGyn saya berpendapat PMDD dan depresi itu seperti telur dan ayam: entah mana yang mulai duluan dan memberi efek ke yang lain. Sebelum memberikan treatment, beliau meminta saya untuk mengisi jurnal siklus menstruasi dulu selama 3 bulan. Jurnal ini merekam gejala-gejala umum PMDD. Tujuannya untuk melihat apakah gejala tersebut muncul secara sporadis, konstan, atau di waktu tertentu saja. Berkat jurnal ini jadi terlihat kalau memang gejala depresi maupun fisik (kram perut, jerawat) yang saya alami muncul di fase luteal hingga hari ke-2 atau ke-3 menstruasi.
Kalau ditanya soal apa yang biasa dilakukan saat mengalami fase PMDD? Sayangnya karena terlalu tenggelam dalam keadaan depresi, saya jadi tidak melakukan apa-apa. Namun satu hal yang jelas: setelah minum obat, gejala PMDD saya sangat minim dan hampir seperti hari-hari normal lainnya.
Ada beberapa peristiwa yang pernah saya alami saat PMDD terjadi. Kalau lagi masuk fase PMDD dan depresi memuncak, saya jadi takut menyetir mobil. Entah mengapa rasanya deg-degan terus dan akhirnya jadi banyak bikin kesalahan. Pernah suatu kali, saya banting setir ke kiri karena ada bunyi klakson. Gak tahunya, bukan saya yang diklakson. Tapi cuma dengar klakson saja sudah cukup bikin saya panik dan otomatis banting setir. Untung jalanan lagi sepi.
Soal proses menerima kondisi PMDD ini, saya terpukul sekali waktu dokter bilang PMDD biasanya disebabkan oleh underlying depression. Waktu tahu soal PMDD, saya menyalahkan hormon atas keadaan depresi saya. Lega rasanya ada yang bisa disalahkan. Tapi setelah mendengar perkataan bu dokter, saya sempat terpuruk selama beberapa hari. Pikiran ‘ternyata memang saya yang depresi’ dan ‘memang saya yang gak beres’ terus berulang-ulang muncul.
Yang kemudian sangat membantu adalah ketika beberapa teman bercerita kalau mereka juga didiagnosa depresi dan sama-sama minum antidepressant seperti saya. Segala pertanyaan “Why me?” dan pikiran yang menyalahkan diri sendiri langsung hilang. Siapa saja bisa depresi, entah apa pun alasannya.
Saya baru mulai mencari informasi ketika muncul rasa heran: kenapa depresi saya munculnya menjelang menstruasi? Lewat pencarian google barulah saya mengenal istilah PMDD. Lalu karena malas sekali rasanya kembali minum obat antidepresi, saya berusaha mencari pengobatan alternatif. Kebetulan dokter umum saya di Amerika mempunyai pendekatan holistik dalam pengobatan dan beliau memberikan banyak masukan tentang mencoba akupunktur dan obat-obatan herbal yang bisa saya coba seperti misalnya St. John’s Wort dan chinese medicine yang katanya ampuh untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan hormon (yang sering kali dikaitkan dengan PMDD).
Saya sempat datang ke klinik TCM (traditional chinese medicine) dan obat yang diresepkan cukup membantu. Pikiran jadi lebih tenang, kulit muka jadi bersih. Tapi terus kliniknya sempat tutup lama sekali ketika kasus pandemi memuncak. Pengobatan saya pun jadi berhenti di tengah jalan.
Untuk proses dan prosedur mendapatkan treatment depresi dan PMDD ini, di Finlandia sendiri penanganan untuk segala macam masalah kesehatan dimulai dari puskesmas. Jadi saya nggak bingung-bingung harus mencari bantuan ke mana. Walaupun saya lumayan kaget karena ternyata antidepressant saya diresepkan oleh dokter umum. Tidak perlu menemui psikiater. Dokter pun menjelaskan bahwa kasus-kasus tertentu saja yang dirujuk ke psikiater. Namun saya juga mendapatkan sesi terapi pendamping, kok. Ada perawat khusus yang menemui saya sebulan sekali untuk talk-therapy. Ini sifatnya optional dan pada akhirnya saya hentikan setelah dua kali pertemuan karena nggak enak kalau terlalu sering izin dari kantor. Waktu itu belum jamannya WFH (=Work From Home), sih.
Untuk obat yang diresepkan, obat antidepresi standar seperti citalophram dan e-citalophram harganya murah sekali. Lebih murah dari Panadol. Waktu saya pindah obat ke Voxra, dokternya minta maaf karena obatnya mahal. Eh ternyata masih sangat terjangkau, kok. Terima kasih universal healthcare!
Ketika tinggal di Amerika Serikat, untungnya kami punya asuransi yang lumayan bagus. Segala pengobatan ke dokter gratis, tapi biaya obat tidak ditanggung penuh walaupun mendapatkan potongan harga. Karena saya diresepkan dua jenis obat (antidepressant dan pil KB), bayarnya sungguh lumayan. Apalagi pil KB-nya, bahkan setelah diskon harganya hampir 60 dollar/pack. Di Finlandia, pil yang sama harganya 14 euro/pack.
Asuransi kami juga menanggung psikoterapi, jadi saya sempat konsultasi rutin dengan psikolog seminggu sekali selama beberapa bulan. Ini hal yang sangat mewah karena kunjungan ke psikolog itu mahal sekali dan di Finlandia cuma kasus-kasus berat saja yang dirujuk ke psikolog maupun psikiater dengan biaya ditanggung negara. Kalau terapinya atas inisiatif sendiri, bayarnya sungguh bikin bangkrut.
Banyak sekali pelajaran yang saya petik dari memiliki kondisi PMDD ini. Pertama, saya tidak lagi meremehkan PMS. Sebelum hamil saya tidak pernah mengalami PMS sampai-sampai saya kira PMS itu dongeng saja yang dijadikan alasan buat manja. Eh, taunya… sekarang saya malah dikasih PMDD. Penderita PMDD ataupun PMS berhak mendapat empati.
Pelajaran lain berkaitan dengan depresi. Depresi tidak selalu terlihat dan pada umumnya orang nggak mau kelihatan depresi. Jangan kaget kalau dengar kabar seseorang menderita depresi. Gak usah bilang “Gak nyangka ya, kayanya hidupnya seneng-seneng terus“. Kalau ada teman yang tiba-tiba menghilang, yang jadi jarang ngumpul, coba cek keadaanya. Depresi bikin seseorang merasa helpless, insignificant, and even unloved. Just to know that someone cares helps A LOT!
Gak perlu mikirin terlalu ribet, bagaimana membantu seseorang keluar dari depresi. Pada umumnya cuma profesional yang bisa membantu. Just. Be. There. Dan bantu dia mengerjakan hal-hal yang sulit dia lakukan sendiri seperti beli makanan, bersih-bersih rumah. Itu sudah sangat cukup dan berarti.
Satu lagi pelajaran yang sangat berarti: ternyata benar loh yang orang-orang bilang, kalau olahraga dan udara segar sangat ampuh untuk mengatasi depresi. Keadaan PMDD saya jadi lebih teratasi kalau saya lagi rutin berolahraga dan banyak-banyak keluar rumah. Terkukung di rumah dan kurang gerak sungguh pencetus depresi.
Penulis: Rika, tinggal di Helsinki. Bisa dihubungi di akun instagram @seerika.
Dalam mewujudkan dukungan terhadap kesetaraan gender, RUANITA memiliki program Karir & Kewirausahaan untuk perempuan Indonesia yang tinggal di mancanegara. Agar semakin mendorong lebih banyak lagi perempuan Indonesia terampil dalam berwirausaha, RUANITA membagikan praktik baik yang sudah dilakukan oleh Dewi Maya.
Dewi Maya adalah perempuan Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat dan telah berhasil mendirikan usaha tas dengan nama bisnis: Dewi Maya. Koleksi tas yang diciptakannya dapat dilihat dalam akun Instagram: dewimaya.shop di mana koleksi tas buatan tangannya banyak dilirik oleh warga Amerika Serikat.
Dewi bercerita bagaimana perjuangannya di awal tinggal di Amerika Serikat itu tidak mudah. Dia memulai kedatangannya dengan memperkuat keterampilan berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Dewi pun membagi waktunya dengan bekerja agar impiannya memiliki usaha dapat terwujud. Berbekal tekad yang kuat, Dewi pun belajar bagaimana membangun jaringan dan usaha sehingga kelak dia tahu bagaimana dia harus mengelola usahanya.
Ketika Pandemi Covid-19 melanda dunia, Dewi tak kehilangan akal. Dia menekuni hobi menjahit yang dulu sudah dikenalnya dari sang ibu. Dia pun mencoba berbagai bahan Good Will yang tersedia di market negeri Paman Sam sebagai material yang berkualitas baik. Meskipun Dewi hamil, niatnya memulai usaha tidak surut. Tas yang dikerjakannya benar-benar berkesan bagi para pembeli yang menjadi pengunjung Bazaar sekitar tempat tinggalnya.
Ya, Dewi memulai usahanya dari kelompok kecil dan area sekitar tempat tinggalnya. Usaha Dewi tak sia-sia, produk tas yang dihasilkannya pun banyak dilirik warga di Amerika Serikat. Setelah Dewi mendaftarkan izin usahanya di Amerika Serikat, Dewi pun berpeluang mendapatkan Grants berupa 2 unit mesin jahit yang mendukung usahanya tersebut.
Dewi menceritakan bagaimana pengalaman kesehariannnya antara berbagi tugas menjadi ibu dengan perempuan berwirausaha di rumahnya. Dia pun berbagi peran dan tanggung jawab dengan suaminya dalam urusan domestik. Keberhasilan Dewi berwirausaha di Amerika Serikat didengar pihak VOA yang mengundangnya berbagai keberhasilan lewat kanal media mereka.
Bagaimana pengalaman Dewi sebagai ibu rumah tangga dan Entrepreneur di Amerika Serikat? Simak dalam kanal YouTube kami berikut ini:
Lima tahun yang lalu setelah menikah saya pindah ke negara asal suami yaitu Swedia di tahun 2017. Tetapi, saat itu saya masih bolak-balik Indonesia dan Swedia karena anak pertama saya dari perkawinan sebelumnya masih tinggal di Banyuwangi.
Baru di akhir tahun 2019 saya memutuskan untuk menetap di Swedia. Selain itu, di akhir tahun tersebut saya sudah bisa membawa anak pertama saya untuk ikut pindah ke Swedia. Anak pertama saya laki-laki dan sekarang sudah remaja berusia 17 tahun. Anak laki-laki saya saat ini melanjutkan sekolahnya di Swedia.
Setelah menetap di Swedia, saya sempat tiga kali keguguran. Akhirnya baru pada kehamilan ke empat di Swedia ini proses kehamilan saya berjalan dengan sehat dan lancar. Saya melahirkan bayi perempuan di akhir Desember 2021.
Selama hamil di Swedia ini, saya ngidam sayur nangka yang dimasak dengan santan seperti sayur lodeh. Sayur nangka ini kalau didiamkan berhari-hari akan kering. Nah, sayur nangka yang menjadi kering seperti inilah yang sangat ingin saya makan pada saat hamil.
Selain sayur nangka kering, saya juga ngidam rujak buatan ibu saya. Tetapi, bukan rujak buah seperti yang dikenal umumnya. Melainkan, rujak dengan lontong. Kemudian ditambah dengan sayuran, kacang, dan petis. Rujak yang seperti dikenal di daerah asal saya di Banyuwangi dan di Jawa Timur pada umumnya. Orang di sana menyebutnya lontong kecap. Saya sendiri menyebutnya dengan rujak. Di Bali makanan ini lebih dikenal dengan sebutan tipat sayur.
Saya pernah mencoba membuat sayur nangka kering ini ketika hamil. Karena sulit untuk mencari nangka segar, akhirnya saya mencoba dengan nangka dalam kaleng yang saya dapatkan dari pasar swalayan. Tetapi rasanya jauh berbeda dengan rasa asli yang saya inginkan. Nangka dalam kaleng itu terasa asam. Sebenarnya nangka segar ini ada dijual di toko Asia. Nangka yang berasal dari Thailand. Tetapi mahal dan ketika saya ingin membelinya, nangka tersebut tidak tersedia. Setelah melahirkan saya melihat nangka segar itu di toko Asia, tetapi saya sudah tidak ingin membelinya lagi. Walaupun demikian sampai saat ini, setelah saya melahirkan, saya masih mengindamkan sayur nangka kering ini.
Sedangkan lontong kecap saya belum sempat untuk membuatnya selama hamil. Petis yang menjadi bahan penting dalam racikan bumbu untuk membuat lontong kecap tidak mudah didapatkan di Swedia. Sepertinya, saya belum pernah menemukan petis di sini. Akhirnya, rasa lontong kecap ini hanya bisa saya rasakan dalam mimpi saja.
Mungkin sekarang keinginan untuk makan sayur nangka kering tersebut lebih kepada keinginan diri. Sejak pandemi, saya belum pulang mudik ke Indonesia. Sehingga saya terobsesi dengan sayur nangka kering. Berita baiknya, saya akan mudik ke Indonesia akhir tahun ini. Jadi tentunya saya bisa memuaskan keinginan saya untuk makan sayur nangka kering.
Untungnya di Swedia ini saya tetap bisa makan sambal karena saya menyukai makanan dengan cita rasa pedas. Bagi saya sambal wajib ada dalam menu sehari-hari. Cabai pun mudah di dapatkan di sini. Jadi selama hamil saya masih bisa menikmati makan dengan sambal. Ngidam sayur nangka dan lontong kecap yang tidak kesampaian menjadi cukup terobati.
Selama hamil jika ingin makanan Indonesia, saya tentu akan membuatnya. Terlebih saya sangat menyukai makanan yang pedas dan gurih. Seperti membuat ayam goreng krispi yang kemudian dinikmati bersama-sama sambal tomat. Selain itu saya juga membuat bakso balungan yang popular di daerah saya di Banyuwangi, walaupun rasa bakso balungan yang saya buat tidak bisa seotentik yang ada di Banyuwangi. Mungkin karena saya belum bisa meracik bumbu kuah baksonya agar lebih mendekati rasa aslinya. Walaupun tidak mendekati rasa aslinya, paling tidak bakso balungan buatan saya bisa sebagai pengobat rasa rindu.
Untuk mengatasi ngidam sayur nangka kering dan lontong kecap yang tidak kesampaian, saya banyak menonton video makanan dan memasak dengan bahan-bahan yang mudah didapat. Kehamilan saya kala itu secara umum juga mudah dan tidak ada keinginan yang aneh-aneh. Berbeda dengan kehamilan saya yang pertama.
Seperti umumnya perempuan di masa kehamilan pengaruh hormon bisa membuat kita lebih sensitif, walaupun saya tidak sampai membuat saya selalu menangis ketika mengalami ngidam ini. Lebih terbawa mimpi akan ngidam makanan yang tidak tersampaikan. Saya sering terbangun tengah malam karena teringat makanan.
Walaupun ngidam saya tidak kesampaian, tetapi anak saya tidak mengeluarkan air liur atau yang lebih dikenal dengan istilah ileran atau ngeces seperti yang banyak dibilang orang-orang. Anak saya mengeluarkan air liur ketika pilek dan giginya mau tumbuh. Padahal sebelumnya saya sempat siap-siap membeli apron yang biasa dipakai di leher bayi ketika makan untuk menampung air liurnya mengingat ngidam sayur nangka kering yang tidak kesampaian. Jadi sepertinya pandangan umum kalau ngidam tidak kesampaian maka anaknya akan sering mengeluarkan air liur adalah mitos belaka.
Saya beruntung karena suami saya adalah suami siaga selama masa kehamilan ini. Dia selalu siap untuk memenuhi keinginan saya. Jadi suami sering mengantarkan dan menemani saya ke pasar swalayan misalnya untuk membeli apa yang saya inginkan. Selain itu juga sabar dalam menghadapi mood saya yang naik turun selama hamil.
Pengalaman ngidam di masa hamil di negeri asing ini memberi saya hikmah untuk lebih bersabar dalam menghadapi keterbatasan seperti tidak mendapatkan makanan yang diinginkan dan tidak ada orang lain yang membantu di rumah selain suami. Tidak seperti di Indonesia di mana kita bisa meminta bantuan orang-orang terdekat kita dengan mudah. Juga lebih mudah bersyukur dan menghargai apa yang kita punya saat ini yang mungkin di masa yang lalu kita taken for granted.
Pesan saya untuk perempuan-perempuan Indonesia yang mengalami kehamilan di luar negeri untuk tetap semangat. Jangan lupa mengkomunikasikan apa yang kita perlukan ke suami walaupun kita juga perlu dan harus mandiri. Juga mengkomunikasikan ketika kita capai dengan segala urusan rumah tangga agar kita bisa melalui masa kehamilan dengan aman dan nyaman.
Penulis: Dina Diana, Mahasiswa S3 di Jerman yang mewawancarai seorang Mita Seviana, yang tinggal di Lund – Swedia. Mita sehari-hari adalah ibu rumah tangga dan pengelola dari kanal YouTube: Family Indonesia Sweden.
Halo Sahabat RUANITA semua, perkenalkan nama saya Tyka. Saya sekarang menetap di Barcelona, Spanyol. Saya berasal dari Bali, kemudian menetap di negeri matador ini lebih dari sepuluh tahun.
Sehari-hari saya adalah ibu rumah tangga, tetapi saya tidak mau tinggal diam. Saya juga mengembangkan bisnis di bidang pariwisata. Saya bertugas sebagai Business Development dalam usaha tersebut. Usaha tersebut memberikan saya banyak kesempatan, termasuk bertemu dengan berbagai orang dari berbagai karakter dan kebiasaan kerja.
Berikut saya bagikan sepenggal cerita, tentang pengalaman suka duka bertemu dengan berbagai orang seperti orang yang suka menunda pekerjaan/tugas. Menurut saya, menunda tugas/pekerjaan adalah kebiasaan buruk. Hal itu tentu saja membuat saya kecewa, kesal kadang marah dengan kebiasaan tersebut.
Baik sengaja maupun tidak disengaja, terkadang kita tidak menyadari kebiasaan menunda tugas/pekerjaan tersebut. Dan itu bisa terjadi pada siapapun, dalam berbagai bidang pekerjaan dan posisi jabatan loh.
Menurut saya, kita tidak bisa mengatakan kalau orang yang sering kali menunda pekerjaan/tugas itu adalah orang pemalas. Itu beda sekali. Anak-anak milenial sekarang menyebutnya adalah Procrastination. Saya tahunya hanya suka/sering menunda pekerjaan/tugas saja.
Orang yang malas adalah orang yang tidak melakukan apapun tugas/pekerjaannya dan dia merasa oke saja dengan hal tersebut. Namun, orang yang suka menunda pekerjaan seperti Procrastination yang disebut anak milenial itu adalah orang yang memiliki keinginan untuk melakukan tugas/pekerjaannya tetapi tidak bisa melakukannya. Alasannya bisa beragam.
Kita tidak bisa menghakimi seseorang, mengapa dia menunda tugas/pekerjaan, bisa saja dia sibuk. Namun orang yang sering/suka menunda pekerjaan menurut para ahli, mungkin saja dia tidak merasa percaya diri dengan tugas/pekerjaan yang diberikannya. Ada loh orang yang suka meragukan kemampuannya sendiri. Alasan lainnya, kita tidak pernah tahu kalau tugas/pekerjaan yang diberikan padanya itu membuat orang tersebut merasa bersalah.
Sahabat, kita harus memahami latar belakang mengapa seseorang itu sering kali menunda tugas/pekerjaan yang diberikan kepadanya. Kalau saya berpendapat, hal itu biasanya kesalahan mengelola waktu. Ada loh orang yang tidak bisa memilih tugas mana yang harus diselesaikan dulu dan mana yang harus diberi nomor dua, tiga, empat dan seterusnya.
Artinya, orang yang suka menunda tugas/pekerjaan bisa jadi dia tidak tahu bagaimana memberi prioritas pada pekerjaannya sehingga pekerjaan diberikan tidak tepat waktu. Bisa jadi orang menjadi stres tinggi atau sakit saat melihat tumpukan pekerjaan, kemudian muncul pada perasaan negatif yang membahayakan yaitu malas.
Tentu ini membuat image negatif terhadap orang tersebut seperti dicap kurang bertanggung jawab. Cap ini tentu membuat kita juga kurang mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Kalau sudah kurang kepercayaan dari orang lain atau atasan di tempat kerja, tentu peluang kita untuk berkembang sebagai pribadi menjadi kecil. Malahan kita menjadi kehilangan kesempatan atau peluang yang membuat karir kita maju. Itu cuma gara-gara kita sering kali menunda pekerjaan/tugas loh.
Buat sahabat RUANITA semua, saya bagikan tips bagaimana agar kita terhindar dari kebiasaan buruk menunda tugas/pekerjaan berdasarkan pengalaman saya. Sebelum tidur biasanya saya selalu siapkan kertas dan pulpen untuk me-review hal-hal yang sudah saya lakukan pada hari tersebut.
Tak sampai situ saja, saya juga menulis hal-hal yang akan saya lakukan di hari berikutnya secara detil. Boleh dibilang, ini seperti jurnal harian yang membantu saya memilih atau memilah tugas yang jadi prioritas saya. Mana sih tugas yang harus diselesaikan duluan besok hari. Saya akan beri nomor urut dalam jurnal saya tersebut.
Saya tempelkan di samping cermin yang ada di kamar mandi. Mengapa? karena ini memudahkan saya untuk bisa melihatnya setiap kali saya bangun tidur. Dengan memiliki jurnal atau agenda harian, sesibuk apapun itu akan menjadi support kita. Kita tentu akan bersemangat menyelesaikan tugas tersebut dengan baikSebagai pemula, saya tahu hari pertama itu mungkin sulit. Namun saya terus melakukannya terus menerus sehingga menjadi kebiasaan dan terbiasa. Demikian sharing pendapat dan pengalaman saya. Terima kasih.
Penulis: Tyka Karunia, tinggal di Barcelona, Spanyol. Pengelola @fiindolan.id dan @mypasportmyparadise dan @wiracana_handfan.
Apa yang Anda bayangkan jika mendengarkan kepemimpinan perempuan dalam bencana atau krisis seperti krisis pandemi yang baru saja kita lewati?
Ada yang menarik tentang kepemimpinan perempuan di negeri tua dalam peradaban manusia berabad-abad lalu saat saya berlibur ke Mesir. Di sana saya mengunjungi berbagai tempat-tempat bersejarah dan mengetahui bagaimana negeri tertua di dunia tersebut mengalami masa kejayaan.
Pemandu wisata menjelaskan bagaimana tiap Firaun, Sang Penguasa Mesir terlibat dalam berbagai kepemimpinan memimpin negeri itu. Firaun sebagai penguasa adalah para pria. Itu dalam benak saya saat itu. Pertanyaan saya kepada pemandu wisata, apakah tidak ada Firaun seorang perempuan? Dia pun menjawab, tentu ada Firaun yang juga seorang perempuan.
Tercatat ada 6-8 Firaun perempuan dari sekian banyak Firaun yang pernah berkuasa di Mesir. Di zaman kuno, Firaun yang notabene perempuan dipilih sangat jarang sekali dalam budaya patriarki yang masih kental. Kepemimpinan Firaun perempuan lebih ditekankan pada saat Mesir terjadi krisis. Misalnya, ketika sang Firaun laki-laki wafat dan tidak ada penggantinya lagi maka terpilihlah istrinya.
Bagaimana sih kepemimpinan perempuan saat bencana atau krisis?
Perempuan mampu memberdayakan komunitasnya secara partisipatif dan komunikatif ketimbang pemimpin lelaki yang lebih terkesan hierarki dan komando. Begitu dari literatur yang saya baca seputar kepemimpinan perempuan pada masa itu. Saya membayangkan bagaimana Cleopatra dengan cerdik memimpin negeri Mesir dan namanya tidak lekang oleh waktu.
Kepemimpinan perempuan di masa kini tentu Anda sudah mengenal berbagai tokoh dunia perempuan lainnya. Kepemimpinan kala bencana menurut saya, tidak harus selalu menjadi Leader tetapi perempuan diberi kesempatan dalam urusan publik seperti krisis Pandemi Covid-19. Saat krisis pandemi kemarin contohnya, ada kehadiran perempuan dalam penemuan vaksin Astrazeneca. Dia adalah Sarah Gilbert, seorang penemu perempuan dan lainnya adalah perempuan asal Indonesia yakni Carina Citra Dewi Joe.
Beralih ke pengalaman lainnya saat Pandemi Covid-19 lalu. Seorang rekan yang bekerja di LSM di Indonesia beberapa waktu lalu bercerita kepada saya tentang pendistribusian logistik dari pemerintah yang disampaikan kepada keluarga-keluarga binaannya.
Sebut saja Mbah, perempuan berusia lima puluh tahunan ini terpaksa menjadi tulang punggung keluarganya. Dia bekerja di sawah karena suaminya meninggal. Mbah tidak punya Handphone dan televisi karena pekerjaannya hanya sebagai buruh tani. Saat staf LSM mengantarkan bantuan sembako kepada Mbah, Mbah terkejut bercampur bahagia.
Mbah pun terharu dan menitipkan pesan terima kasih kepada Covid yang telah memberikan bantuan kepadanya. Rupanya Mbah tidak pernah melihat perkembangan situasi tentang Pandemi Covid-19 lalu. Mbah berpikir kalau Covid adalah nama seorang dermawan.
Anda bisa membayangkan bagaimana krisis atau bencana melanda perempuan seperti Carina Joe atau seperti Mbah yang kurang akses informasi. Belum lagi pasca bencana, perempuan dihadapkan pada situasi kehilangan suami atau anggota keluarganya yang menjadi tulang punggung keluarganya.
Perempuan masih berurusan dengan kesiapan mental dan masalah ekonomi yang harus dipecahkan solusinya apalagi bila dia tidak bekerja dan tidak punya lagi tempat tinggal akibat bencana. Rentetan persoalan perempuan saat bencana bukan lagi soal perempuan yang rentan secara fisik melainkan perempuan yang bisa jadi tidak diberi kesempatan dalam situasi krisis atau bencana. Lainnya, perempuan yang tidak tahu harus bertindak karena berbagai keterbatasannya.
Peran perempuan sebagai Caregiver keluarga apalagi saat bencana sangat terasa sekali saat krisis kemanusiaan Pandemi Covid-19 yang baru-baru ini kita alami. Perempuan diminta untuk mengurusi anak-anak dan keluarganya di rumah. Belum lagi, beban ganda para perempuan bekerja yang dituntut berbagi tugas dan tanggung jawab antara urusan pekerjaan dan rumah tangga dalam 24 jam.
Seorang rekan perempuan asal Indonesia yang tinggal di Jerman mengeluhkan beban ganda yang harus dipikulnya manakala Pandemi Covid-19 melanda dunia. Dia memilih bekerja porsi Teilzeit atau pekerjaan paruh waktu di rumah. Sementara dia juga harus menjadi guru bagi anak-anaknya yang juga semua dilakukannya di rumah. Hingga akhirnya dia datang kepada saya mengeluhkan semua yang dialaminya tersebut. Masalah psikologis adalah masalah yang tidak pernah terpikirkan ketika bencana datang.
Itu baru masalah psikologis selama bencana yang dihadapi perempuan sebagai Caregiver, mengurusi, dan merawat anggota keluarga lainnya bahkan keluarga besarnya. Selama bencana, perempuan berada di garda terdepan untuk menyelamatkan keluarganya. Anggapan ini berkembang kuat di masyarakat.
Padahal tugas menyelamatkan keluarga saat bencana tidak hanya perempuan saja, (tetapi) seharusnya juga laki-laki. Pandangan perempuan sebagai kelompok rentan secara fisik saat terjadi bencana atau krisis tentu bisa dipatahkan dengan melibatkan perempuan dalam berbagai kesempatan seperti ibu-ibu di tenda bantuan untuk berkoordinasi dengan petugas lapangan tentang ketersediaan logistik, mencatat kebutuhan pengungsi hingga tenaga kesehatan otodidak hanya karena perempuan dianggap sebagai Caregiver keluarga.
Saya pernah terlibat dalam penanganan trauma psikologis pada saat bencana gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 silam. Kami tidur di posko bantuan yang lokasinya aman bersama pengungsi lainnya. Kami punya tim sukarelawan yang berasal dari warga sendiri untuk membantu mendata kebutuhan logistik warga seperti misalnya, apa saja yang diperlukan tiap-tiap rumah tangga saat itu.
Hal menarik, laporan pendataan yang ditulis perempuan lebih terstruktur ketimbang laki-laki dalam mengumpulkan data. Kami juga punya program penyuluhan tentang kesiapsiagaan kalau bencana datang lagi. Agar informasi ini tersampaikan dengan baik, kami meminta relawan untuk menjadi penyuluh yang datang ke keluarga-keluarga yang terdampak.
Hal menarik kedua adalah penyuluh perempuan itu lebih komunikatif dan interaktif dalam menyampaikan informasi ketimbang laki-laki. Itu hanya pengamatan saya saja kalau penyuluh perempuan itu lebih disukai daripada penyuluh laki-laki.
Saya tertarik untuk menuliskan kepemimpinan perempuan saat bencana ketika saya pernah terjun langsung mendampingi korban bencana seperti bencana gempa bumi tahun 2006 dan banjir besar di Jakarta tahun 2007. Pada saat banjir besar di Jakarta tersebut, saya masih bekerja di Jakarta dan bertugas mendampingi area yang terdampak sebagai sukarelawan.
Budaya patriarki masih kental ketika warga yang menjadi korban lebih memilih laki-laki sebagai tenaga relawan. Alasannya perempuan dianggap lemah secara fisik. Anggapan lainnya adalah perempuan sudah seyogyanya merawat dan mengurusi anggota keluarganya yang terdampak bencana di rumah. Para perempuan hanya dilibatkan untuk dapur umum kadang-kadang atau tenaga otodidak kesehatan di tenda pengungsian.
Ketika saya membicarakan soal pembagian peran perempuan dan laki-laki saat di kedua bencana tersebut, hal ini masih berbenturan dengan kebijakan yang mengatur proporsi perempuan dan laki-laki dalam penanggulangan bencana. Mereka tidak ingin melibatkan banyak perempuan karena anggapan di masyarakat.
Perempuan dianggap rentan secara fisik dan dipandang sebelah mata dalam program pasca atau Recovery bencana. Anggapan yang salah dari keyakinan banyak warga yang meremehkan peran serta perempuan. Dalam penanggulangan bencana, anggapan yang menyudutkan seperti “Perempuan bisa apa?” seperti tidak memberikan kesempatan perempuan yang ingin mencoba dan berdaya.
Kembali lagi soal pendekatan kepemimpinan yang dilakukan perempuan seperti partisipatif dan komunikatif, perempuan bisa mengambil bagian terlibat dalam program penanggulangan bencana atau pasca krisis seperti krisis Pandemi Covid-19 yang baru-baru ini terjadi. Dengan gaya kepemimpinan perempuan tersebut, perempuan bisa terlibat dalam manajemen risiko bencana.
Mengapa? Perempuan dianggap memiliki ikatan sosial yang kuat dalam masyarakatnya ketimbang laki-laki. Para ibu ingat betul siapa saja tetangga-tetangga mereka yang perlu ditolong, ketimbang para bapak. Ini hasil pengamatan saya saat membantu dalam dua bencana yang disebutkan di atas.
Gaya perempuan yang komunikatif ternyata membuat pesan tanggap darurat bencana lebih diterima ketimbang gaya komunikasi laki-laki yang terkesan komando. Kepemimpinan tidak harus selalu menjadi Leader, tetapi perempuan diberi kesempatan dalam urusan publik. Itu saja, menurut saya.
Di Hari Perempuan Sedunia 2023 ini saya berpesan agar kepemimpinan perempuan bisa dimulai dengan banyak melibatkan perempuan dalam ruang publik, tidak menunggu sampai bencana datang. Dalam situasi tanggap darurat seperti krisis atau bencana, perempuan perlu dilibatkan.
Kita bisa memulai dari sekarang, sebelum bencana atau krisis datang, dengan mengajak peran serta perempuan untuk penyusunan kebijakan payung hukum tanggap bencana, manajemen risiko bencana hingga program Life Skills pemberdayaan komunitas pasca bencana.
Kepemimpinan menurut saya tidak serta merta dalam urusan posisi mana yang lebih tinggi dan lebih rendah. Namun bagaimana duduk bersama-sama dan menganggap bahwa perempuan perlu diberi kesempatan, dalam hal apapun, termasuk situasi krisis, bencana atau tanggap darurat. Selamat Hari Perempuan Sedunia 2023!
Penulis: Anna Knöbl, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Jerman.