“Your German is terrible. I can’t understand anything you said at all,” potong profesor saya, di saat saya sedang melakukan presentasi tentang pengungsi dan imigrasi paksa di kelas Antropologi Migrasi di suatu universitas di Jerman.
Saya dapat melihat teman-teman sekelas saya bertukar pandangan, wajah mereka memancarkan ketidakpercayaan dan horror. Perlahan wajah saya memucat.
Dengan tangan bergetar, saya berusaha melanjutkan presentasi saya tetapi profesor saya berdecak tidak sabar.
“Tidak perlu dilanjutkan, Anda terdengar seperti Google Translate. Apa Anda terlalu malas untuk menulis ulang presentasi ini dalam bahasa Jerman yang baik dan benar? Sudah cukup saya mendengarnya, silakan kembali!“ sahutnya.
Saya buru-buru menyelesaikan presentasi saya dan kembali ke tempat duduk. Teman satu kelompok saya hanya bisa memandangi saya dengan pandangan setengah kesal dan setengah iba.
Saat itu, saya baru saja mulai kuliah. Ersti, begitu mereka memanggil mahasiswa baru semester pertama. Apa saya menggunakan Google Translate? Ya dan tidak.
Memang betul, saat itu kemampuan bahasa Jerman saya masih buruk. Saya menggunakan bantuan Google Translate untuk menerjemahkan beberapa kalimat tetapi saya masih perbaiki dan tulis ulang.
Saya berusaha menjelaskan itu kepada profesor saya. Namun dia tidak bergeming.
“Lebih baik anda bicara bahasa Inggris saja, daripada anda menggunakan Google Translate untuk berbicara Bahasa Jerman!” katanya saat itu.
Setelah perkuliahan itu berakhir, teman-teman sekelas saya menghibur saya.
“Jangan pikirkan dia!“ kata mereka.
“Kami dapat mengerti apa yang kamu bicarakan. Kami tidak tahu kenapa dia bisa berpikir seperti itu tetapi kami berpikir bahasa Jerman kamu cukup bagus.“
Saya hanya dapat berterima kasih kepada mereka. Sejak saat itu, saya memiliki trauma untuk berbicara bahasa Jerman terutama di depan orang banyak. Sampai lima tahun setelah kejadian tersebut, saya masih belum bisa bicara bahasa Jerman.
Selama kuliah S1 saya kebanyakan diam atau berbicara dengan bahasa Jerman patah-patah yang dicampur Bahasa Inggris.
Kejadian ini menegaskan posisi saya sebagai “The Other” di kelas. Secara harafiah, Other berarti “yang lain.” Secara antropologis, Other memiliki arti “anggota kelompok luar yang didominasi, yang identitasnya dianggap kurang” (Staszak 2008).
Identitas saya di kelas adalah orang asing yang tidak lahir dan besar di Jerman dan tidak bisa berbahasa Jerman dengan baik pula. Terlebih di kelas saya satu-satunya murid yang mengenakan hijab.
Teman-teman dan pengajar sangat mengakomodasi kelemahan saya dalam berbicara bahasa Jerman. Namun segala perlakuan tersebut semakin menegaskan tembok antara saya dan mereka.
Itu adalah awal dari gangguan kecemasan saya. Selama lima tahun saya kuliah S1, saya menghadapi beberapa situasi di mana kesehatan mental saya benar-benar terpuruk.
Saya didiagnosa gangguan panik, gangguan kecemasan, dan depresi. Ditambah saat tahun ketiga, saya terancam harus drop out jika saya tidak lulus salah satu ujian yang dilaksanakan secara lisan dalam bahasa Jerman.
Syukurlah! Pada akhirnya saya berhasil lulus S1 dengan nilai yang baik.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan menjadikan pengalaman saya sebagai “motivasi.“ Pada kenyataannya tidak mudah menjadikan trauma sebagai motivasi.
Saya memerlukan lebih dari lima tahun untuk akhirnya dapat berbicara bahasa Jerman tanpa harus merasa panik dan takut jika lawan bicara saya akan menyuruh saya diam.
Saya menyadari bahwa pengalaman saya bisa dialami oleh siapa saja yang sedang menjadi “Others.” Oleh karena itu, saya ingin mengucap kepada para “Others” terima kasih telah berjuang sampai saat ini.
Penulis: Nadia M, yang saat ini tinggal di desa di wilayah timur laut Jerman. Dia suka menulis artikel semi-ilmiah yang berhubungan dengan pengalaman dan kegemarannya. Hobinya adalah mengitari desa sambil berharap dia bisa bertemu kucing. Dia akan memulai kuliah S2 Social Anthropology pada winter-term ini. Dia berharap untuk menjadi peneliti diaspora Indonesia di Jerman.