
Perceraian menjadi istilah yang menakutkan bagi pasangan yang berumah tangga, tidak terkecuali saya. Dalam kehidupan rumah tangga tentunya masalah akan selalu ada. Normatifnya pasti ada pengharapan kalau masalah tersebut bisa diselesaikan.
Namun ketika masalah yang muncul menyangkut prinsip, apakah layak rumah tangga dipertahankan? Rasa takut mendominasi perasaan saya ketika ucapan cerai sudah terucap. Apakah saya sanggup mengasuh 3 orang anak sendirian dan menafkahi mereka?
Dalam putusan perceraian tersebut disebutkan secara rinci jadwal anak-anak berkunjung dan menginap ke rumah bapaknya sekitar 12 hari dalam sebulan. Jadwal anak-anak merayakan Natal bergantian termasuk juga jadwal liburan (kami memilih soal liburan musim panas).
Implikasi dari putusan ini adalah anak-anak mempunyai alamat dan dokter yang sama dengan saya. Saya mempunyai hak untuk memilih sekolah, menjadi kontak penghubung dengan pihak sekolah bahkan saya bisa memutuskan untuk pindah kota.
Secara finansial, negara memberikan tunjangan lebih kepada orang tua yang memiliki hak asuh anak yaitu tunjangan anak (child benefit). Karena saya punya 3 anak maka jumlah pembayaran untuk tunjangan anak menjadi untuk 4 anak.
Selain itu saya juga mendapatkan tunjangan sebagai single parent dari negara. Jumlah yang diberikan disesuaikan dengan penghasilan. Jika si single parent tidak memiliki pekerjaan maka negara akan memberikan sekitar 19950 kroner/ bulan sebelum dipotong pajak (perhitungan tahun 2021). Negara juga memberikan tunjangan sekitar 60% biaya daycare.
Walaupun dalam kondisi seperti itu, kami sadar bahwa kami mempunyai peran sebagai orang tua dari 3 anak yang masih dibawah umur. Orang tua mempunyai peran penting dalam tumbuh kembang anak. Lingkungan pertama yang ditemui seorang anak adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan saudara.
Dalam interaksinya seorang anak mengadaptasi dari apa yang dilihat dan dipelajari di dalam keluarga. Lalu bagaimana perkembangan anak dalam keluarga yang tidak utuh? Apakah saya harus berperan juga sebagai ayah untuk anak-anak saya? Apakah mantan suami juga harus berperan sebagai ibu untuk anak-anak?
Dalam mengkomunikasikan situasi dan kondisi yang terjadi, kami bersepakat untuk menceritakan kepada mereka bersama-sama. Kami katakan kepada mereka bahwa kami memutuskan untuk tidak tinggal satu rumah lagi. Mereka hanya diam saja, tidak bertanya apa pun. Mungkin karena mereka masih kecil dan belum mengerti situasi dan implikasi dari situasi yang terjadi.
Kami menjelaskan bahwa penyebab perpisahan ini tidak ada hubungannya dengan mereka dan mereka akan tetap bisa berhubungan dengan kami, kedua orang tuanya. Kami menekankan sisi positif bahwa mereka memiliki dua rumah dan 6 minggu liburan musim panas.
Pertumbuhan anak baik itu secara emosional dan intelektual membutuhkan kerja sama dengan pihak lain misalnya sekolah sampai kegiatan ekstra kurikuler anak pun melibatkan orang tua dalam kegiatannya.
Soal perayaan ulang tahun anak, bisa saja saya tidak perlu melibatkan mantan suami. Tapi tradisi ulang tahun disini, pihak keluarga seperti tante atau nenek kakek dari anak-anak biasanya diundang. Saya merasa anak-anak mempunyai hak untuk bertemu dengan kakek-nenek ataupun tante dan paman mereka. Perayaan ulang tahun atau Natal menjadi arena penting untuk melakukan kontak dengan keluarga di luar keluarga inti.
Kerja sama yang baik antara saya dan mantan suami dimulai ketika urusan hak kepemilikan rumah bisa diselesaikan, sekitar bulan maret 2012. Kami pun mulai fokus untuk mendiskusikan persoalan yang menimpa anak-anak. Misalnya ketika anak saya yang bungsu masih di TK/daycare, kami mendapat laporan bahwa dia sangat pemilih dalam hal makanan. Kami berdua pun harus mendiskusikan bagaimana cara untuk mendorong dia mencoba variasi makanan lain. Mantan saya ini, lebih cerdik untuk mendorong bagaimana agar dia tertarik untuk mencoba variasi makanan lain. Anak saya ini diajak untuk memasak walaupun saat itu dia masih berumur 2 tahun.
Dalam memberikan pengasuhan pada anak, saya dan mantan mempunyai pola yang berbeda. Sikap dan cara kami dalam mengasuh anak berbeda tapi secara prinsip kami menginginkan anak yang tumbuh bahagia. Kami sama-sama mengajarkan agar mereka bisa mengambil keputusan dan mengambil tindakan sendiri. Hal ini bertujuan agar mereka menjadi mandiri dan bertanggung jawab atas pilihannya.
Saat ini anak-anak saya berumur 16, 14 dan 12. Artinya sudah 10 tahun yang lalu mereka tinggal di dua rumah yang berbeda. Banyak hal menakjubkan yang terjadi. Mulai dari kemandirian mereka untuk bepergian dengan transportasi umum, kemandirian untuk memasak makan siang, kecerdasan sosial dimana mereka mempunyai teman main, mematuhi aturan, aktif dalam kegiatan ekstra kurikuler sampai menjadi pribadi yang disiplin (duty fulfilling).
Hal ini saya pikir bisa tercapai karena saya dan mantan suami berusaha berkomunikasi dengan baik, terutama mengkomunikasikan tumbuh kembang anak. Kami pun membuka kesempatan kepada anak-anak untuk mengeksplorasi hal yang mereka minati walaupun kami harus merogoh kocek untuk itu.
Penulis: Novy, tinggal di Kutub.