
Sahabat Ruanita, ADHD (=Attention Deficit Hyperactivity Disorder) bukan hal yang tabu untuk dibicarakan. Aku baru tahu bahwa aku mengalami gangguan ADHD saat umurku sudah dewasa. Aku baru tahu saat aku sedang menempuh kuliah Bachelor di Jerman. Aku tinggal di Jerman selama hampir delapan tahun. Aku masih berusaha untuk menyelesaikan studi Bachelor dan mengambil pekerjaan sampingan untuk bisa bertahan hidup di Jerman.
Aku memutuskan untuk pergi ke Psikolog yang disediakan kampus, tempatku berkuliah di Jerman setelah aku bertemu dengan tiga orang teman berbeda bangsa yang juga mengalami ADHD. Semula aku menceritakan pengalaman konyol yang aku alami sehari-hari seperti aku sering sekali kehilangan barang. Aku sering kali kehilangan atau kelupaan barang penting. Aku juga melakukan kesalahan yang sama secara tidak sengaja meski aku sudah mengingatkan diri untuk tidak melakukannya hahaha.
Aku bahkan pernah berpikir, jangan pernah menyimpan sesuatu di kantong jaket! Entah mengapa, sesuatu itu pasti hilang atau tertinggal di mana. Aku sering sekali lupa meletakkan barang. Hal yang lebih parah, aku sulit sekali berkonsentrasi terhadap pelajaran yang sedang diajarkan dosen. Tiba-tiba aku bisa mengalami daydreaming haha.
Konsentrasiku mudah sekali terganggu. Misalnya, ada teman yang bercerita padaku kemudian di tengah pembicaraan kami berbicara muncul topik atau perhatian yang mengalihkan perhatianku maka perhatianku pun terganggu. Konsentrasiku mudah sekali ter-distract.
Di pagi hari saat aku bangun, aku bisa merasakan tubuhku mau bangun tetapi sebenarnya aku masih berada di tempat tidur haha. Hal yang membuatku kesal adalah aku suka sekali menunda pekerjaan. Aku sering berucap: Nanti. Setelah itu, aku lupa mengerjakannya.
Di balik itu semua, aku menilai bahwa aku orang yang bertanggung jawab dalam proyek-proyek yang aku gemari. Aku suka sekali mengedit video. Aku bisa menjadi hyper fokus karena aku bisa mengerjakan itu sampai benar-benar tuntas. Jadi, jangan pernah berpikir bahwa ADHD itu buruk ya!
Bermula dari obrolan dengan teman ini, aku putuskan untuk memeriksakan diri ke Psikolog. Temanku sendiri mengaku bahwa dia sudah didiagnosa mengalami ADHD sejak masih kecil. Saat mood temanku ini lagi turun atau disebutnya lagi inactive maka dia bisa minum minuman alkohol. Sementara aku, kalau aku mengalami inactive maka aku memilih tidur sepanjang hari haha. Menurut diagnosa, aku mengalami kombinasi, artinya aku bisa menjadi hyperactive dan inactive.
Aku masih ingat aku pergi menjumpai Psikolog di kampus saat pandemi masih berlangsung. Aku membuat appointment dengan Psikolog tersebut. Aku disarankan untuk menyelesaikan pengujian klinis. Lagi-lagi pandemi membuatku melakukannya melalui online. Aku ingat, aku harus menyelesaikan tes tertulis online. Tak lama kemudian, aku mendapatkan hasilnya yang dikirimkan via email. Lalu aku bertemu dengan Psikolog kampus untuk membicarakan hasil dan penanganan selanjutnya.
Aku berhasil menjalani pertemuan dengan Psikolog di Universitas sebanyak tiga kali. Hasil tes menunjukkan bahwa ADHD yang kualami masih tergolong easy. Kalau sudah tergolong mild, maka penanganannya akan lebih intens lagi. Psikolog menyarankan aku untuk latihan “Brain Treatment” selama 5-10 menit setiap hari. Untuk membantu konsentrasi tugas-tugas harianku, aku disarankan untuk membuat to do list.
Aku juga diminta untuk berlatih kepal tangan untuk menenangkan diri kalau aku mulai panik dan tak terarah. Namanya Autogenes Training yang membuatku lebih rileks. Psikolog juga memintaku membuat goals yang reachable sehingga membuatku lebih terstruktur dalam hidup. Boleh dibilang aku memiliki organizational skill yang rendah.
Sementara temanku yang mengalami ADHD yang tingkatnya lebih parah dariku, dia disarankan untuk mengkonsumsi obat-obatan untuk mengontrol gangguan. Menurutku, orang dengan ADHD kadang muncul perilaku impulsive seperti misalnya minum alkohol, merokok atau berbelanja. Sementara impulsive yang kualami sepertinya hanya tidur hahaha.
Aku menjalani pertemuan selama 45 menit hingga 1 jam dengan Psikolog Uni. Setelah tiga kali pertemuan, kebetulan aku memiliki tugas kampus yang tak terhitung banyaknya karena saat itu masih dalam situasi pandemi. Selain itu, Psikolog Uni juga sedang berlibur. Aku belum pernah mengecek atau membuat appointment dengan Psikolog atau Psikoterapi lainnya di luar kampus. Aku masih sibuk dan belum ada waktu meskipun aku bisa mendapatkan semua fasilitas layanan psikologis secara gratis, baik di kota tempat aku tinggal, universitas atau pun Studentenwerk. Hanya memang appointment untuk pertemuan dengan tenaga profesional di Jerman memerlukan waktu berbulan-bulan lamanya.
Aku berencana akan segera membuat appointment dengan Psikolog atau Psikoterapi setelah aku ada waktu. Aku sendiri masih menyelesaikan skripsi dan mengambil pekerjaan sampingan. Jika aku lulus nanti, aku masih ingin mencari pekerjaan atau bekerja magang di perusahaan di Jerman. Kalau aku tidak beruntung mendapatkan peluang di Jerman, aku akan pulang ke Indonesia.
Sejauh ini, aku belum bercerita pada orang tuaku tentang kondisi yang kualami. Aku hanya bercerita dengan teman-teman dekatku di sini yang tahu dan memahami kondisiku. Aku juga tak berani menceritakan kondisiku di tempat kerjaku, aku khawatir mereka tidak menerimaku bekerja.
Aku sudah mencari tahu bahwa orang-orang dengan ADHD pun banyak juga yang sukses di dunia. Aku tidak khawatir tentang masa depanku. Banyak juga orang-orang yang mengalami ADHD bisa berhasil menekuni bidang pekerjaan yang mereka geluti seperti marketing, bahkan ada orang dengan ADHD yang kukenal bisa menjadi Direktur perusahaan.
Penulis: Anonim, perempuan di Jerman.