(IG LIVE) Perlukah Resolusi Tahun Baru?

NORWEGIA – Sabtu (8/1) RUANITA lewat akun @ruanita.indonesia kembali menggelar diskusi virtual IG Live. Dipandu oleh Ferdyani Atikaputri, kali ini RUANITA mengundang Dewi @dewinielsenphotography (warga diaspora Indonesia di Denmark) dan psikolog Anita Kristiana @anitapastelblue dari @iris_harapan untuk membahas tema ‘Resolusi Tahun Baru: Apakah Perlu?’

Setiap awal tahun, istilah ‘resolusi tahun baru’ pasti bertebaran di mana-mana. Di awal diskusi, Dewi bercerita bahwa dulu ia sering membuat resolusi tahun baru namun seiring dengan berjalannya waktu, kini tidak pernah lagi karena sepertinya banyak dari resolusi tersebut yang tidak tercapai. Beberapa tahun belakangan, Dewi memutuskan untuk membuat ‘goals’ yang isinya lebih berupa harapan-harapan dari segi self improvement seperti ingin melatih intonasi lembut dalam berbahasa asing, mengasah skill fotografi dengan belajar di kelas online, atau lebih banyak membaca buku bahasa asing namun tidak menargetkan jumlah buku tertentu yang harus dihabiskan.

Sementara dalam hal pekerjaan, Dewi juga menuturkan bahwa sekarang ia memutuskan untuk ‘let it flow’, tidak ada target besar tertentu yang dibuat menjadi resolusi karena ada banyak tantangan yang harus dihadapi dan kerap kali berujung pada kekecewaan. Namun kekhawatiran akan berjalannya waktu juga membuat Dewi merasa ada tuntutan untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik untuk diri sendiri dan memberikan manfaat untuk keluarga dan komunitas.  

Menurut Anita Kristiana, sebenarnya yang membuat seeorang merasakan kekhawatiran adalah ekspektasi terhadap diri dan hidupnya, serta bagaimana ia menempatkan pikirannya di momen saat ini, di masa depan (terlalu khawatir aka napa yang belum terjadi) atau di masa lalu (memikirkan apa yang terjadi di masa lalu).

Lanjutnya lagi, there is no magic in January karena membuat resolusi itu sebenarnya adalah sesuatu yang baik, tetapi sebaiknya kita sendiri yang memilih kapan timing yang paling pas dan itu hanya kita yang tahu.  Anita memberikan contoh saat seseorang baru pindah tempat tinggal namun kemudian sudah membuat resolusi banyak selama enam bulan ke depan, apalagi kalau terpaku harus mulai 1 Januari, akhirnya resolusi ini terasa berat saat dijalankan karena tidak realistis. Ke depannya ketika resolusi tersebut berulang kali gagal, ini akan memengaruhi self-efficacy (perasaan mampu) dalam diri manusia yang berhubungan dengan kepercayaan diri dalam kemampuan mencapai tujuan tersebut. Akhirnya kita merasa percuma untuk membuat resolusi lagi, padahal mungkin yang perlu dibenahi adalah timing atau caranya saja agar masih dalam kendali kita sehingga resolusi tersebut lebih mudah dijalani. 

Lantas apakah lebih baik jika resolusi ini disebut sebagai goals atau ‘rencana’ saja, karena ketika semua orang menggunakan kata resolusi, maka membuat resolusi ini akan terasa mengintimidasi? Menurut Anita, boleh saja malah dianjurkan karena timing-nya ini sebenarnya punya kita, bukan punya orang lain atau standar yang ditentukan oleh orang banyak. Tambahnya lagi, untuk mencapai resolusi tersebut harusnya diterjemahkan menjadi perencanaan.

Anita kemudian menjelaskan bahwa banyak orang melihat kondisi tahun baru ini sebagai sebuah simbol untuk awal yang baru. Jadi tahun baru ini adalah momen yang dipercaya banyak orang untuk kembali ‘lahir’ menjadi diri yang baru sehingga banyak orang merayakannya dengan membuat resolusi tahun baru. Akhirnya wajar jika hype membuat resolusi ini lebih tinggi ketika tahun baru. Sementara menurut Anita, boleh saja jika ada yang menganggap momen ‘awal yang baru’ tersebut pada hari ulang tahun, anniversary, dan sebagainya. 

Dewi pun mengiyakan bahwa hari ulang tahunnya adalah momen untuk berefleksi tentang kondisi dirinya dan keluarga. Refleksi ini yang membuat Dewi memilah hal-hal apa saja yang di luar kendalinya dan membantunya untuk kembali memfokuskan diri ke hal-hal yang dapat ia lakukan atau kendalikan. Dewi pun mengakui bahwa rasa takut dan kekhawatiran itu tetap ada, tetapi refleksi ini mengingatkan dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik dengan melakukan yang terbaik. Dewi menekankan bahwa tetap lakukan yang terbaik yang kita bisa dan jangan menyerah. Dewi bercerita tentang perjuangannya untuk belajar bahasa Denmark dan sempat di titik terendah ingin menyerah, namun ia tetap belajar sambil menekuni hobinya di bidang fotografi. Sekarang Dewi sudah lulus les bahasa dan juga punya usaha fotografi.

Seringkali ketika seseorang sudah membuat resolusi dengan rapi dan terencana baik, namun ujung-ujungnya tidak terlaksana. Anita membagikan beberapa tips yang bisa dilakukan untuk agar konsisten untuk menjalankan target tersebut: 

  1. Personal purpose, atau punya tujuan atau ‘why’ yang sangat personal. Tujuan ini harus spesifik personal untuk diri sendiri; bukan untuk pasangan, atau orang lain, bukan juga hal-hal lain yang menurut orang lain kebanyakan itu penting. Tanyakan ke diri sendiri, pentingnya tujuan ini apa untuk diri kita sendiri, apakah cocok dengan kebutuhan dan timing pribadi kita di saat ini. 
  2. Terkait dengan purpose atau tujuan tersebut, pastikan tujuan kita dalam melakukan resolusi tersebut karena sesuatu yang positif ingin dicapai atau didapatkan (approach-oriented goals), bukan karena untuk menghindari hal lain (avoidance-oriented goals). Anita menjelaskan bahwa motivasi manusia lebih banyak didorong oleh imbalan (reward) dibandingkan hukuman (punishment). Manakala kita melakukan satu hal karena menghindari hal lainnya, ini akan terasa seperti menghukum diri sendiri. Bandingkan jika resolusi tersebut dijalankan dengan tujuan personal yang positif sehingga kita bisa merasakan enjoyment-nya; setiap kali melakukannya terasa seperti ‘menang’ atas diri sendiri dan ini akan menjadi perasaan positif yang menjadi bahan bakar untuk konsisten menjalankan resolusi.
  3. Punya clarity (kejelasan) saat membuat resolusi. Buat resolusi yang spesifik dan jelas.
  4. Realistis dalam membuat resolusi. Anita menjelaskan, mulailah dengan satu action yang kecil dulu, namun dilakukan berkali-kali selama satu bulan, lalu dua bulan, setelah terbiasa baru tambah intensitasnya. Yang harus dipehatikan adalah selalu ingat tujuannya harus personal dan positif, agar bisa dijalankan dengan enjoyable. 
  5. Pastikan goals atau resolusi yang kita buat tersebut berada dalam kendali kita. Jika goals atau resolusi tersebut dibuat bergantung pada orang lain atau situasi eksternal, lama-kelamaan situasi tersebut dapat mengikis harapan dalam mencapai goals tersebut. 
  6. Faktor lingkungan. Temukan teman atau komunitas yang dapat diajak bersama-sama menikmati menjalankan resolusi tersebut. Atur juga kondisi sekitar agar mendukung kita dalam menjalankan resolusi.

Jikalau sahabat RUANITA memiliki ide menarik untuk tema IG Live, silakan follow akun instagram @ruanita.indonesia dan hubungi kami via DM. Terima kasih dan sampai jumpa di diskusi selanjutnya!


(Ditulis oleh Retno Aini untuk RUANITA Indonesia)