
Sahabat Ruanita, aku mau cerita pengalaman yang kuhadapi pada anakku yang mengalami keterlambatan bicara. Aku adalah ibu dari seorang putra dan tinggal di Eropa untuk melanjutkan studi lanjutan. Aku merasa bahagia dengan kelahiran putraku, seolah menggenapi kepuasan hidupku. Saat R, sebut saja begitu untuk inisial putraku, berusia dua tahun ternyata dia belum juga bisa bicara. Misalnya, dia memanggilku „mama“ saja tidak setiap hari bahkan satu minggu pun belum tentu.
R tidak banyak ngomong dalam kesehariannya. Selain itu, aku perhatikan anakku ini, bahwa dia begitu sensitif terhadap suara misalnya. Pernah suatu kali, kami datang ke acara ulang tahun dan saat banyak orang tepuk tangan, R menangis. Selain suara yang sensitif untuk R, ternyata R juga memilih untuk makan makanan yang lembut saja. Semua tumbuh kembang R, aku perhatikan dengan baik apalagi aku punya latar belakang keilmuan psikologi.
Aku kemudian putuskan membawa R ke ahlinya di negeri tempat aku melanjutkan studi. Tenaga profesional yang memeriksa R mengatakan bahwa R mungkin mengalami gangguan autis. Aku tidak sepakat tentang hasil yang diberikan ini sementara suamiku tetap berpikir bahwa R bisa jadi autis. Aku menolak keras pendapat bahwa R mengalami autis. Bagaimana pun aku paham sekali gangguan autis itu, apalagi aku sempat praktik menangani anak-anak dengan autis.
Di negeri tempat aku studi di benua biru ini, anak-anak berkebutuhan khusus seperti autis akan mendapatkan penanganan dan perawatan khusus secara gratis asalkan orang tua menandatangani kesepakatan bahwa anak tersebut memang memerlukan penanganan profesional. Ya, aku setuju bahwa R memang perlu treatment khusus, tetapi bukan treatment untuk anak autis.
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk memeriksakan R saat aku berlibur di Indonesia. Aku bawa R ke klinik profesional yang khusus menangani anak berkebutuhan khusus dan perlu penanganan psikologis. Letak klinik tersebut ada di Jakarta dan aku kenal siapa pemilik klinik tersebut. Setelah diperiksa, R mengalami sensory processing disorder dan speech delay. Jika selama ini R begitu peka terhadap suara atau indera pengecapannya, itu berarti bahwa R mengalami gangguan yang disebut dengan sensory processing disorder.
Selain itu, klinik yang menjadi rujukanku untuk memeriksakan R juga mengatakan bahwa R hanya mengalami speech delay, bukan autis. Ya, aku menerimanya bahwa R memang kesulitan memformulasikan kalimat dan kata-kata di saat anak-anak seusianya mungkin sudah punya banyak kosakata. Akhirnya, R mendapatkan penanganan khusus selama kami tinggal di Jakarta. R mendapatkan terapi yang bisa dilakukan paralel untuk mengatasi sensory processing disorder dan speech delay.
Treatment untuk R dilakukan sebanyak dua kali seminggu. Sepertinya klinik ini memiliki teknik khusus seperti teknik bermain yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan anak. Mereka memiliki terapi bermain yang membantu anak seperti bermain foam (=bentuk) dari lilin sehingga R bisa merasakan dengan tangannya dan membuat sesuatu. Atau R suka lompat-lompat maka klinik akan menyediakan permainan sambil anak diberikan penanganan khusus.
Aku berpikir bahwa semua butuh proses yang memang dibutuhkan kesabaran dan pendampingan dariku sebagai ibunya. Saat kembali ke negeri yang jadi rumah keduaku, aku melanjutkan lagi dua terapi tersebut untuk R. Bedanya, aku membayar semua treatment untuk R selama di Jakarta sedangkan di negeri rumah keduaku tersebut, semua difasilitasi oleh negara dan tergantung juga seberapa besar plafon asuransi yang kita pilih.
Beruntungnya R mengalami kemajuan yang pesat, sehingga pekerja klinik asing tersebut memutuskan bahwa R tidak perlu lagi terapi untuk atasi sensory processing disorder, hanya R masih perlu untuk terapi atasi speech delay. Aku memang bolak-balik antara Indonesia dengan salah satu negeri di benua biru, yang jadi rumah keduaku. Aku pun tetap melanjutkan terapi yang dibutuhkan R demi tumbuh kembang putraku, R.
Kami sempat berlibur ke Bali sekaligus aku harus bekerja di sana. R ikut serta bersamaku. Sekembalinya dari liburan, aku membawa R untuk kembali melanjutkan terapi speech delay-nya di Jakarta. Staf klinik yang selama ini mendampingi R pun merasa takjub atas kemajuan pesat dari kosakata R, apalagi sekembalinya dari liburan di Bali.
Puji Tuhan, R memang kini bisa kembali bersekolah seperti umumnya anak-anak seusianya. Aku bersyukur bahwa R bisa bercerita padaku tiap hari seperti yang kuinginkan selama ini. R tidak lagi kesulitan dalam berkomunikasi. Aku hanya berpendapat bahwa seorang ibu pasti mengenali anaknya, termasuk bagaimana mereka tumbuh dan berkembang. Aku pikir sedini mungkin kita perlu melakukan penanganan agar anak-anak bisa tumbuh sehat seperti harapan semua ibu di dunia ini.
Penulis: Stephanie, seorang ibu.