(CERITA SAHABAT) Pengalaman Tanamkan Nilai-nilai Universal Beridentitas Biracial: “Tak ada standarisasi pola asuh antar keluarga!”

Saya pertama kali datang ke Jerman di tahun 2011 untuk program studi master di Osnabrück (kota di utara Jerman). Meskipun kuliah master di program internasional, tetapi saya harus 6 bulan kursus Bahasa Jerman di Köln (Cologne). Saat kuliah itulah saya bertemu dengan (calon) suami saya yang saat itu juga tengah menyelesaikan tugas akhir kuliahnya. Setelah kami lulus kuliah dan menikah, kami pindah dan memulai hidup baru di Pforzheim (kota di bagian selatan Jerman) karena suami mendapatkan pekerjaan di kota ini.

Suami saya berasal dari Lübeck, sebuah kota pelabuhan di utara Jerman yang jaraknya 800 km dari kota yang saat itu kami tinggali setelah kami menikah. Saat itu kami memutuskan tinggal di kota yang cukup jauh dari keluarga suami karena penghasilan suami cukup bagus di kota yang baru. Pforzheim masuk dalam negara bagian Baden-Württemberg yang terkenal sebagai ‘Goldstadt’ atau ‘kota emas’ karena terkenal akan industri pembuatan perhiasannya.

Anak-anak kami lahir di kota emas ini. Kini mereka berusia 6 dan 4 tahun. Melahirkan dan membesarkan anak-anak kami di Pforzheim cukup berat perjuangannya, karena jauh dari keluarga saya dan keluarga suami. Buat keluarga suami pun cukup berat karena anak-anak kami kebetulan adalah cucu-cucu dan keponakan-keponakan pertama dari pihak keluarga suami. Ketika Oma (ibu dari suami saya) dan paman-paman dari anak-anak kami ingin menjenguk mereka harus menempuh perjalanan yang cukup jauh. Akhirnya kami memutuskan untuk bisa kembali tinggal di kota kelahiran suami dengan resiko suami harus mencari pekerjaan baru yang penghasilannya tak sebesar di kota sebelumnya. 

Namun demi keluarga dan bisa tinggal dekat dengan sanak saudara, akhirnya kami pun pindah ke Lübeck dan menetap hingga sekarang. Seringkali kita mendengar bahwa interaksi dalam budaya barat itu individualistis. Kenyataannya, untuk sesama anggota keluarga tetaplah ada keintiman dan kedekatan yang berbeda. Kedekatan keluarga tetap memiliki peranan yang penting dalam kehidupan anak, seperti Oma ke cucu-cucunya. 

Selama tinggal di Jerman saya selalu berinteraksi dengan kelompok-kelompok lintas budaya. Setelah berumah tangga saya aktif di ‘familienzentrum’, lembaga-lembaga yang membantu pemberdayaan perempuan, para ibu, dan keluarga. Familienzentrum ini juga banyak diisi oleh para imigran pendatang. Selama aktif di familienzentrum bahkan sejak semasa kuliah di program internasional, saya berkesempatan bertemu dengan banyak orang yang berasal dari berbagai negara. Ditambah beberapa tahun terakhir Jerman banyak menerima pendatang imigran, baik itu yang mencari suaka, pasangan perantau, maupun yang menikah dengan orang Jerman. Jadi paparan terhadap budaya yang beragam ini mulai menjadi hal yang biasa dan memperkaya keseharian masyarakat. 

Pengenalan terhadap ragam budaya ini juga saya lakukan dengan anak-anak kami sendiri sedini mungkin. Sedari awal mereka bisa berbicara dan berkomunikasi, saya mengajarkan bahwa mereka adalah anak.anak yang memiliki budaya campuran orang Indonesia dan orang Jerman. Orangtua mereka berasal dari dua negara yang memiliki budaya yang tak sama. Pengenalan terhadap asal usul mereka saya lakukan lewat pengenalan geografi. Lewat buku, peta, dan tayangan dokumenter saya kenalkan anak-anak tentang alam dan budaya Indonesia. 

Sejauh ini dalam pergaulan anak-anak di sekolah, saya tidak menemukan perbedaan perlakuan antara anak-anak yang lahir dari pasangan Jerman maupun pasangan kawin campur. Anak-anak kami bahkan menyadari bahwa mereka memiliki tampilan fisik yang cukup unik. Mereka tahu mereka memiliki warna kulit yang terang seperti ayahnya namun dengan warna rambut dan mata yang berwarna gelap seperti ibunya. Dengan keunikan ini, sejauh ini belum pernah saya mendengar mereka merasa heran atau tak nyaman dengan perbedaan warna kulit atau rambut yang mereka miliki. 

Di sekolahnya pun ada teman-teman dari anak saya yang rambutnya keriting atau berkulit lebih gelap, dan mereka belum pernah bertanya ‘Mama, mengapa temanku rambutnya keriting?’. Jadi mereka belum pernah membedakan teman-temannya, meskipun secara fisik memang memiliki penampilan yang berbeda.

Salah satu tantangan mendidik anak-anak multi kulti (istilah Jerman untuk ragam budaya) adalah dalam mengenalkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Saat baru lahir dan sebelum anak pertama masuk TK, saya berusaha untuk berbicara Bahasa Indonesia dalam keseharian agar ia kenal bahasa Indonesia. Namun begitu anak saya masuk TK dan otomatis di TK sehari-hari berbahasa Jerman maka paparan berbahasa Jerman jadi lebih banyak dan lama-kelamaan malah saya yang jadi mengikuti mereka berbahasa Jerman. Jadi tantangannya lebih di saya sebagai ibu yang kesulitan untuk konsisten mengajarkan Bahasa Indonesia ke anak-anak. 

Kesulitan ini membuat saya lalu melahirkan subjektifitas bahwa kita tidak bisa melakukan standarisasi dalam pola pendidikan keluarga. Melakukan tolak ukur dan membanding-bandingkan kondisi satu keluarga dengan yang lainnya. karena tidak ada satu bentuk pola pendidikan tertentu terbaik yang bisa diterapkan untuk semua keluarga. 

Ada keluarga campuran yang anak-anaknya bisa lancar berbahasa ibu, tetapi ini berbeda dengan keluarga lainnya. Agak sulit juga untuk mempertahankan harus bisa berbahasa ibu, karena karakter anak-anak pun berbeda. Ketika orangtuanya membiasakan berbahasa ibu, ada anak-anak yang mudah mengikuti, tetapi ada pula yang merasa enggan apalagi saat di sekolah melihat teman-temannya lebih banyak berbahasa Jerman. 

Apalagi kami tinggal di kota kecil yang tidak banyak orang Indonesia tinggal di sini. Jadi dalam mengenalkan bahasa Indonesia, akhirnya senyamannya saja karena mau bagaimana lagi. Menurut saya, yang penting anak-anak tahu bahwa pada dasarnya mereka punya latar belakang budaya campuran, dibesarkan dalam dua latar belakang budaya yang berbeda dengan saya -ibunya- orang Indonesia.

Namun saya selalu angkat topi buat keluarga campuran yang anak-anaknya tetap bisa lancar berbahasa dari kedua pihak orangtua. Kalapun ternyata si anak lebih lancar satu bahasa saja, ya tidak apa-apa karena masing-masing keluarga punya kondisi yang berbeda dan karakter anak-anak pun berbeda.  

Belum lagi nanti saat si anak mempelajari bahasa lainnya di Eropa. Kalau nanti si anak memutuskan untuk mempelajari berbagai bahasa lainnya, itu akan menjadi keputusan mereka. Untuk anak-anak saya, yang terpenting adalah mereka tahu dulu bahwa mereka punya darah Indonesia yang mengalir dalam diri mereka.

Sedari awal, anak-anak saya juga sudah aware dengan penampilannya. Seperti saat dia bilang bahwa rambut saya gelap karena mama rambutnya gelap juga. Saya juga mengajarkannya ke anak-anak saat mengamati keseharian di sekeliling kami, seperti kucing yang memiliki warna bulu yang berbeda-beda. Menurut saya, keluarga campuran itu punya kosa kata yang lebih luas dan contoh yang lebih riil dalam keseharian mereka untuk mengajarkan perbedaan. 

Latar belakang budaya yang berbeda dari orang tua tentu berdampak pula pada pola pengasuhan. Termasuk saya sebagai orang Indonesia dan suami orang Jerman yang memiliki banyak kebiasaan yang berbeda. Jerman misalnya terkenal dengan budaya tepat waktu, disiplin, dan kebiasaan mengantri yang tinggi. Dalam hal ini saya justru belajar banyak dari suami dan membiarkannya untuk mendidik anak-anak soal kedisiplinan ini. Meski dibandingkan dengan budaya kita, pola asuh suami terlihat agak ‘keras’. Namun menurut saya, dalam mendidik anak itu, kedua orang tua harus kompak; tidak bisa di bapaknya yang galak sementara ibunya membela si anak kalau anaknya berbuat salah. Jadi saya harus satu komando dengan suami saya, agar jangan sampai kalau ada apa-apa anaknya malah condongnya ke ibu. 

Contoh paling sederhana saat waktu makan, anak-anak harus disiplin duduk makan bersama di meja makan dan makan sendiri sampai habis. Saya ikut pola asuh disiplin seperti itu dan menjalankannya bersama suami. Ada saat-saat di mana rasanya tak tega juga melihat pola didikan disiplin ini, tetapi saya tidak membela si anak atau memperlihatkan ketidaksetujuan saya di depan anak. Ini dimaksudkan agar si anak tidak kebingungan melihat bapaknya bilang ini tetapi ibunya bilang yang lain. Jadi memang orang tua harus terlihat kompak. 

Masih soal makan. Di sini anak-anak diajarkan untuk disiplin makan pakai pisau dan garpu. Tak hanya saat makan di restoran, di rumah pun makannya dengan pisau dan garpu. Namun saya juga bilang ke anak-anak, kalau di Indonesia itu makannya pakai tangan dan itu adalah hal yang biasa dijumpai di manapun di Indonesia. Karena saya sendiri juga suka makan pakai tangan, anak-anak pun jadi tahu kalau ada kultur lain bahwa makan di meja itu bisa tanpa pisau dan garpu. Jadi ketika mereka merasa ingin melakukan sesuatu yang di luar adat kebiasaan orang Jerman saat makan, mereka bilang, „aku kan orang Indonesia jadi boleh makan pakai tangan saja“.

Selain pengenalan keragaman budaya lewat makanan, saya juga mengenalkan anak-anak baju-baju Indonesia seperti batik. Saya sering memakai daster batik di rumah dan anak-anak suka melihat motifnya. Meski daster hanya baju rumahan tetapi menurut anak-anak itu baju yang bagus. Mereka bilang kalau baju Mama bagus banget. Menurut mereka daster batik itu seperti dress cantik saja.

Pengenalan sedari awal pada anak bahwa ada dua budaya yang berbeda dalam diri anak-anak ini akan membentuk rasa percaya diri mereka. Mereka sudah tahu dari awal bahwa mereka berasal dari dua latar belakang budaya yang berbeda. Ketika anak-anak ini sudah memiliki pengetahuan bahwa mereka memang punya latar belakang orangtua yang berbeda yang memperkaya kehidupan mereka, ketika ada ejekan atau bully, mereka bisa menantang balik ejekan tersebut. Seperti misalnya bila ada yang mengejek warna rambut mereka, mereka sudah tahu bahwa ‘oh rambutku berwarna gelap karena ibuku juga warna rambutnya gelap’. Dan ibu sangat cantik dengan warna rambutnya yang gelap. 

Perbedaan tampilan fisik toh tidak mengurangi dan mengecilkan nilai kebaikan seseorang. Meski budaya Indonesia dan Eropa itu berbeda, tetapi tetap ada nilai-nilai universal atau norma bersama yang kita terima, misalnya menghormati orangtua, berlaku jujur, dan tak menyakiti sesama. Di budaya manapun, kita akan menemukan nilai-nilai dasar tersebut, meskipun cara mengekspresikannya yang akan tampak berbeda-beda. Ajarkan kepada anak bahwa nilai-nilai universal ini ada dalam budaya manapun tanpa memandang perbedaan warna kulit.

Saya ingin menekankan bahwa dalam budaya manapun, tidak ada standar tertentu yang menunjukkan bahwa budaya yang satu lebih bagus daripada yang lainnya. Yang penting nyaman dijalani oleh keluarga dan bisa diterapkan dengan baik ke anak-anak. Kalau kita tidak nyaman menerapkannya dan anak-anak juga belum bisa menjalankannya, upayakan untuk menerimanya sebagai perbedaan dan tidak perlu dipaksakan.

Yang terpenting juga, dalam menjalankan pola pengasuhan dari dua budaya yang berbeda, orang tua harus kompak sebagai satu team work. Ayah dan ibu harus satu komando. Jangan bikin anak bingung!

*sebagaimana dituturkan oleh Syafa Haack, ibu dengan dua anak tinggal di Jerman, kepada Aini Hanafiah.