
NORWEGIA – Dalam rangka Hari Skizofrenia Seduia yang jatuh tiap 24 Mei, Sabtu (28/5) Ruanita kembali menggelar diskusi virtual IG Live dengan mengusung tema ‘Membangun Dukungan Sosial Bagi Orang dengan Skizofrenia’. Lewat akun @ruanita.indonesia, Atika sebagai pemandu diskusi dari tim Ruanita mengundang Yohanes Herdiyanto selaku akademisi & aktivis kesehatan mental untuk berbagi perspektif baru dalam membangun solidaritas bagi mereka yang hidup dengan skizofrenia.
Adapun skizofrenia adalah kondisi mental yang bermanifestasi pada masalah kognitif, perilaku dan emosi, serta ditandai dengan munculnya gejala yang bervariasi berupa delusi, halusinasi, dan bicara tidak teratur yang mengakibatkan gangguan kemampuan untuk berfungsi. Di awal diskusi, Yohanes Herdiyanto atau yang kerap disapa Kak Hendi menjelaskan bahwa kondisi skizofrenia ini muncul dalam range yang luas dan beragam, seperti ada orang yang mengalami gejala ringan saja karena mungkin sudah rutin minum obat, namun ada juga mereka yang mengalami gejala parah karena mungkin tidak pernah atau tidak rutin diobati. Yang harus diperhatikan adalah baik itu orang dengan skizofrenia maupun keluarganya harus ditolong, jangan sampai dikenakan stigma seperti kondisi skizofrenia disebabkan karena keturunan atau karena karma buruk dari masa lalu. Mengalami skizofrenia saja sudah berat, jangan lagi ditambah dengan stigma negatif.
Atika menuturkan beberapa persepsi keliru yang muncul di masyarakat awam tentang orang dengan skizofrenia (ODS), salah satunya adalah berkepribadian ganda. Persepsi keliru ini turut andil dalam melahirkan reaksi yang keliru dari kebanyakan orang dalam menghadapi ODS maupun keluarga yang mengurusnya. Menurut Kak Hendi, salah satu fenomena yang kerap ditemukan di Indonesia adalah gelandangan psikotik; biasanya mereka adalah ODS yang kabur dari keluarganya atau tidak lagi punya keluarga yang mengurusi, sehingga mereka hidup di jalanan dengan mengais-ngais makanan.
Secara garis besar jika kita hendak membantu, menurut Kak Hendi yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah mengamati apakah ODS tersebut membahayakan dirinya sendiri dan orang lain, seperti membawa benda tajam atau berperilaku agresif. Kalau mereka tidak membahayakan, bisa kita coba tolong dengan memberikan makanan dan minuman, atau membantu menghubungkan mereka ke lembaga-lembaga yang dapat membantu memberikan perawatan kepada mereka.
Fenomena lain yang lahir dari persepsi keliru adalah pemasungan ODS, baik itu dengan dirantai atau dikurung di kamar yang intinya untuk membatasi ruang gerak. Biasanya pasung ini banyak dilakukan oleh keluarga sendiri karena adanya kekhawatiran bahwa ODS tersebut bisa kabur dari rumah lalu berperilaku agresif seperti memecahkan jendela atau menyerang orang lain.
Bisa juga karena saat semua anggota keluarga harus bekerja maka tidak ada yang bisa mengawasi ODS tersebut sehingga kemudian dipasung. Pemasungan yang terlihat ekstrem ini menurut Kak Hendi biasanya bukanlah dilandasi atas kebencian, melainkan lebih karena kepedulian dan kekhawatiran keluarga akan kondisi ODS yang mereka urus. Yang disayangkan adalah kurangnya edukasi bahwa orang yang dipasung tersebut seharusnya diobati, karena jika tidak diobati, kondisinya akan selalu kumat terus dan tidak bisa lepas dari pasungan.
Terkait dengan informasi seputar pengobatan, Kak Hendi menjelaskan bahwa keluarga ODS dapat mencari informasi pengobatan dan perawatan ke rumah sakit. Jikalau masih terbentur stigma dalam upaya mencari bantuan medis, di beberapa kota besar di Indonesia sudah ada komunitas yang didirikan oleh keluarga ODS dan professional kesehatan jiwa yang saling mendukung dengan memberikan informasi perawatan dan pengobatan untuk ODS. Salah satu komunitasnya adalah Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) yang sudah ada di beberapa kota besar lainnya di Indonesia.
Untuk mengakses obat psikotik dan pelayanan kesehatan jiwa sudah bisa dilakukan di puskesmas level kecamatan, dan nantinya bisa juga dirujuk ke beberapa rumah sakit yang memiliki layanan psikiatri. Di tingkat desa pun ada kader kesehatan jiwa yang dibantu oleh perangkat desa maupun Babinsa (bintara Pembina desa) untuk membantu evakuasi ODS yang dipasung atau ODS yang mengamuk karena psikotik ke rumah sakit jiwa. Mengenai biaya pengobatan, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah punya sistem untuk perawatan kesehatan jiwa. Bagi ODS yang memiliki BPJS penerima subsidi pemerintah maupun membayar sendiri sudah bisa gratis mendapatkan obat.
Kak Hendi menekankan bahwa ODS harus rutin mengonsumsi obat untuk kondisi psikotiknya, jangan sampai terputus kecuali kalau ada rekomendasi dari dokter untuk mengganti jenis obat.
Bagi keluarga dan orang-orang terdekat ODS, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengawasi, mengingatkan dan menyemangati ODS agar rutin berobat. Kak Hendi menjelaskan tiga pilar pengobatan skizofrenia yang perlu dipahami:
- Treatment farmakologi. Ini adalah tahap utama dalam mengobati kondisi skizofrenia. Skizofrenia adalah kondisi ketidaknormalan dalam sistem saraf yang menyebabkan berlebihnya aktivitas hormon dopamine di otak dan menyebabkan gejala-gejala psikotik. Obat-obatan anti-psikotik membantu menekan aktivitas hormon dopamine dan mengontrol gejala psikotik.
- Upaya psikoterapi dari psikiater dan psikolog.
- Dukungan psikososial untuk melatih ODS kembali ke masyarakat seperti untuk bekerja, punya usaha sendiri, atau terlibat dalam kegiatan masyarakat dan kegiatan vokasional lainnya. Kak Hendi juga menekankan bahwa keluarga ODS tetap menjadi tonggak penting dalam membantu pemulihan ODS dan mengawasinya agar rutin mengonsumsi obat.
Jikalau sahabat RUANITA memiliki ide menarik untuk tema IG Live, silakan follow akun instagram @ruanita.indonesia dan hubungi kami via DM. Terima kasih dan sampai jumpa di diskusi selanjutnya!
(Ditulis oleh Aini Hanafiah untuk RUANITA Indonesia)