(DISKUSI VIRTUAL) Menikah atau Berpisah: Itu Tidak Mudah

Dalam rangka memperingati Hari Literasi Sedunia, RUANITA mengadakan diskusi dan bedah buku Cinta Tanpa Batas: Kisah Cinta Lintas Benua. Buku Cinta Tanpa Batas adalah sebuah antologi pengalaman hidup 25 perempuan Indonesia sebagai pasangan kawin campur yang tinggal di berbagai negara.

Acara diskusi dan bedah buku telah dilangsungkan via Zoom pada tanggal 10 September 2022 dengan mengangkat tema khusus ‘Menikah atau Berpisah, Itu Tidak Mudah’. Dengan moderator Novi @novikisav sebagai salah satu penulis buku antologi Cinta Tanpa Batas (domisili di Norwegia), RUANITA turut mengundang penulis lainnya yakni Arum I. Riddell-Carre (Indonesia), Leny A. Faqih (Turki), Alda Trisda (Belgia), dan Veronica Siregar (Australia). 

Salah satu tujuan ditulisnya antologi Cinta Tanpa Batas adalah untuk menyampaikan sudut pandang lain dalam realita kehidupan rumah tangga perkawinan campur dalam bentuk media literasi. Tak seindah rasa cinta yang muncul di awal perkenalan, perkawinan warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) kerap kali dimulai dengan kerumitan urusan dokumen hingga perbedaan budaya dari masing-masing pihak.

Perbedaan ini sering menjadi akar konflik yang dapat berujung pada perpisahan, atau justru memperkaya kehidupan perkawinan campuran. Banyak kisah perkawinan campur yang jarang terdengar di ranah publik dan jadi dianggap tabu, seperti pandangan keluarga besar, pengalaman menjadi orangtua dan membesarkan anak dalam dua budaya yang berbeda, hingga kisah perpisahan dan keberanian untuk kembali bangkit memulai hidup baru di tempat asing. Semuanya ditulis apik berdasarkan kisah nyata yang dialami masing-masing penulis. 

follow akun: ruanita.indonesia

Salah satu kisah yang dibagikan dalam buku Cinta Tanpa Batas adalah kisah dari Arum Riddell-Carre. Bicara dari pengalamannya, Arum menekankan bahwa cinta saja tidaklah cukup untuk menjalani pernikahan dan membangun keluarga. Salah satu buku favorit Arum adalah The Zahir yang ditulis oleh Paulo Coelho.

Dalam buku tersebut, disebutkan bahwa ‘You have to love yourself first’. Ini yang menjadi pengingat Arum dalam menjalani pernikahan keduanya. Lanjutnya lagi, selain mengenal pasangan, mengenal keluarga calon pasangan juga sama pentingnya. Terlepas dari perbedaan budaya, menurutnya kita harus melihat langsung apakah life virtues pasangan sejalan atau tidak dengan kita.

Tidak cukup hanya dengan sowan saja, namun lihatlah bagaimana interaksi pasangan dengan orangtua mereka dan how they respect each other. Mengenali pasangan serta melihat bagaimana interaksi pasangan dengan keluarga mereka justru lebih menentukan kecocokan selanjutnya saat menjalani pernikahan dan berkeluarga. 

Leny A. Faqih yang menikah dengan warga negara Turki membagikan kisahnya berwirausaha sebagai WNI di Turki. Sebelum menikah dan pindah ke Turki, Leny bekerja sebagai kontraktor dengan latar belakang ilmu teknik sipil. Namun begitu pindah ke Turki, semua berubah karena harus beradaptasi mempelajari sistem baru dan sendirian di rumah.

Saat itu ia kaget karena tidak boleh bepergian tanpa ditemani suami. Sementara di Indonesia, dia biasa bepergian dengan menyetir sendiri. Leny juga menjelaskan bahwa stereotipe perempuan harus manut masih lekat dalam masyarakat patriarki di Turki. Namun hal tersebut tidak sejalan dengan Leny yang yakin bahwa perempuan mampu berdaya dan berkarya. Dengan meyakini stereotipe tersebut tidak sejalan dengan nilai yang dianutnya, Leny dapat memberikan kontribusi dan berusaha mendobrak kultur tersebut sebagai perempuan migran.

Setelah dua tahun, Leny memutuskan mulai bergabung dengan komunitas Indonesia lalu berwirausaha dengan membuka usaha ekspor-impor. Kini ia mengelola Toko Organic Indonesia yang berlokasi di Istanbul. Ini juga tidak lepas dari dukungan sesama warga Indonesia maupun warga Turki yang mendukung usahanya. Leny mulai berwirausaha dengan bermitra bersama warga Turki, yang mana banyak membantu dalam urusan bahasa hukum dan bisnis resmi yang berbeda dengan bahasa Turki sehari-hari, selain perbedaan cara bisnis. Rasisme terselubung dalam urusan bisnis dan beacukai pun sudah ia lewati.

Akhirnya Leny memberanikan diri untuk mengambil alih perusahaan dan berjalan melawan arus. Meskipun itu semua dimulai dengan culture shock yang besar, namun usahanya masih berjalan terus sampai sekarang.

Alda Trisda yang berdomisili di Belgia menggambarkan perkawinan campur ini sebagai ‘a lonely business’, atau kisah yang kalau tidak menjalani langsung sendiri, maka tidak akan benar-benar paham. Bahkan seringnya pernikahan campur tak seutuhnya bisa dipahami oleh keluarga dari masing-masing pihak.

Begitu pula dengan pemerintah yang kurang paham akan apa yang dibutuhkan oleh pelaku kawin campur dan berakibat kurang bisa memprediksi kebutuhan pasangan kawin campur. Inilah yang membuat buku Cinta Tanpa Batas ini unik, karena berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya dialami oleh pasangan kawin campur, sebagai sesuatu yang orang-orang kebanyakan tidak mengalami dan hanya dipahami oleh sesama pelaku kawin campur.

Sebagai pegiat literasi, Alda menuturkan bahwa sejak jaman penjajahan sudah ada literasi tentang kawin campur dengan posisi perempuan Indonesia yang dijadikan gundik oleh kaum penjajah lalu memiliki anak.

Namun memang, untuk konteks kondisi masa kini, informasi literasi mengenai pasangan kawin campur masih belum banyak. Tidak banyak yang menulis kisah kawin campur dari sudut pandang perempuan Indonesia selalu pelaku kawin campur di kondisi masa kini. 

Menurut Veronica Siregar, tak bisa dipungkiri bahwa mengenal calon pasangan itu butuh banyak waktu. Apalagi untuk pasangan kawin campur. Satu hal yang ditekankan Veronica adalah perbedaan keyakinan di mana agama bukanlah prioritas.

Kenyataannya bagi banyak warga negara asing, bersedia menikah secara agama bukan berarti otomatis bersedia menjadikan praktik agamanya sebagai prioritas dan mengikatkan diri secara iman. Ini adalah konteks yang harus dipahami terlebih dahulu bagi pasangan yang berasal dari dua budaya yang berbeda.

Satu hal lagi yang digarisbawahi oleh Veronica adalah pernikahan harus dilihat sebagai proses mengikatkan diri secara hukum dengan seseorang, sehingga selalu ada implikasi hukumnya. Implikasi hukum inilah yang tidak pernah disadari oleh pelaku kawin campur, karena biasanya urusan hukum ini sudah terdengar ribet dan kalah duluan dengan urusan cinta.

Padahal justru implikasi hukum inilah yang paling penting untuk dipahami, karena implikasi hukum besar pengaruhnya dalam hal status izin tinggal, akses kesejahteraan dan layanan kesehatan di negara domisili, akses bekerja, serta status legalitas anak.

Jika membicarakan implikasi hukum, menurut Veronica penting juga untuk membuat perjanjian pranikah dengan tujuan untuk melihat konsekuensi yang akan dihadapi sebagai WNI jika menikah dengan WNA. Semua urusan hukum ini penting untuk dipahami terlebih dahulu oleh kedua pihak pasangan.

Selain itu, penting juga untuk mencari tahu informasi tentang akses bekerja, pengaturan keuangan, serta kemerdekaan finansial masing-masing pihak. Membangun support system juga sama pentingnya, karena jika terjadi masalah hukum, masalah kesehatan, atau jika terjadi KDRT harus menghubungi siapa atau pihak mana di negara domisili.

Lebih lengkapnya, diskusi bedah buku Cinta Tanpa Batas dapat disaksikan di video berikut:

Penulis: Aini Hanafiah, tinggal di Norwegia (IG: aini_hanafiah)