(CERITA SAHABAT) Fobia Sosial Bukan Hanya Sifat Pemalu

Saya Ajeng, tinggal di Hamburg. Mungkin sahabat Ruanita sudah mengenal saya dari cerita “OCD bukan sekedar bolak-balik cuci tangan dan cek pintu“ yang saya tulis beberapa waktu lalu. Di tulisan tersebut saya menyebutkan, sebelum mendapatkan diagnosa OCD (Obsessive Compulsive Disorder) saya juga didiagnosis gangguan kecemasan sosial (social anxiety disorder) atau bisa juga disebut dengan fobia sosial. Cukup mengejutkan untuk saya karena saya punya banyak teman, namun di sisi lain, saya juga merasa lega. Ah, jadi selama ini saya menghindari kontak sosial karena alasan fobia sosial. Tapi apa itu fobia sosial? Apakah pemalu berarti fobia sosial?

Sesuai dengan namanya, orang-orang dengan gangguan kecemasan sosial akan merasa cemas/khawatir/takut berlebihan untuk bertemu dengan orang lain, terutama orang asing. Sebenarnya ini hal yang biasa, ya, semua orang pernah mengalaminya saat bertemu orang yang tidak dikenal atau berada di lingkungan baru. Bedanya, ketakutan yang dimiliki orang dengan fobia sosial ini bisa mengganggu kegiatan sehari-hari, misalkan tidak bisa naik kendaraan umum atau pergi berbelanja ke supermarket, yang bagi banyak orang merupakan pekerjaan yang sangat mudah. 

Orang dengan fobia sosial juga mungkin menghindari acara atau tempat tertentu. Saya hampir tidak pernah datang ke pesta ulang tahun orang lain, kalau tidak ada teman-teman dekat saya. Saya sempat tinggal di asrama mahasiswa di Hamburg selama lima tahun. Sering kali saya tidak jadi masak kalau ada teman asrama di dapur. Saya juga tidak pernah duduk di ruang tamu untuk mengobrol dengan teman-teman satu lantai, apa lagi ikut acara asrama dengan puluhan orang lainnya. Pada enam bulan pertama tinggal di sana saya pernah satu kali ikut acara movie night dan sarapan di minggu pagi, itu pun saya merasa salah tingkah dan cepat-cepat kembali ke kamar. Setelah itu saya tidak pernah lagi ikut acara apa pun. Bisa dibilang fobia sosial mempengaruhi kehidupan sosial saya di asrama.

Selain mempengaruhi kehidupan sehari-hari, fobia sosial bisa juga mengganggu karier, misalkan terus menunda mengirimkan lamaran pekerjaan karena takut membuat kesalahan saat menulis atau wawancara kerja. Orang lain mungkin akan bilang, tidak apa membuat kesalahan karena bagian dari belajar, tapi bagi orang tersebut tidak begitu dan lebih rumit. Atau di kantor yang sekarang tidak berkembang karena tidak berani mengambil kesempatan untuk naik jenjang.

Fobia sosial juga bisa mengganggu sekolah atau kuliah, contohnya menghindari mata kuliah tertentu atau presentasi. Ini pengalaman saya. Dulu waktu kuliah di Indonesia saya menghindar bertanya saat kuliah berlangsung. Saya lebih suka datang langsung ke dosennya saat kuliah selesai. Selama kuliah di Jerman lebih parah lagi, saya menghindari presentasi proyek. Untungnya saya sudah hafal siapa profesor yang mewajibkan presentasi dan siapa yang tidak. Sayangnya memang ada presentasi yang tidak bisa dihindari, salah satunya adalah Kolloquium (presentasi proposal tesis). Walau gugup, saya rasa presentasi saya waktu itu berjalan mulus, sampai salah satu rekan kuliah mengkritik bahasa Jerman saya. Kejam sekali engga, sih? Rasanya saat itu muka saya panas dan berubah merah. 

Apa yang saya alami di atas adalah permasalahan klasik yang dialami oleh orang-orang dengan fobia sosial, walau sebenarnya cemas sebelum presentasi, wawancara kerja atau pun hal kecil seperti menelepon orang atau pergi ke pesta yang isinya orang asing adalah suatu hal yang wajar. Tidak wajar adalah jika kekhawatiran tersebut berlebihan sampai mengganggu kehidupan pribadi kita  dan sudah berlangsung selama lebih dari enam bulan.

Saya beruntung sekali bisa ikut beragam kegiatan di psikiatri yang membantu saya mengatasi fobia sosial saya dan membantu mengurangi kecemasan saya secara umum. Saya ikut kelas penanggulangan kecemasan, di mana kami dijelaskan definisi kecemasan, lingkaran setan kecemasan, dan teknik relaksasi yang bisa dilakukan untuk menguranginya. Di luar kelas kami juga harus berlatih untuk mengatasi ketakutan kami. Kelas tersebut tidak dikhususkan untuk fobia sosial tapi untuk semua gangguan kecemasan, seperti gangguan kecemasan umum dan hipokondriasis (khawatir berlebih mempunyai penyakit serius).

Dari kelas tersebut saya juga tahu kalau ketakutan itu beragam macamnya. Ada pasien yang takut naik sepeda,  ke supermarket, berpisah dengan pacar, naik lift, menyetir mobil, dan sebagainya. Kami dijelaskan bahwa kecemasan biasanya akan berakhir dengan sendirinya setelah 20 menit. Nah, kalau kita sering berlatih menghadapi situasi yang kita takuti, lama-lama kita akan terbiasa. Otak kita akan punya pengalaman baru yang tidak menyeramkan seperti pengalaman sebelumnya. Mungkin alasan saya takut bertanya di kelas adalah karena guru SD saya dulu pernah menyebut salah satu siswa ‘bodoh‘ hanya karena dia tidak bisa menjawab pertanyaan beliau. Pengalaman buruk ini bisa digantikan dengan pengalaman baru, jika saya mencoba untuk bertanya di tengah-tengah jam pelajaran dan tidak terjadi apa-apa. Pengalaman baru ini yang akan membuat otak kita kembali percaya diri dan akhirnya tidak perlu cemas lagi saat dihadapi dengan situasi yang sama.

Kecemasan bisa datang dengan beragam reaksi tubuh, loh. Kita akan merasakan jantung berdebar, muka panas, keringat deras, tangan atau tubuh bergemetar, pusing, dan sebagainya saat merasa takut. Reaksi tubuh ini sangat normal karena memang tubuh kita sedang mempersiapkan diri untuk kabur atau bertarung (flight or fight). Karena itu ketakutan adalah hal yang normal dan tugas sebenarnya adalah memperingati orang akan bahaya. Sayangnya otak kita sering salah kasih peringatan hanya karena pengalaman buruk yang pernah kita alami sebelumnya. Dulu waktu masih kuliah saya sering merasa mual sebelum salah satu mata kuliah dimulai, baru sekarang ini saya mengerti kalau itu reaksi normal tubuh saya jika saya merasa takut. Karena sudah mengerti, saya sekarang tidak kaget kalau saya merasa mual sebelum keluar rumah. Saya tidak sakit, hanya merasa gugup.

Orang-orang dengan gangguan kecemasan sayangnya lebih sering memilih untuk melarikan diri. Memang dengan begitu tingkat kecemasan akan turut drastis, sayangnya ini hanya akan bersifat sementara. Saat kembali dihadapi dengan situasi yang sama, tingkat kecemasan akan kembali naik dan langsung turun lagi setelah melarikan diri. Begitu seterusnya seperti lingkaran setan. Untuk keluar dari lingkaran setan ini, kami diajarkan untuk tetap berada di situasi yang membuat kami takut dan “bertarung“. Melarikan diri atau menghindari situasi tersebut adalah hal tabu.

Bersama dengan terapis saya berdiskusi tentang pertarungan yang harus saya hadapi sebagai latihan. Setiap hari saya harus bertanya tentang waktu ke orang yang tidak saya kenal. Latihan ini sangat menantang menurut saya. Saat ini semua orang punya telepon genggam dan saya biasanya mengenakan jam tangan. Mereka bisa bilang saya aneh! Saya perlu waktu beberapa minggu untuk memulai latihan ini. Setiap selesai latihan saya harus menuliskan pengamatan pribadi tentang reaksi tubuh, pikiran-pikiran, perasaan, juga reaksi lawan bicara saya. 

Awal-awal latihan saya boleh memilih orang yang menurut saya “mudah“, lalu naik tingkat ke yang lebih sulit. Saya memulai dari perempuan, lalu laki-laki, dan setelah itu ke petugas keamanan yang berbadan besar. Mereka semua ramah. Memang ada satu-dua orang yang memakai earphone sehingga awalnya tidak mendengar saya, tapi kemudian melepaskannya dan membantu saya. Ini ada di catatan saya sebagai bentuk pengalaman baru. Saya sering merasa diabaikan (bahkan oleh orang terdekat), tapi ternyata kenyataannya adalah mereka tidak sengaja mengabaikan saya karena memang tidak mendengar dan melihat saya. Oh iya, sama seperti saat latihan untuk mengatasi OCD, setelah latihan saya juga boleh menikmati reward saya. 

Tidak hanya latihan bertanya tentang waktu, latihan saya juga meliputi memuji orang asing, bertanya tentang arah, saat di supermarket keluar dari antrean sebentar untuk mengambil barang yang “tertinggal“, membayar dengar uang receh, atau sekedar menyapa orang yang saya kenal jika tidak sengaja bertemu di tempat umum. Hal yang ini susah sekali loh untuk saya lakukan, biasanya saya kabur.

Ngomong-ngomong tentang strategi menghindar, ada dua strategi lain yang juga menjadi tema tabu bagi orang dengan gangguan kecemasan, yaitu Sicherheitsverhalten (safety behaviour) dan Rückversicherung (reinsurance). Safety behaviour adalah barang-barang yang kita bawa untuk mendistraksi kita dari ketakutan, misalkan jimat, headphone untuk mendengarkan musik, telepon genggam, atau mengonsumsi obat penenang dan alkohol (contohnya Raj dalam The Big Bang Theory yang tidak bisa berbicara dengan perempuan tanpa alkohol). 

Safety behaviour saya adalah kertas catatan yang saya pegangang selama presentasi. Walau mungkin akhirnya saya tidak menyontek ke catatan tersebut, tapi saya bisa tenang jika membawanya. Nah ini tabu banget, karena saya sebenarnya harus bisa mengatasi ketakutan itu sendiri tanpa membawa barang apa pun. Atau saat pergi ke sebuah pesta saya akan mengajak teman saya agar ada yang selalu saya tempeli selama pesta berlangsung. 

Sedangkan reinsurance adalah bertanya berulang kali ke orang lain (contohnya guru, atasan, orang tua, dokter) untuk mendengar bahwa situasi tersebut tidak berbahaya. Saya akan berkali-kali datang ke profesor atau bertanya ke teman-teman saya tentang tema yang akan saya presentasikan. Saya harus mendengar konfirmasi dari mereka, bahwa yang saya kerjakan sudah benar. Kalau tidak begitu saya akan merasa khawatir sekali apa yang saya kerjakan salah dan saya akan mempermalukan diri sendiri saat presentasi. Kalau ada teman atau keluarga kita sedang merasa stres atau cemas dan berkali-kali bertanya hal yang sama, sebenarnya mereka tanpa sadar sedang melakukan reinsurance. Niat kita membantu menenangkan mereka dengan terus-menerus memberikan jawaban yang mereka inginkan, tapi sebenarnya kita hanya membuat mereka lebih cemas lagi. 

Saya juga sebenarnya sering curi-curi melakukan safety behaviour dan reinsurance ke orang terdekat. Saya sering minta antar suami saya untuk pergi ke tempat baru, misalkan ke laundry room di gedung kami. Karena tahu ketakutan saya, dia akhirnya pergi dengan saya, padahal sebenarnya dengan begitu saya tidak belajar untuk pergi ke tempat baru sendirian dan mengatasi ketakutan saya.

Kelas penanggulangan kecemasan di psikitari selalu dibuka dan ditutup dengan empat pertanyaan: apa yang tubuh rasakan, apa yang sedang kami pikirkan, bagaimana perasaan kami, dan tingkat stres kami. Hal ini dilakukan agar kami terbiasa mengenali diri sendiri, karena mengetahui reaksi tubuh, pikiran, dan perasaan-perasaan sangat penting untuk bisa keluar dari lingkaran setan kecemasan. Dengan mendeteksi tiga hal tersebut kita juga bisa mendeteksi dini stres kita, lalu berusaha untuk meredakannya, misalnya dengan teknik relaksasi, berdoa, olah raga atau tidur. Jika kita lakukan ini, maka stres kita akan menurun sebelum menjadi berlebihan. Berikut ini contoh-contoh pikiran-pikiran yang muncul saat kita merasa ketakutan, kira-kira kalian pernah mengalaminya juga, kah?

  • “Rasa saya akan mati“
  • “Malu sekali. Saya mau menghilang ditelan bumi“
  • “Jangan bikin kesalahan“

Tahukah kalian, bahwa orang dengan fobia sosial takut sekali membuat kesalahan dengan alasan malu dengan orang lain? Mereka juga sering kali merasa dilihati orang lain, merasa cara jalan atau berdirinya salah, berbicara dengan aksen yang lucu, ada yang menempel di mukanya, memiliki bau mulut atau tubuh, dan lainnya. Saya ingat waktu SD saya ikut tante saya ke rumah temannya. Dia menghidangkan sirup merah dingin yang sangat menggiurkan tapi tidak saya sentuh sama sekali. Mulanya saya malu untuk minum, lama-lama saya malu karena awalnya menolak untuk minum, “Malu dong kalau saya minum sekarang. Nanti mereka akan menggoda saya dengan bilang, ‚sekarang mau minum kok tadi enggak?‘ Ah tidak, lebih baik tidak minum sama sekali.“ Itu pikiran saya saat itu. Kejadian memalukan ini tidak pernah saya ceritakan ke siapa pun sampai saya didiagnosis fobia sosial.

Kejadian tersebut bisa menjadi gejala fobia sosial saya, bukan hanya sifat pemalu. Mereka memang mirip tapi berbeda. Pemalu adalah sifat dan sangat normal untuk timbul saat bertemu dengan orang baru, namun akan hilang jika sering bertemu dengan orang tersebut. Sedangkan orang dengan sosial fobia akan menghindari kontak sosial dan merasa takut untuk melakukan kesalahan yang bisa memalukan dirinya. Karena takut untuk membuat kesalahan ini, orang-orang dengan fobia sosial biasanya sudah sibuk membuat skenario sebelum datang ke suatu tempat. Fobia sosial juga timbul sejak dini, bisa jadi dari sebelum masuk masa puber. Selain itu seperti yang sudah saya tulis di awal, fobia sosial juga mempengaruhi kehidupan sehari-hari penderitanya. 

Karena orang dengan fobia sosial biasanya kurang memiliki kompetensi sosial, saya dimasukkan ke dalam kelompok latihan kompetensi sosial. Kami diminta untuk membuat ulang situasi-situasi yang menurut kami sulit. Saya kesulitan untuk presentasi, karena itu latihan saya adalah presentasi. Trainer akan memvideokan saya yang sedang presentasi, lalu setelahnya peserta lain akan memberikan umpan balik tentang bahasa tubuh, isi presentasi, dan mimik juga gestur. Video tersebut akan kami tonton bersama di pertemuan berikutnya agar kami bisa lihat sendiri bagaimana performa kami. 

Kali pertama saya presentasi, saya merasa stres saya di tingkat 7 dari 10, tapi trainer dan peserta lain berpendapat lain: saya terlihat gugup tapi masih normal. Ternyata benar, di video kegugupan saya tidak terlihat berlebihan. Selain presentasi, saya juga sempat berlatih dengan di situasi pesta ulang tahun dan mengajak mengobrol orang baru. Latihan awal dengan lawan yang ramah, latihan berikutnya dengan tingkat yang lebih sulit, yaitu orang yang lebih banyak ngomong daripada saya. 

Trainer kami memberikan banyak tips praktis yang bisa kami aplikasikan. Saya belajar banyak di sana dan punya pengalaman baru tentang situasi-situasi tersebut. Oh iya, latihan-latihan ini benar berfungsi untuk saya di kehidupan nyata, lho. Beberapa bulan setelah keluar psikitari, ada orang asing (sepertinya sedang mabuk) memukul kepala saya saat saya sedang di pusat kota dengan teman. Beberapa tahun lalu kejadian yang sama terjadi dan saya hanya diam saja, tapi kali ini saya berteriak sangat kencang ke orang tersebut! Rasanya bangga sekali ke diri sendiri, bahkan pandangan orang-orang di sekitar saya tidak bikin saya gugup, namun lebih berani – kalau terjadi apa-apa dengan saya, mereka pasti akan membantu saya.

Sebenarnya saya masih mau bercerita tentang teknik relaksasi yang saya pelajari di psikiatri, tapi cerita saya sudah panjang sekali. Saya akan menuliskannya di blog pribadi saya, silakan mampir untuk membaca cerita-cerita saya lainnya, ya.

Kalau kalian melihat kesamaan dari cerita saya dan pengalaman kalian, tolong jangan diagnosis diri sendiri, ya. Pastikan untuk konsultasi ke psikolog atau dokter. Jangan takut juga jika kalian mendapatkan diagnosis ini. Sama seperti OCD, ada banyak terapi efektif untuk mengatasi gangguan kecemasan sosial dan kalian tidak sendirian.

Salam dari Hamburg,

Penulis: Ajeng, penulis blog mariskaajeng.com

(RUMPITA) Warna-warni Musim Gugur di Bulan Oktober

Pada episode berikut dari RUMPITA – Rumpi bareng RUANITA – yang dibawakan oleh Nadia dan Fadni mengambil tema tentang bulan Oktober yang menjadi favorit mereka berdua.

Pasalnya keduanya merayakan hari ulang tahun di bulan ini. Mereka pun berdua menceritakan bagaimana awal mulanya mereka saling mengenal hingga mengetahui tanggal ulang tahun masing-masing.

Mungkinkah cerita pertemuan mereka yang tak sengaja di Jerman seperti kisah kalian yang juga tanpa sengaja sebenarnya sudah dekat, hanya saja tidak menyadarinya.

Bulan Oktober tidak hanya persoalan perayaan ulang tahun mereka saja, tetapi mereka juga menceritakan pengalaman mereka di musim gugur.

Musim gugur memiliki suka duka tersendiri bagi Nadia dan Fadni yang sudah lama tinggal di Jerman lebih dari 5 tahun.

Seperti Fadni, dia menceritakan bagaimana dia beradaptasi dengan suasana musim gugur yang kadang membuat musim angin dan cuaca yang tak menentu.

Suasana yang melow ini tentu membuat keduanya mengalami perubahan suasana hati.

Simak juga pengalaman Nadia dan Fadni yang berbagi tips makanan dan minuman yang biasa mereka nikmati di musim gugur.

Bagaimana kiat mereka berdua dalam menjalani hari-hari di musim gugur sebagai mahasiswa pascasarjana di Jerman? Atau bagaimana mereka mengatasi rasa rindu Indonesia saat berada di Jerman di musim gugur ini?

(CERITA SAHABAT) Berawal dari Sampul Buku Tulis

Ketika hendak memulai menulis artikel ini, saya mencoba mengingat-ingat kapan minat untuk membaca buku dalam diri ini pertama kali muncul. Ingatan yang kemudian membawa saya kembali ke masa kanak-kanak. Saya tidak ingat kapan pastinya saya mulai mempunyai ketertarikan terhadap buku. 

Majalah Bobo adalah buku pertama dan majalah langganan pertama saya, seperti umumnya generasi yang lahir di awal tahun 1970an. Saya belum bisa membaca pada saat itu. Gambar-gambar yang bercerita tentang kehidupan sehari-hari sebuah keluarga kelinci yang jenaka, petualangan Nirmala dan Oki, dan cerita ketidakberuntungan Paman Kikuk adalah karakter-karakter yang masih saya ingat selalu hadir di setiap edisi majalah Bobo.  

Cerita-cerita yang dikemas secara komikal ini tentunya secara visual menarik bagi saya. Tetapi, karakter yang paling berkesan untuk saya sebagai anak-anak adalah karakter si Tongki Bebek yang ada di suplemen anak-anak dalam majalah Femina. Ketika saya mulai bisa membaca, saya selalu tidak sabar menunggu kiriman majalah Femina dari tante sebelah rumah. Ibu saya dan tante sebelah rumah saling bertukar majalah. Ibu saya berlangganan majalah Kartini, sedangkan tante sebelah rumah berlangganan majalah Femina. 

Ketika saya memasuki sekolah dasar, saya tidak mau buku-buku tulis saya disampul kertas coklat. Saya meminta ibu saya untuk menyampul buku-buku tulis dengan halaman majalah Bobo yang dicabut mulai dari halaman tengahnya. Ternyata ukuran dua sisi halaman majalah pas sekali dengan ukuran buku tulis. Sampul buku tulis menjadi hiburan bagi saya ketika bosan di kelas. Sampul buku tulis juga yang membuat saya bisa belajar membaca dengan cara yang menyenangkan. 

Seingat saya sejak sekolah menengah pertama sampul buku tulis saya beralih ke majalah Donal Bebek. Kebiasaan menyampul buku tulis dengan majalah Donal Bebek ini berlanjut sampai saya tamat sekolah menengah atas.  Sepertinya minat membaca saya ini berawal dari sampul buku tulis.

Pada masa di sekolah dasar bahan-bahan bacaan saya mulai bervariasi dan didominasi oleh ensiklopedia sains dan buku-buku biografi para tokoh terkemuka dunia dan  penemu di bidang sains. Saya juga ingat mempunyai satu set komik petualangan Tintin yang jumlahnya 24 buku, kalau tidak salah. Juga beberapa buku petualangan yang sangat populer pada masa itu seperti Lima Sekawan, Sapta Siaga, dan Pipit si Kaus Kaki Panjang. 

Kami memang punya banyak buku di rumah. Walaupun demikian saya belum bisa menikmati dan memahami secara utuh buku-buku yang saya baca, terutama buku-buku sains dan ternyata saya tidak menyukai sains. Rasa senang selalu hadir jika saya bisa ikut terlibat dengan teman-teman dalam keseruan bercerita tentang petualangan Lima Sekawan, misalnya.

Kemampuan literasi saya mulai berkembang ketika saya duduk di bangku sekolah menengah pertama. Di masa inilah saya mengetahui bahwa saya menyukai sejarah dan cerita-cerita di masa lalu. 

Membaca sejarah mengenai kerja paksa membangun jalan raya pos antara Anyer dan Panarukan di masa kolonial Belanda membuat rasa ingin tahu saya meningkat ketika kami sekeluarga berlibur ke Jawa Tengah dengan mobil menyusuri pantai utara Jawa. Saya banyak bertanya kepada Ayah yang mungkin juga bingung menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang tidak saya temukan jawabannya dalam buku-buku. Begitu juga ketika mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan.  Akhirnya, saya bisa melihat dan mengerti apa yang diilustrasikan dan deskripsikan dalam buku.

Saya ingat saat pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah menengah atas kami ditugaskan untuk membaca novel klasik Indonesia terbitan Balai Pustaka dan membuat ringkasan. Mungkin ini pertama kali saya berpikir kritis yang sesungguhnya. Membaca novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan membuat saya mempertanyakan budaya Minangkabau. Kedudukan perempuan yang dianggap lebih rendah dan nasib tragis yang selalu menghampiri perempuan dalam novel-novel tersebut berlawanan dengan apa yang selama ini saya ketahui.

Follow kami: ruanita.indonesia

Keluarga saya berasal dari Minangkabau dan selalu menekankan kedudukan perempuan yang dihormati sebagai Bundo Kanduang. Perempuan adalah penguasa Rumah Gadang. Minangkabau pusat edukasi dan politik tak terkecuali untuk perempuan di masa lalu, selain Jawa, yang melahirkan tokoh-tokoh utama pendiri bangsa ini. Rasa penasaran saya ini terjawab melalui buku juga yang menjelaskan bahwa elemen laki-laki juga hadir begitu kuat di dalam masyarakat matrilineal.

Setelah dewasa, genre buku-buku yang saya baca cukup beragam. Ada masa di mana saya suka sekali membaca novel-novel Harlequin, alias roman picisan. Ada masa juga di mana saya tertarik dengan novel-novel yang berlatar belakang sejarah, seperti Tetralogi Buru, The Nasty Girl, dan Memoirs of a Geisha. Beberapa waktu yang lalu saya membaca The Art of Seduction yang ditulis oleh Robert Greene. Buku ini menyinggung aspek-aspek psikologis mengenai relasi kuasa dari 9 tipe bujukan atau seduction

Saya juga suka membaca buku-buku mengenai kesehatan mental yang dilihat dari perspektif fisiologi atau sistem biologi manusia seperti buku the Body Keeps the Score yang ditulis oleh Bessel van der Kolk dan When the Body says No oleh Gabor Mate. Benar-benar memberikan sudut pandang yang berbeda dengan buku-buku psikologi populer yang biasa saya baca. Karena spektrum buku yang saya baca cukup luas, saya tidak mempunyai buku maupun penulis favorit. Selalu ada hal-hal menarik yang saya temukan di setiap buku yang saya baca.

Ada pepatah mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia. Buku adalah sumber informasi. Melalui buku kita bisa mengetahui kejadian-kejadian di masa lampau, budaya-budaya yang ada di berbagai belahan dunia, kesehatan mental, sampai prediksi mengenai masa yang akan datang. Manfaat yang saya dapatkan dari membaca buku mungkin sama seperti yang sering dikemukakan orang-orang seperti melatih berpikir kritis, menambah pengetahuan di bidang tertentu, dan memperkaya kosa kata. Tetapi manfaat yang paling saya rasakan untuk diri saya sendiri adalah mempunyai sudut pandang yang baru dalam melihat suatu kejadian, seperti misalnya melihat trauma sebagai masalah fisiologi. 

Manfaat membaca juga saya rasakan ketika berinteraksi dengan orang lain. Ketika saya diminta untuk mengajar, banyak sekali contoh-contoh yang saya berikan berasal dari buku-buku yang pernah saya baca. Sehingga saya bisa memperkaya wawasan para mahasiswa. Atau ketika sekedar bercakap-cakap dengan teman saya bisa melempar topik pembicaraan dari hal-hal menarik yang pernah saya baca.

Untuk orang-orang yang punya hobi membaca, membaca mungkin bisa menjadi hal yang terapeutik. Membaca novel-novel Harlequin yang saya sebutkan di atas adalah salah satu cara saya mengatasi stress yang saya alami di masa yang lalu ketika masih berkutat dengan tugas-tugas perkuliahan dan pekerjaan. Setidaknya, novel atau bahan bacaan dengan cerita yang ringan dan alur yang sederhana membantu sistem tubuh untuk mengendurkan kontraksi dalam badan ketika dilanda stress. 

Membaca buku sebelum tidur, terutama ketika saya sulit tertidur, cukup membuat saya mengantuk. Saya teringat sebuah kutipan dari Virginia Woolf yang mengatakan, “Books are the mirrors of the soul” atau buku adalah cerminan jiwa. Dari kutipan ini bisa jadi adanya keterkaitan antara kebiasaan membaca dan kesehatan mental. Mental di sini bisa diartikan sebagai sebagai kemampuan berpikir atau yang terkait dengan kognisi. Dengan membuat kegiatan membaca sebagai suatu kebiasaan kita mengasah kognisi, mengasah kemampuan berpikir secara berkelanjutan sehingga kemungkinan terkena penyakit demensia atau menurunnya daya ingat dan daya pikir di masa tua bisa dihindari.

Sayangnya, disebutkan bahwa membaca bukanlah kebiasaan yang umum di Indonesia. Kemampuan literasi dan minat baca orang Indonesia termasuk rendah di dunia. Mungkin ini ada kaitannya dengan tradisi oral masyarakat Indonesia. Apalagi di era teknologi digital sekarang ini orang lebih memilih sumber informasi dalam bentuk visual dengan penjelasan singkat di platform media sosial. Ini merupakan suatu tantangan besar untuk menanamkan kebiasaan membaca. 

Tentunya tidak ada yang salah dengan sumber informasi seperti ini. Tetapi untuk melatih berpikir kritis dan memahami permasalahan yang semakin kompleks diperlukan kemampuan literasi yang mumpuni terutama untuk generasi muda. Kemampuan literasi yang mumpuni sejauh pengamatan saya hanya bisa didapat melalui kegiatan membaca buku. Kalau membaca buku dirasa berat, mungkin kebiasaan membaca bisa dimulai dengan membaca blog yang menulis hal-hal yang kita sukai.

Rendahnya minat baca juga bisa dilihat dari kebiasaan dalam keluarga. Saya banyak menemui orang tua yang tidak suka membaca sehingga tidak bisa memberi contoh kepada anak-anaknya. Kognisi anak-anak belum berkembang sempurna sehingga mereka memaknai apa yang terjadi di sekelilingnya dengan mencontoh. Walaupun di rumah banyak koleksi buku-buku bukan berarti pemilik rumah suka membaca. 

Buku bukan hanya sebagai dekorasi. Jadi, memang diperlukan adanya kesadaran orang tua bahwa kebiasaan membaca berawal dari mereka. Orang tua mungkin bisa mengamati apa yang disukai oleh anak-anaknya dan membeli buku dengan tema yang disukai anak-anak tersebut. Mengajak anak ke toko buku dan membiarkan mereka memilih buku yang mereka sukai dan melakukan kegiatan membaca bersama-sama dengan anak-anak bisa juga dicoba sebagai awal menanamkan kebiasaan membaca. 

Penulis: Dindia tinggal di Jabodetabek dan sedang studi di Jerman.

(IG LIVE) Empty Nest Syndrome: Kehidupan Setelah Anak Pergi

(NORWEGIA 23/10) Ketika anak-anak sudah dewasa dan memiliki kehidupan baru lalu memutuskan untuk meninggalkan rumah tempat mereka tumbuh, ada semacam rasa ‘kedukaan’ yang umumnya dialami oleh orangtua. Bagaimana perasan dan pengalaman para orangtua ketika melepas anak-anak yang sudah dewasa? Apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi perasaan sedih dan kesepian tersebut?

Dalam episode IG Live Oktober 2022 ini, Ruanita Indonesia mengangkat tema ’Empty Nest Syndrome: Kehidupan Setelah Anak Pergi’. Dipandu oleh Anna @anna_knobl, Ruanita turut mengundang Ibu Yeni @yenikirimang, seorang ibu yang tinggal di Jerman dan Ibu Elvita @fitrianielvita, seorang ibu yang tinggal di Indonesia.

Ibu Elvita memiliki tiga anak, salah satunya kini sedang melanjutkan studi di Munchen setelah kuliah di IAIN Surakarta. Sementara Ibu Yenni adalah seorang Ibu yang tinggal di Jerman dan memiliki dua laki-laki (23 & 24 tahun). Kedua anak lelakinya kini sudah menetap di kota Hamburg, sementara Ibu Yenni tinggal di sebuah kota yang berjarak sekitar 4 jam menyetir dari Hamburg. Ibu Yenni menuturkan ia dan anak-anaknya sering berkomunikasi lewat facetime, namun untuk dating mengunjungi hanya sekitar 1-2 kali setahun.

Ibu Yenni menuturkan bahwa saat pertama kali anaknya pindah kota untuk merantau, awalnya ia merasa kehilangan. Dari memasak saja sudah mengingatkannya akan perasaan sepi saat anak-anak meninggalkan rumah karena yang biasanya sehari-hari memasak banyak hidangan, tiba-tiba saja tidak banyak yang harus dimasak. Lalu saat malam menjenguk kamar anak-anak, kini telah kosong.

Padahal sebelumnya setiap malam ia selalu menjenguk anak-anak untuk mengucapkan selamat tidur. Namun menurut Ibu Yenni, kondisi kehilangan dan kesepian ini adalah bagian dari proses yang berulang karena mungkin dulu inilah yang dirasakan orangtua saat harus melepas kita untuk pindah merantau.

Menurut Ibu Elvita saat anak-anaknya masih kuliah di lain kota di Indonesia, mereka masih bisa berkunjung rumahnya lalu kembali pulang ke kos-kosan. Namun ketika anak-anak pergi merantau jauh rasanya pasti waswas, rindu dan kangen.

Saat perasan tersebut melanda, ia berusaha mencari jalan keluar dengan beraktivitas dan menyibukkan diri dengan bekerja sebagai konsultan. Ia juga menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan bersama suami. Ibu Elvita juga mengungkapkan bahwa awalnya sangat sulit sekali menemukan rumah dalam keadaan sepi tanpa anak-anak, yang bahkan masih terasa hingga kini, namun ini adalah kondisi yang memang harus dilalui.

Bagaimana pendapat Ibu Elvita dan Ibu Yenni tentang social support group untuk orangtua yang mengalami empty nest syndrome? Apakah ada cara khusus dalam mengatasi kesepian ketika anak-anak sudah tidak lagi tinggal di rumah?

Ibu Yenni mengungkapkan kalau anak-anaknya tahu saat ia sedang kangen. Dengan ia berkomentar ‘mama kangen’ saja, anak-anak pasti tahu. Ibu Yenni sendiri mempunyai grup teman arisan di Hamburg. Jadi kalau saat arisan di Hamburg, ia selalu punya misi untuk bertemu dengan anak-anaknya. Meski hanya sebentar dan harus menyamakan jadwalnya dengan jadwal anak-anaknya seperti membuat temu janji, tetapi ia selalu menyempatkan diri untuk bertemu.

Ibu Yenni menjelaskan bahwa ia mengerti bahwa anak-anak sudah punya kesibukan sendiri, jadi ialah yang harus menyempatkan duluan untuk menemui mereka. Ketika bertemu, anak-anaknya akan menjemput dan memasak, lalu makan bersama. Kalau mereka main bola, jika sempat ia akan ikut menonton. Jadi sampai anak dewasa, ada kebahagiaaan tersendiri saat masih bisa menonton dan bisa terlibat aktivitas mereka meski dari jauh.

Ibu Elvita mengakui bahwa dengan fasilitas teknologi, meski anaknya tinggal jauh tapi masih bisa berkomunikasi terus. Jadi ini harus selalu disyukuri. Sebelum kondisi pandemi, Ibu Elvita bisa mengunjungi anak-anaknya setidaknya setahun sekali, namun beberapa tahun terakhir belum bisa saling mengunjungi. Menurutnya yang terpenting adalah kita sebagai orangtua harus selalu ada untuk anak-anak, mau jauh maupun dekat dengan bantuan komunikasi digital.

Untuk komunitas social support group, menurut Ibu Yenni ia tidak punya komunitas khusus, tetapi ia memiliki teman-teman yang bisa curhat bareng seperti ‘Kenapa sih anak kita kalau mau ketemu harus izin partnernya?’.

Dan setelah curhat jadi menyadari bahwa sekarang harus legowo karena dulu ternyata kita seperti itu juga. Pada akhirnya harus disadari kalau semua hal adalah titipan, termasuk anak-anak. Lalu ia juga jadi menyibukkan diri dengan banyak membaca, karena ia suka sekali membaca. 

Bagi Ibu Elvita, ia berusaha untuk tidak larut dalam perasaan tersebut. Ia kini banyak bekerja dengan masyarakat sehingga kini ia bisa lebih all out dan optimum dalam bekerja. Kini ia bekerja sebagai motivator dan konsultan. Lalu yang terpenting adalah bagaimana anak itu bahagia. Semua rasa rindu dan sedih jadi sirna saat mengetahui bahwa anak kita bahagia. Kebetulan Ibu Elvita juga punya punya komunitas Primordial sesama teman-teman usia sepuh yang sama-sama mengalami kondisi serupa.

Ibu Elvita bersama teman-teman komunitasnya suka jalan-jalan dan mengisi waktu bersama dan ini sangat membantu. Hal yang sama juga diiyakan oleh Ibu Yenni di mana ia selalu menyempatkan punya alibi untuk jalan-jalan bersama teman-temannya. Punya kesibukan yang menyenangkan sangatlah membantu dalam mengatasi kondisi empty nest ini.

Baik Ibu Yenni maupun Ibu Elvita mengiyakan bahwa kondisi empty nest ini paling berdampak pada para Ibu. Menurut Ibu Yenni, para bapak bisa jadi turut mengalami namun tidak memperlihatkan perasaan mereka. Mungkin ini karena para ibulah yang biasanya terlibat paling dekat dalam mengurusi anak-anak.

Jadi ketika anak-anak dewasa dan pergi meninggalkan rumah, rasanya mengejutkan sekali, seperti kehilangan dan bisa tiba-tiba menangis. Momen-momen kecil seperti ketika mendapati jumlah cucian tidak sebanyak biasanya, rumah yang biasanya berantakan namun sekarang rapi lebih lama tapi lebih sepi, serta tidak ada sesi sarapan bersama lagi bisa saja terasa menyedihkan. 

Ada beberapa hal yang dapat disiapkan para orangtua yang anak-anaknya sebentar lagi akan meninggalkan rumah. Menurut Ibu Elvita, yang paling penting adalah restu dan support dari kita untuk anak-anak. Sebagai orangtua, kita lepas mereka dengan restu, support dan doa buat anak-anak. Pengorbanan yang sangat luar biasa setelah membesarkan anak adalah saat kita melepas anak ketika mereka dewasa. Lalu siapkan juga mental kita dan yakinkan diri bahwa anak-anak siap dan mereka bisa bertanggung jawab dengan pilihan mereka, seperti dulu waktu kita dilepas oleh orangtua kita.

Ibu Yenni pun berpesan untuk anak-anak bahwa yang pertama, tetaplah menjaga kontak dengan orangtua. Bagi orangtua, itu terasa sangat berharga sekali. Ia teringat bahwa dulu ia hanya bisa menulis surat ke orangtuanya sampi berlembar-lembar.

Sekarang saat sudah ada telepon dan videocall, lebih mudah saling menjaga kontak saat kangen dengan anak-anak. Sekadar menelepon sudah bahagia rasanya. Untuk anak-anak yang kuliah, fokuslah belajar dulu sampai menjadi berhasil.

Menurutnya juga, anak tidaklah pernah berhutang budi kepada orangtua. Adalah kewajiban orangtua untuk menghidupi dan membesarkan anak, namun ketika mereka dewasa, tidaklah ada kewajiban untuk ‘balas budi’ menghidupi orangtua di kemudian hari. Namun bagaimana kita sebagai anak menjaga  kontak dengan orangtua adalah yang terpenting karena itulah yang diharapkan oleh orangtua.

Lebih lengkapnya, diskusi mengenai empty nest syndrome ini dapat disaksikan pada tautan berikut:

Penulis: Aini Hanafiah, tinggal di Norwegia (akun IG: aini_hanafiah)

(CERITA SAHABAT SPESIAL) Optimis dan Dukungan Keluarga Jadi Kunci Kesembuhan Sofie

Dalam rangka memperingati Hari Internasional Melawan Kanker Payudara yang jatuh tiap 19 Oktober, RUANITA mengundang sahabat spesial yang bernama Suci Lestari Sofyan yang sudah menetap di Italia sejak 2016.

Setelah menikah dengan pria berkewarganegaraan Italia, kehidupan Sofi, begitu ia biasa disapa, lebih lama tinggal di Cina daripada di Italia.

Pada 2015 saat Sofie berusia 34 tahun, dia didiagnosa kanker payudara yang sudah memasuki stadium 3B.

Tentunya siapa pun akan berat mendengar berita tersebut, termasuk mental Sofie yang shock saat itu juga.

Dia tidak siap untuk menghadapi diagnosa dan penanganan medis yang harus ditekuninya kemudian.

Saat itu yang terpikir oleh Sofie mencari role model seperti Survivor yang berani berbagi inspirasi dan motivasi yang dibutuhkan menghadapi kondisi sulit tersebut.

Menjalani kemoterapi tentu bukan hal yang mudah dihadapi Sofie. Setelah berhasil melewati operasi, dokter kemudian melakukan proses pengangkatan total yang membuat Sofie down dan semakin bertambah berat untuk menjalani hidup ke depan.

Apa yang paling berat dirasakan oleh Sofie adalah masalah mental untuk menjalani kehidupan selanjutnya.

Sofie berhasil menemukan solusinya dengan menjalani meditasi.

Bagi Sofie, dukungan sosial seperti pasangan hidup dan keluarga telah memberikan motivasi terbesar untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik.

Lebih lengkap cerita Sofie tersebut dapat disimak dalam saluran YouTube berikut ini:

Disclaimer: RUANITA menyajikan konten dengan tujuan informasi, edukasi dan komunikasi dengan maksud berbagi praktik baik kehidupan orang Indonesia di mancanegara. Konten ini tidak dapat mewakili pendapat profesional/ahli dan disesuaikan dengan konteks dan pengalaman masing-masing narasumber yang terlibat dalam program ini. Mohon kebijakan penonton yang menyaksikannya.

(CERITA SAHABAT) Cerita Hati Seorang Ibu: Putriku Telah Jauh di Seberang Sana

“Hidup seperti tidak punya arah, tujuan dan pegangan. Anak yang semula menjadi tujuan segala aktivitas, kini menjadi tidak jelas. Terlebih di saat sekarang kesehatan fisik sudah mulai menurun, usia sudah hampir kepala 6, perasaan ingin berada di dekat anak membuat semakin kesepian. Di saat ada masalah, apapun itu, rasanya ingin bisa dikuatkan oleh anak-anak.”

Aku adalah seorang ibu dengan dua anak perempuan. Kami sekeluarga semula tinggal bersama di ibu kota. Sejak berhenti kerja, aku dan kedua putriku pindah ke kota lain, sedangkan suamiku menetap di ibu kota untuk mencari nafkah.

Selama 10 tahun bisa dibilang aku membesarkan dan mengurus kedua putriku sendirian. Seiring berjalannya waktu, hingga si sulung selesai SMA, tibalah waktunya untuk harus melepasnya, memenuhi keinginannya lanjut studi ke luar negeri.

Ketika putriku akan berangkat ke luar negeri, justru aku tidak bisa merasakan dengan jelas apa yang kurasakan. Semua mengalir menjadi satu: senang dan bangga karena keinginannya bisa terwujud, cemas karena tidak bisa menemani perjalanan jauhnya, sedih karena harus berpisah, bingung bagaimana caranya jika ingin bertemu dan sebagainya.

Campur aduk yang pasti. Yang menarik adalah, kuingat hari keberangkatannya yang mendadak waktu itu dikarenakan visa yang keluar mepet, masih ada beberapa barang yang anakku harus persiapkan atau beli.

Sebenarnya dia ingin membagi tugas supaya lebih cepat beres. Namun aku justru memaksanya untuk pergi bersama untuk semua yang harus ia urus. 

Awalnya setelah tidak bersama atau serumah lagi, aku tidak merasakan suatu perasaan sedih atau kesepian atau terasa berat. Mungkin karena anak-anak sejak kecil sudah sering dan terbiasa ku tinggal; mandiri.

Hidup kujalani seperti biasa, toh masih ada satu lagi putriku. Selain itu, komunikasi dengan si sulung pun tetap bisa berlangsung dengan adanya internet.

Rasanya anak hanya sedang berada di luar kota. Tidak ada rasa kesepian yang cukup berarti. Didukung lagi dengan banyaknya aktivitas yang kulakukan.

Urusan sekolah si bungsu juga menyita waktu dan perhatian. Kegiatan pelayanan untuk gereja selalu menjadi penyemangat hidup. 

Namun semakin lama hidupku kok justru terasa semakin “kosong”, kesepian dan tidak berarti. Hidup seperti tidak punya arah, tujuan dan pegangan. Anak yang semula menjadi tujuan segala aktivitas, kini menjadi tidak jelas.

Terlebih di saat sekarang kesehatan fisik sudah mulai menurun, usia sudah hampir kepala 6, perasaan ingin berada di dekat anak membuat semakin kesepian.

Di saat ada masalah, apapun itu, rasanya ingin bisa dikuatkan oleh anak-anak. Namun realita yang kuhadapi hanyalah perasaan kosong dan sendiri.

Pikiran tentang bagaimana dan apa yang terjadi dengan putri sulungku hari demi hari nun jauh di negeri orang, sungguh merangkai banyak prasangka. 

Untuk menghalau atau lebih tepatnya menghindari rasa galau dan segala suasana pikiran dan hati yang berkecamuk yang terkadang muncul, aku lebih banyak menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan pelayanan gereja, di samping tentu saja berdoa tengah malam.

Tapi aku justru lebih banyak menghindari perjumpaan atau “kumpul-kumpul” ataupun sekadar zoom meeting dengan sanak keluarga besar, yang pasti dan selalu akan menanyakan kabar si sulung. Memang jadi terkesan melarikan diri, bukan mengatasi, dan pengecut. Namun aku hanya mampu begitu. 

Sejujurnya, kalau aku boleh menyarankan, khususnya bagi para ibu, untuk berpikir dan mempertimbangkan matang-matang dari banyak faktor sebelum ambil keputusan akan “melepas” anak jauh ke seberang sana. 

Penulis: Seorang ibu di pulau Jawa

(PELITA) Toilet Training Untuk Anak Batita, Bagaimana Sih?

Episode ke-6 PELITA: Parentingtalk with RUANITA yang dibawakan oleh Stephany Iriana Pasaribu bertemakan Toilet Training untuk anak bawah tiga tahun. Tak mudah bagi orang tua untuk mengajari anak melakukan kegiatan buang air kecil dan buang air besar secara mandiri, apalagi untuk anak berusia di bawah tiga tahun.

Proses berlangsung toilet training tiap anak berbeda-beda, yang berkisar sekitar 18 bulan hingga 3 tahun. Orang tua perlu mengenali kesiapan anak untuk mulai dengan toilet training melalui beberapa tandanya seperti yang dijelaskan Stephany.

Contohnya, apakah anak sudah bisa berjalan dan sudah bisa duduk? Apakah anak sudah bisa mengucapkan komunikasi yang pendek? Tanda lain yang mungkin dianggap sepele adalah apakah anak dapat menaikkan atau menurunkan celana yang digunakannya atau masih perlu bantuan orang lain?

Follow akun: ruanita.indonesia

Untuk melakukan latihan buang air besar dan buang air kecil, orang tua dapat menyiapkan peralatan sederhana. Orang tua bisa memberikan alat bantu yang biasanya tersedia di toko kebutuhan anak.

Stephany menyarankan agar orang tua mengajak anaknya untuk memilih potty yang sesuai dengan selera anak agar anak merasa nyaman dan menumbuhkan rasa kepemilikan.

Saran lain dari Stephany, biarkan anak memainkan potty sepanjang itu bersih untuk dimainkan sehingga anak tidak merasa canggung. Selain itu, orang tua perlu mendorong anak untuk dapat melakukan latihan dengan baik seperti memberikan stiker ke anak bila anak telah mencoba.

Poin yang diperhatikan lainnya adalah dorongan seperti hadiah atau pujian dilakukan setelah anak mencobanya dan hargai apa pun usahanya. Orang tua tidak boleh marah bila anak belum berhasil atau salah melakukannya. Perhatikan juga, dengan siapa anak merasa nyaman untuk latihan ini?

Diperlukan kesabaran dan kreativitas orang tua agar proses Toilet Training anak berjalan dengan baik dan teratur. Tak hanya menjelaskan secara teori saja, Stephany juga membicarakan dari pengalamannya sebagai ibu dalam melatih kebutuhan buang air untuk anaknya.

Seperti apa penjelasan dan pengalaman Stephany, sila saksikan dalam tayangan berikut:

Dukung kami dengan subscribe channel kami ya.

Jika ada saran/pertanyaan, silakan kontak info@ruanita.com atau follow akun media sosial seperti IG: @ruanita.indonesia atau FB Fanpage: Ruanita – Rumah Aman Kita.

Disclaimer: RUANITA menyajikan konten dengan tujuan informasi, edukasi dan komunikasi sehingga tidak dapat dijadikan terapi, diagnosa pribadi atau sebagai bentuk penanganan psikologis. Konten yang disajikan hanya bertujuan untuk psikoedukasi yang disesuaikan dengan komunitas Indonesia di luar Indonesia. Konten ini tidak dapat menggantikan pendapat profesional.

(SIARAN BERITA) Kesehatan Mental: Wajib Tahu, Bukan Tabu

SWEDIA – Akhir-akhir ini isu kesehatan mental mulai ramai dibicarakan di tengah masyarakat. Beberapa orang terkenal, khususnya dari Indonesia mulai membuka diri dengan bercerita tentang gangguan kesehatan mental yang mereka alami.

Respon dari masyarakat beragam, banyak yang mengutarakan dukungannya, namun banyak juga yang menyangkal dan beranggapan gangguan mental adalah bukti kurangnya iman.

Padahal kesehatan mental erat kaitannya dengan faktor genetis, perubahan hormon, dan/atau situasi hidup, misalkan disebabkan oleh pandemi yang sudah berlangsung tiga tahun ini.

Stigma sosial dan juga kurangnya pemahaman tentang kesehatan mental membuat banyak penderitanya memilih untuk menyembunyikan diri dan tidak menerima pengobatan atau terapi yang dibutuhkan.

Hambatan lain bagi kesembuhan gangguan mental adalah sulit ditemukannya layanan kesehatan mental (ahli profesional dan rumah sakit) yang terjangkau, baik secara jarak dan biaya.

Para WNI yang tinggal di luar Indonesia, khususnya di Eropa, mungkin lebih beruntung. Akses yang mudah ke layanan kesehatan mental dan minimnya stigma membuat gangguan kesehatan mental lebih cepat ditangani oleh ahlinya.

Walau begitu, banyak dari mereka yang memilih untuk tetap merahasiakan tentang gangguan mentalnya dari teman-teman dan keluarganya sambil tetap menerima pengobatan yang mereka perlukan, padahal teman dan keluarga merupakan dukungan sosial yang sangat mereka butuhkan untuk sembuh.

Rumah Aman Kita (RUANITA) selaku komunitas Indonesia di luar Indonesia yang aktif mempromosikan isu kesehatan mental bekerja sama dengan Swedish Indonesian Society (SIS) menggelar diskusi virtual bertema kesehatan mental untuk memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia 2022 yang jatuh pada tanggal 10 Oktober setiap tahunnya.

Diskusi virtual dengan judul „Kesehatan Mental: Wajib Tahu, bukan Tabu“ ini didukung sepenuhnya oleh KBRI Stockholm, Swedia. Acara akan berlangsung melalui kanal Zoom pada hari Minggu, 09 Oktober 2022, pukul 15.00-17.00 WIB (10.00-12.00 CEST).

Acara diskusi virtual ini terbuka untuk umum bagi warga negara Indonesia di mana pun dan bisa dihadiri tanpa pendaftaran dengan mengakses tautan Zoom: bit.ly/webinar-ruanita-sis. Diskusi virtual ini akan dibuka secara resmi oleh Duta Besar RI untuk Swedia dan Latvia, Kamapradipta Isnomo.

Follow us ruanita.indonesia

Acara akan dipandu oleh moderator Christophora Nismaya (relawan Ruanita dan mahasiswa Indonesia di Jerman), sedangkan narasumber-narasumber acara ini adalah Iwa Mulyana selaku Protokoler Konsuler KBRI Stockholm, Estrelita Gracia konselor cross-cultural trauma founder Momentaizing di Taiwan, Isabel Nielsen selaku konsultan asuransi kesehatan di Swedia, dan Jessika penyitas sekaligus mahasiswa di Swedia.

Tujuan diselenggarakannya acara ini adalah untuk membagi pengalaman mengakses layanan kesehatan mental bagi WNI yang berada di luar negeri, terutama Swedia, negara yang terkenal memiliki layanan terbaik di dunia bagi orang dengan gangguan mental.

Kedua, memberikan edukasi yang benar dan tepat tentang kesehatan mental untuk mematahkan stigma yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Ketiga, untuk mendorong pemerintah Indonesia lewat perwakilannya di mancanegara untuk memberikan layanan kesehatan mental bagi warga Indonesia di luar negeri. 

RUANITA (Rumah Aman Kita) Indonesia adalah komunitas diaspora Indonesia yang dibentuk untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman seputar permasalahan psikologis dan kehidupan di luar negeri. Tujuan diberdirikannya RUANITA adalah untuk mempromosikan isu kesehatan mental, psikoedukasi serta berbagi praktik baik tentang keterampilan diri untuk tinggal di luar Indonesia. 

Informasi: Mariska Ajeng, tinggal di Jerman (email: info@ruanita.com)

Rekaman acaranya bisa disimak sebagai berikut:

Tolong Subscribe kami ya.

(CERITA SAHABAT) Caraku Atasi Kesepian Adalah Tidak Anggap Kesepian Itu Penting

Halo Sahabat Ruanita, terima kasih telah menjadi ruang aman untuk bercerita dan memberiku kesempatan bergabung dalam program Konseling Kelompok bertema: Toxic Relationship yang lalu. Perasaanku lega, setidaknya aku bisa menyuarakan ketakutanku walau dengan suara dan tubuh bergetar.

Ternyata menyampaikan ketakutan pribadi kepada orang lain yang tidak dikenal itu membantu. Rasanya sedikit leluasa dan lega, karena mereka tidak berpikiran subyektif. Mereka menjadi orang yang netral. Mereka tidak mengenal identitas asliku begitu juga sebaliknya. Sekali lagi, terima kasih.

Ok, aku mulai dengan ini.

Namaku Wani, bukan identitas asliku. Wani dalam Bahasa Jawa artinya berani. Ya, aku memilih nama itu. Aku berani. Lebih baik seperti ini, aku nyaman seperti ini. Bercerita tanpa kalian tahu siapa sebenarnya aku.

Aku adalah seorang wanita paruh baya asal Pulau Jawa, Indonesia. Sejak 2 tahun lalu aku menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan Jerman dan kini tinggal di Jerman. Sekarang aku hanyalah seorang ibu rumah tangga yang berkegiatan rumah tangga biasa tanpa seorang anak. Lantai 2 rumah mertuaku di sebuah desa yang terletak 30 menit dari kota tinggalku adalah tempatku tinggal bersama suami. Ya, kami tinggal satu rumah dengan mertuaku.

Mereka di lantai 1 dan kami di lantai 2, berbeda dapur dan kamar mandi. Seperti layaknya denah rumah susun yang terdiri dari beberapa keluarga. Kegiatan sehari-hariku adalah bangun pagi menyiapkan bekal makan siang suamiku, membersihkan rumah dan memasak. Ada kalanya aku belajar Bahasa Jerman, mencari dan mengirim lamaran pekerjaan, untuk apapun pekerjaannya.

Karena suami tidak mempunyai peluang kerja di Indonesia atau bahkan mendapatkan pekerjaan remote dan kebetulan perusahaan tempatku bekerja akhirnya gulung tikar saat pandemi Covid-19, kami putuskan untuk tinggal bersama setelah menikah di Jerman.

Kami berdua mempunyai impian menghasilkan uang bersama untuk membangun usaha dan sebuah rumah kecil di Indonesia. Kami sama-sama orang yang senang bekerja. Dulu di Indonesia aku bekerja di sebuah perusahaan retail yang terkenal.

Mudah bagiku untuk mencari pekerjaan dari relasi. Aku adalah orang yang ramah, ceria, percaya diri dan pandai pitching klien untuk suatu proyek.

Dari dulu aku terbiasa bekerja dengan dokumen-dokumen sehingga persiapan menuju Jermanku dulu menjadi biasa saja. Semakin menuju ke Jerman semakin tampak ego kami berdua. Aku menyadari tekanan yang aku dapat kebanyakan datang dari kepanikan suamiku.

Dia adalah orang yang selalu merencanakan apapun, berpikiran praktis dan sering ber-ekspektasi berlebih terhadap rencana itu. Rencana cadangannya hanya ada sampai PLAN B. Dia harus benar-benar mengusahakan PLAN A dan PLAN B dulu semaksimal mungkin. Butuh waktu agak lama untuk membuat PLAN C. Sedangkan aku? Aku selalu saja bisa mencari jalan lain menuju Roma. Hidupku terbiasa kompleks sehingga aku mampu membuat PLAN A-Z.

Tidak jarang kami bertengkar karena kami mempunyai cara berbeda dalam menyelesaikan sesuatu. Mental, tenaga, perasaan dan uang kami benar-benar diuji. Apa memang mungkin karena persiapan sebelum menikah itu memang seperti ini? Entahlah, pada saat itu kami hanya punya cinta dan kesediaan untuk hidup bersama.

Pertama kali tiba di Jerman. Aku senang dan bangga dengan diriku sendiri, apa yang aku persiapkan untuk pernikahan dan perjalanan itu akhirnya terlaksana tanpa missed sedikit pun. Ini perjalanan antar benua pertama kaliku ditambah masa awal pandemi Covid-19 yang segala sesuatunya menjadi lebih rumit. Cuaca di Jerman cocok untukku yang tidak begitu menyukai hawa panas.

Follow akun: ruanita.indonesia

Masakan Jerman sesuai dengan kemampuan memasakku yang sangat basic dan jelas tidak serumit masakan Indonesia. Hanya saja aku tetap merindukan masakan Indonesia yang kaya akan rasa. Aku tetap berusaha untuk memasak masakan Indonesia semampuku. Beruntung masih ada toko Asia di kota, bumbu instant menjadi andalan.

Sebelum tinggal di Jerman, terbayang olehku kemudahan-kemudahan yang akan datang sama seperti kemudahan yang aku dapatkan di Indonesia. Namun ternyata bayanganku salah. Ya, itu berbeda dengan di Indonesia. Aku menjadi seorang wanita yang tidak berdaya. Bahasa Jerman sebatas level A1 yang aku pelajari di Indonesia ternyata tidak cukup berguna.

Kemampuan Bahasa Inggrisku yang baik pun tak berguna karena orang di sini mengharuskan orang asing yang tinggal di Jerman untuk mampu berbahasa Jerman. Terlihat jelas di dalam syarat perpanjangan Visa Nasional yang aku miliki, pemerintah Jerman mewajibkan pasangan beda warga negara untuk mempunyai sertifikat Bahasa Jerman level B1. 

Tahun pertama banyak hal yang aku tidak mengerti. Entah karena aku memang terlalu bodoh atau karena keluarga besar suamiku tidak paham sampai mana materi A1 yang aku pelajari. Mereka tidak sabar, mereka kurang mau memahamiku dan selalu mengetukkan jarinya jika menungguku terlalu lama menjelaskan sesuatu dalam Bahasa Jerman. Aku tetap berusaha tetapi panik selalu datang setiap saat. 

Sampai detik ini dalam hidupku di Jerman, Bahasa Jerman adalah yang tersulit. Karena Bahasa adalah awal mula dari segalanya. Memahami budaya dan orangnya akan terasa gampang jika aku bisa berbahasa Jerman. Bahasa Jerman yang aku pelajari kini sampai dengan level B1.

Tapi tetap saja takut dan panik membuyarkan semuanya. Apalagi melihat ekspresi mereka yang tidak sabar menantiku menyelesaikan kalimatku. Bahasa itu akar dari komunikasi. Komunikasi adalah keahlianku semasa di Indonesia. Aku ingin bisa berbahasa Jerman dengan baik agar mereka mengerti dan memahamiku, agar aku bisa bekerja, agar aku kembali seperti aku yang dulu, aku yang dengan percaya diri menjadi diriku sendiri. Aku yang tidak perlu risau dan takut dalam melangkah.

Sejak 2 tahun lalu sampai detik ini, aku kesepian. Secara fisik tidak ada teman yang bisa diajak sekedar minum kopi bersama. Aku tinggal di desa. Tetangga enggan berteman dengan aku yang tidak pandai berbahasa Jerman ini. Dan suamiku sering tidak memperbolehkanku keluar desa ini karena dia terlalu cemas jika aku pergi sendiri. Jadi temanku hanya aku.

Oh, ada seekor anjing kecil milik ayah mertuaku. Iya, aku berbicara dengan anjing itu berbahasa Indonesia dan Jawa tentunya. Dia tidak dapat membalas omonganku tapi sepertinya dia mengerti. Dia tahu di saat aku sedang bersedih. Entah mengapa itu melegakan.

Secara mental, aku punya 7 orang sahabat yang selalu support mentalku. Empat sahabatku tinggal di Jerman tapi berbeda kota denganku, satu sahabat tinggal di Amerika dan dua sahabat di Indonesia. Mereka memberiku kekuatan untuk tetap tegar menjalani hari. Ada saja keceriaan yang mereka bagikan. Aku beruntung. Setidaknya aku masih punya teman. 

Jika kalian bertanya, mengapa aku tidak menyebut orang tuaku atau keluargaku di Indonesia sebagai penawar kesepianku. Jawabannya adalah sejak kecil aku bukan anak yang dekat dengan orang tua dan keluarga. Terlalu banyak polemik di keluargaku, saudara-saudaraku bahkan di keluarga besar ayah dan ibuku.

Pengalaman menarik dari kesepian yang aku alami di Jerman adalah  setahun pertama yang aku jalani percuma, tidak berarti, tidak bermanfaat dan depresif. Keadaan mental depresi berat karena perubahan sosial.

Ditambah lagi pandemi Covid-19, pembatasan gerak termasuk bertemu teman, kursus Bahasa Jerman tidak tatap muka (via online Zoom-meeting), dan keluarga besar suamiku yang sangat takut terhadap virus corona serta ditambah Winter Depression. Banyak sekali yang dibatasi. Aku tidak bisa bersosialisasi. Aku tidak bisa beradaptasi.

Di tahun kedua ini semua menjadi lebih baik. Ada tiket 9€, aku bisa berpergian ke mana saja. Sendiri saja. Ya, karena teman-temanku berada di kota yang berbeda, paling dekat berjarak 4 jam menggunakan kereta. Tidak apa, setidaknya aku bisa melelahkan kakiku dan menyegarkan pikiranku dengan berjalan-jalan di kota.

Tidak jarang juga aku pergi ke kota hanya untuk beli Indomie goreng di toko Asia. Lalu lanjutkan langkah ke ReWe untuk membeli secangkir kopi dingin, dan selanjutnya aku duduk di sebuah bangku dingin pada gleis arahku pulang ke desa. Menunggu datangnya kereta keloter kedua. Iini melegakan juga.

Menurutku, mengatasi kesepian adalah dengan tidak menganggap kesepian itu penting, cukup biasa saja. Aku bersyukur masih bisa merasakan kasih dari sahabat dan teman walaupun yang aku dapatkan adalah kasih virtual. Tapi setidaknya aku merasa tidak sendiri. Karena aku percaya, semua orang mempunyai masalahnya masing-masing.

Hanya saja bagaimana cara mereka memutuskan apa yang akan mereka lakukan dengan masalah itu. Bagiku, aku akan tetap gigih belajar Bahasa Jerman. Sehari minimal aku belajar 2 jam seperti membaca, mendengar percakapan dan menulis kata-kata penting. Namun entah mengapa, susah aku ingat dan terapkan. Sempat aku berpikir, apakah alam bawah sadarku menolak? 

Sepertinya memang aku belum beradaptasi dengan baik. Aku masih dalam proses beradaptasi. Aku kini hanya bisa bertahan dan menjalani apa yang aku hadapi. Mencoba mengembalikan percaya diriku, mencari solusi yang bisa dilakukan, bukan hanya berandai-andai saja. Berbicara itu mudah, melakukannya yang susah. 

Sekarang yang bisa aku atasi adalah belajar berbahasa Jerman dengan baik dan apply pekerjaan dengan kemampuan berbahasa Jermanku yang minim. Aku butuh uang untuk bisa berdiri sendiri dengan kakiku, seperti aku yang dulu yang menyenangkan. Aku yakin aku bisa. Ini semua hanya masalah waktu. Harus ada keyakinan dan harapan serta senyuman. Berubah bukan sesuatu yang buruk. Aku mau menjadi aku yang baru.

Kesepian akan selalu hadir. Dinikmati saja. Seperti perasaan bahagia yang tidak selalu hadir. Berterima kasihlah dengan dirimu sendiri, karena dia sudah mau dan mampu bertahan sejauh ini. Semua ada waktunya. Semua yang dihadapi selalu ada maksudnya.

Untuk siapapun kamu yang telah membaca ceritaku, terima kasih. Kamu tidak sendiri dalam memperjuangkan apa yang ingin kamu raih. Tersenyum dan bersyukurlah sejenak. 

Jangan lupa semangat! 🙂

Penulis: Aku Wani, tinggal di Jerman.