
Saya Ajeng, tinggal di Hamburg. Mungkin sahabat Ruanita sudah mengenal saya dari cerita “OCD bukan sekedar bolak-balik cuci tangan dan cek pintu“ yang saya tulis beberapa waktu lalu. Di tulisan tersebut saya menyebutkan, sebelum mendapatkan diagnosa OCD (Obsessive Compulsive Disorder) saya juga didiagnosis gangguan kecemasan sosial (social anxiety disorder) atau bisa juga disebut dengan fobia sosial. Cukup mengejutkan untuk saya karena saya punya banyak teman, namun di sisi lain, saya juga merasa lega. Ah, jadi selama ini saya menghindari kontak sosial karena alasan fobia sosial. Tapi apa itu fobia sosial? Apakah pemalu berarti fobia sosial?
Sesuai dengan namanya, orang-orang dengan gangguan kecemasan sosial akan merasa cemas/khawatir/takut berlebihan untuk bertemu dengan orang lain, terutama orang asing. Sebenarnya ini hal yang biasa, ya, semua orang pernah mengalaminya saat bertemu orang yang tidak dikenal atau berada di lingkungan baru. Bedanya, ketakutan yang dimiliki orang dengan fobia sosial ini bisa mengganggu kegiatan sehari-hari, misalkan tidak bisa naik kendaraan umum atau pergi berbelanja ke supermarket, yang bagi banyak orang merupakan pekerjaan yang sangat mudah.
Orang dengan fobia sosial juga mungkin menghindari acara atau tempat tertentu. Saya hampir tidak pernah datang ke pesta ulang tahun orang lain, kalau tidak ada teman-teman dekat saya. Saya sempat tinggal di asrama mahasiswa di Hamburg selama lima tahun. Sering kali saya tidak jadi masak kalau ada teman asrama di dapur. Saya juga tidak pernah duduk di ruang tamu untuk mengobrol dengan teman-teman satu lantai, apa lagi ikut acara asrama dengan puluhan orang lainnya. Pada enam bulan pertama tinggal di sana saya pernah satu kali ikut acara movie night dan sarapan di minggu pagi, itu pun saya merasa salah tingkah dan cepat-cepat kembali ke kamar. Setelah itu saya tidak pernah lagi ikut acara apa pun. Bisa dibilang fobia sosial mempengaruhi kehidupan sosial saya di asrama.
Selain mempengaruhi kehidupan sehari-hari, fobia sosial bisa juga mengganggu karier, misalkan terus menunda mengirimkan lamaran pekerjaan karena takut membuat kesalahan saat menulis atau wawancara kerja. Orang lain mungkin akan bilang, tidak apa membuat kesalahan karena bagian dari belajar, tapi bagi orang tersebut tidak begitu dan lebih rumit. Atau di kantor yang sekarang tidak berkembang karena tidak berani mengambil kesempatan untuk naik jenjang.
Fobia sosial juga bisa mengganggu sekolah atau kuliah, contohnya menghindari mata kuliah tertentu atau presentasi. Ini pengalaman saya. Dulu waktu kuliah di Indonesia saya menghindar bertanya saat kuliah berlangsung. Saya lebih suka datang langsung ke dosennya saat kuliah selesai. Selama kuliah di Jerman lebih parah lagi, saya menghindari presentasi proyek. Untungnya saya sudah hafal siapa profesor yang mewajibkan presentasi dan siapa yang tidak. Sayangnya memang ada presentasi yang tidak bisa dihindari, salah satunya adalah Kolloquium (presentasi proposal tesis). Walau gugup, saya rasa presentasi saya waktu itu berjalan mulus, sampai salah satu rekan kuliah mengkritik bahasa Jerman saya. Kejam sekali engga, sih? Rasanya saat itu muka saya panas dan berubah merah.
Apa yang saya alami di atas adalah permasalahan klasik yang dialami oleh orang-orang dengan fobia sosial, walau sebenarnya cemas sebelum presentasi, wawancara kerja atau pun hal kecil seperti menelepon orang atau pergi ke pesta yang isinya orang asing adalah suatu hal yang wajar. Tidak wajar adalah jika kekhawatiran tersebut berlebihan sampai mengganggu kehidupan pribadi kita dan sudah berlangsung selama lebih dari enam bulan.
Saya beruntung sekali bisa ikut beragam kegiatan di psikiatri yang membantu saya mengatasi fobia sosial saya dan membantu mengurangi kecemasan saya secara umum. Saya ikut kelas penanggulangan kecemasan, di mana kami dijelaskan definisi kecemasan, lingkaran setan kecemasan, dan teknik relaksasi yang bisa dilakukan untuk menguranginya. Di luar kelas kami juga harus berlatih untuk mengatasi ketakutan kami. Kelas tersebut tidak dikhususkan untuk fobia sosial tapi untuk semua gangguan kecemasan, seperti gangguan kecemasan umum dan hipokondriasis (khawatir berlebih mempunyai penyakit serius).
Dari kelas tersebut saya juga tahu kalau ketakutan itu beragam macamnya. Ada pasien yang takut naik sepeda, ke supermarket, berpisah dengan pacar, naik lift, menyetir mobil, dan sebagainya. Kami dijelaskan bahwa kecemasan biasanya akan berakhir dengan sendirinya setelah 20 menit. Nah, kalau kita sering berlatih menghadapi situasi yang kita takuti, lama-lama kita akan terbiasa. Otak kita akan punya pengalaman baru yang tidak menyeramkan seperti pengalaman sebelumnya. Mungkin alasan saya takut bertanya di kelas adalah karena guru SD saya dulu pernah menyebut salah satu siswa ‘bodoh‘ hanya karena dia tidak bisa menjawab pertanyaan beliau. Pengalaman buruk ini bisa digantikan dengan pengalaman baru, jika saya mencoba untuk bertanya di tengah-tengah jam pelajaran dan tidak terjadi apa-apa. Pengalaman baru ini yang akan membuat otak kita kembali percaya diri dan akhirnya tidak perlu cemas lagi saat dihadapi dengan situasi yang sama.
Kecemasan bisa datang dengan beragam reaksi tubuh, loh. Kita akan merasakan jantung berdebar, muka panas, keringat deras, tangan atau tubuh bergemetar, pusing, dan sebagainya saat merasa takut. Reaksi tubuh ini sangat normal karena memang tubuh kita sedang mempersiapkan diri untuk kabur atau bertarung (flight or fight). Karena itu ketakutan adalah hal yang normal dan tugas sebenarnya adalah memperingati orang akan bahaya. Sayangnya otak kita sering salah kasih peringatan hanya karena pengalaman buruk yang pernah kita alami sebelumnya. Dulu waktu masih kuliah saya sering merasa mual sebelum salah satu mata kuliah dimulai, baru sekarang ini saya mengerti kalau itu reaksi normal tubuh saya jika saya merasa takut. Karena sudah mengerti, saya sekarang tidak kaget kalau saya merasa mual sebelum keluar rumah. Saya tidak sakit, hanya merasa gugup.
Orang-orang dengan gangguan kecemasan sayangnya lebih sering memilih untuk melarikan diri. Memang dengan begitu tingkat kecemasan akan turut drastis, sayangnya ini hanya akan bersifat sementara. Saat kembali dihadapi dengan situasi yang sama, tingkat kecemasan akan kembali naik dan langsung turun lagi setelah melarikan diri. Begitu seterusnya seperti lingkaran setan. Untuk keluar dari lingkaran setan ini, kami diajarkan untuk tetap berada di situasi yang membuat kami takut dan “bertarung“. Melarikan diri atau menghindari situasi tersebut adalah hal tabu.
Bersama dengan terapis saya berdiskusi tentang pertarungan yang harus saya hadapi sebagai latihan. Setiap hari saya harus bertanya tentang waktu ke orang yang tidak saya kenal. Latihan ini sangat menantang menurut saya. Saat ini semua orang punya telepon genggam dan saya biasanya mengenakan jam tangan. Mereka bisa bilang saya aneh! Saya perlu waktu beberapa minggu untuk memulai latihan ini. Setiap selesai latihan saya harus menuliskan pengamatan pribadi tentang reaksi tubuh, pikiran-pikiran, perasaan, juga reaksi lawan bicara saya.
Awal-awal latihan saya boleh memilih orang yang menurut saya “mudah“, lalu naik tingkat ke yang lebih sulit. Saya memulai dari perempuan, lalu laki-laki, dan setelah itu ke petugas keamanan yang berbadan besar. Mereka semua ramah. Memang ada satu-dua orang yang memakai earphone sehingga awalnya tidak mendengar saya, tapi kemudian melepaskannya dan membantu saya. Ini ada di catatan saya sebagai bentuk pengalaman baru. Saya sering merasa diabaikan (bahkan oleh orang terdekat), tapi ternyata kenyataannya adalah mereka tidak sengaja mengabaikan saya karena memang tidak mendengar dan melihat saya. Oh iya, sama seperti saat latihan untuk mengatasi OCD, setelah latihan saya juga boleh menikmati reward saya.
Tidak hanya latihan bertanya tentang waktu, latihan saya juga meliputi memuji orang asing, bertanya tentang arah, saat di supermarket keluar dari antrean sebentar untuk mengambil barang yang “tertinggal“, membayar dengar uang receh, atau sekedar menyapa orang yang saya kenal jika tidak sengaja bertemu di tempat umum. Hal yang ini susah sekali loh untuk saya lakukan, biasanya saya kabur.
Ngomong-ngomong tentang strategi menghindar, ada dua strategi lain yang juga menjadi tema tabu bagi orang dengan gangguan kecemasan, yaitu Sicherheitsverhalten (safety behaviour) dan Rückversicherung (reinsurance). Safety behaviour adalah barang-barang yang kita bawa untuk mendistraksi kita dari ketakutan, misalkan jimat, headphone untuk mendengarkan musik, telepon genggam, atau mengonsumsi obat penenang dan alkohol (contohnya Raj dalam The Big Bang Theory yang tidak bisa berbicara dengan perempuan tanpa alkohol).
Safety behaviour saya adalah kertas catatan yang saya pegangang selama presentasi. Walau mungkin akhirnya saya tidak menyontek ke catatan tersebut, tapi saya bisa tenang jika membawanya. Nah ini tabu banget, karena saya sebenarnya harus bisa mengatasi ketakutan itu sendiri tanpa membawa barang apa pun. Atau saat pergi ke sebuah pesta saya akan mengajak teman saya agar ada yang selalu saya tempeli selama pesta berlangsung.
Sedangkan reinsurance adalah bertanya berulang kali ke orang lain (contohnya guru, atasan, orang tua, dokter) untuk mendengar bahwa situasi tersebut tidak berbahaya. Saya akan berkali-kali datang ke profesor atau bertanya ke teman-teman saya tentang tema yang akan saya presentasikan. Saya harus mendengar konfirmasi dari mereka, bahwa yang saya kerjakan sudah benar. Kalau tidak begitu saya akan merasa khawatir sekali apa yang saya kerjakan salah dan saya akan mempermalukan diri sendiri saat presentasi. Kalau ada teman atau keluarga kita sedang merasa stres atau cemas dan berkali-kali bertanya hal yang sama, sebenarnya mereka tanpa sadar sedang melakukan reinsurance. Niat kita membantu menenangkan mereka dengan terus-menerus memberikan jawaban yang mereka inginkan, tapi sebenarnya kita hanya membuat mereka lebih cemas lagi.
Saya juga sebenarnya sering curi-curi melakukan safety behaviour dan reinsurance ke orang terdekat. Saya sering minta antar suami saya untuk pergi ke tempat baru, misalkan ke laundry room di gedung kami. Karena tahu ketakutan saya, dia akhirnya pergi dengan saya, padahal sebenarnya dengan begitu saya tidak belajar untuk pergi ke tempat baru sendirian dan mengatasi ketakutan saya.
Kelas penanggulangan kecemasan di psikitari selalu dibuka dan ditutup dengan empat pertanyaan: apa yang tubuh rasakan, apa yang sedang kami pikirkan, bagaimana perasaan kami, dan tingkat stres kami. Hal ini dilakukan agar kami terbiasa mengenali diri sendiri, karena mengetahui reaksi tubuh, pikiran, dan perasaan-perasaan sangat penting untuk bisa keluar dari lingkaran setan kecemasan. Dengan mendeteksi tiga hal tersebut kita juga bisa mendeteksi dini stres kita, lalu berusaha untuk meredakannya, misalnya dengan teknik relaksasi, berdoa, olah raga atau tidur. Jika kita lakukan ini, maka stres kita akan menurun sebelum menjadi berlebihan. Berikut ini contoh-contoh pikiran-pikiran yang muncul saat kita merasa ketakutan, kira-kira kalian pernah mengalaminya juga, kah?
- “Rasa saya akan mati“
- “Malu sekali. Saya mau menghilang ditelan bumi“
- “Jangan bikin kesalahan“
Tahukah kalian, bahwa orang dengan fobia sosial takut sekali membuat kesalahan dengan alasan malu dengan orang lain? Mereka juga sering kali merasa dilihati orang lain, merasa cara jalan atau berdirinya salah, berbicara dengan aksen yang lucu, ada yang menempel di mukanya, memiliki bau mulut atau tubuh, dan lainnya. Saya ingat waktu SD saya ikut tante saya ke rumah temannya. Dia menghidangkan sirup merah dingin yang sangat menggiurkan tapi tidak saya sentuh sama sekali. Mulanya saya malu untuk minum, lama-lama saya malu karena awalnya menolak untuk minum, “Malu dong kalau saya minum sekarang. Nanti mereka akan menggoda saya dengan bilang, ‚sekarang mau minum kok tadi enggak?‘ Ah tidak, lebih baik tidak minum sama sekali.“ Itu pikiran saya saat itu. Kejadian memalukan ini tidak pernah saya ceritakan ke siapa pun sampai saya didiagnosis fobia sosial.
Kejadian tersebut bisa menjadi gejala fobia sosial saya, bukan hanya sifat pemalu. Mereka memang mirip tapi berbeda. Pemalu adalah sifat dan sangat normal untuk timbul saat bertemu dengan orang baru, namun akan hilang jika sering bertemu dengan orang tersebut. Sedangkan orang dengan sosial fobia akan menghindari kontak sosial dan merasa takut untuk melakukan kesalahan yang bisa memalukan dirinya. Karena takut untuk membuat kesalahan ini, orang-orang dengan fobia sosial biasanya sudah sibuk membuat skenario sebelum datang ke suatu tempat. Fobia sosial juga timbul sejak dini, bisa jadi dari sebelum masuk masa puber. Selain itu seperti yang sudah saya tulis di awal, fobia sosial juga mempengaruhi kehidupan sehari-hari penderitanya.
Karena orang dengan fobia sosial biasanya kurang memiliki kompetensi sosial, saya dimasukkan ke dalam kelompok latihan kompetensi sosial. Kami diminta untuk membuat ulang situasi-situasi yang menurut kami sulit. Saya kesulitan untuk presentasi, karena itu latihan saya adalah presentasi. Trainer akan memvideokan saya yang sedang presentasi, lalu setelahnya peserta lain akan memberikan umpan balik tentang bahasa tubuh, isi presentasi, dan mimik juga gestur. Video tersebut akan kami tonton bersama di pertemuan berikutnya agar kami bisa lihat sendiri bagaimana performa kami.
Kali pertama saya presentasi, saya merasa stres saya di tingkat 7 dari 10, tapi trainer dan peserta lain berpendapat lain: saya terlihat gugup tapi masih normal. Ternyata benar, di video kegugupan saya tidak terlihat berlebihan. Selain presentasi, saya juga sempat berlatih dengan di situasi pesta ulang tahun dan mengajak mengobrol orang baru. Latihan awal dengan lawan yang ramah, latihan berikutnya dengan tingkat yang lebih sulit, yaitu orang yang lebih banyak ngomong daripada saya.
Trainer kami memberikan banyak tips praktis yang bisa kami aplikasikan. Saya belajar banyak di sana dan punya pengalaman baru tentang situasi-situasi tersebut. Oh iya, latihan-latihan ini benar berfungsi untuk saya di kehidupan nyata, lho. Beberapa bulan setelah keluar psikitari, ada orang asing (sepertinya sedang mabuk) memukul kepala saya saat saya sedang di pusat kota dengan teman. Beberapa tahun lalu kejadian yang sama terjadi dan saya hanya diam saja, tapi kali ini saya berteriak sangat kencang ke orang tersebut! Rasanya bangga sekali ke diri sendiri, bahkan pandangan orang-orang di sekitar saya tidak bikin saya gugup, namun lebih berani – kalau terjadi apa-apa dengan saya, mereka pasti akan membantu saya.
Sebenarnya saya masih mau bercerita tentang teknik relaksasi yang saya pelajari di psikiatri, tapi cerita saya sudah panjang sekali. Saya akan menuliskannya di blog pribadi saya, silakan mampir untuk membaca cerita-cerita saya lainnya, ya.
Kalau kalian melihat kesamaan dari cerita saya dan pengalaman kalian, tolong jangan diagnosis diri sendiri, ya. Pastikan untuk konsultasi ke psikolog atau dokter. Jangan takut juga jika kalian mendapatkan diagnosis ini. Sama seperti OCD, ada banyak terapi efektif untuk mengatasi gangguan kecemasan sosial dan kalian tidak sendirian.
Salam dari Hamburg,
Penulis: Ajeng, penulis blog mariskaajeng.com