(CERITA SAHABAT) Begini Caraku Latih Toilet Training pada Anak

Salam kenal, nama saya Retno. Saat ini saya tinggal di Norwegia, dan aktivitas sehari-hari sebagai editor dan ibu rumah tangga. 

Kedua anak perempuan kami berusia 12 tahun dan 3 tahun dan keduanya lahir di perantauan. Saat ini si bungsu baru mulai toilet training. 

Sebenarnya ada cerita menarik saat dulu si sulung mulai toilet training. Awalnya saya berencana untuk memulai toilet training si sulung ketika ia berusia 2 tahun. Saat itu ia hanya menggunakan popok kain berbentuk celana sehingga sudah terbiasa mengenali rasa ‘basah’ dan minta ganti popok. Saya pikir ‘oh kayaknya bisa dicoba toilet training, nih’. 

Kami pun mengajak si kecil membeli dua potty seat: yang berbentuk bangku dan yang bisa diletakkan di atas toilet. Kenyataannya si kecil hanya tertarik untuk bermain-main dengan potty seat. Ia malah menangis takut saat diajak untuk menggunakan potty di toilet. Lalu saat itu kami juga sibuk sekali menyiapkan kepindahan dari Malaysia ke Indonesia, yang kemudian dilanjutkan lagi ke Tromsø (kota di utara Norwegia yang posisinya berada di dalam lingkar kutub utara). 

Dari beberapa buku panduan toilet training yang pernah saya baca, disebutkan bahwa waktu-waktu transisi besar seperti kepindahan sekolah, pindah rumah, saat anak sakit atau saat anak baru disapih bukanlah waktu yang tepat untuk memulai proses toilet training. Jadilah toilet training-nya ditunda. Dengan alasan kepraktisan juga, si sulung masih menggunakan popok sekali pakai (pospak) selama perjalanan sampai tiba di Tromsø. 

Kami tiba di Tromsø di bulan Februari saat puncaknya musim dingin dan nyaris setiap hari badai salju. Saat itu si sulung berusia 2.5 tahun. Waktu itu selain membawa banyak lauk untuk ransum makanan selama seminggu, saya juga membawa bekal satu bungkus pospak untuk berjaga-jaga. Namun setelah empat hari tiba di Tromsø, badai salju tidak kunjung reda sementara… bekal pospak yang kami bawa sudah habis! 

Saat itu popok celana kain dan kedua potty seats yang kami beli juga ikut dibawa ke Tromsø. Seperti biasa, potty seats-nya dibuat mainan saja oleh si sulung. Dan saat itu si sulung mau duduk di potty seat di kamar mandi sambil menunggu saya ‘mengerjakan urusan’ di toilet. Ya, saat itu sampai ke kamar mandipun saya diikuti oleh si sulung. Kombinasi badai salju tak kunjung reda, kehabisan popok dan melihat si sulung akhirnya mau duduk di potty seat, akhirnya saya mulai saja proses toilet training. Dan berhasil! 

Setiap pagi setelah bangun tidur, saya ajak si kecil untuk pipis sekaligus poopy sambil menunggu saya. Jadi duduk berdua di toilet saja sampai ‘urusannya’ selesai. Begitu pula dengan siang, sore, dan malam sebelum tidur. Hanya butuh waktu seminggu dan sekali ‘kecelakaan’ mengompol, si sulung pun bebas tidak lagi memakai pospak. Lalu saat badai salju reda dan kami bisa ke supermarket, kami ajak si sulung mampir ke toko baju untuk memilih sendiri celana dalam dengan gambar tokoh kartun favoritnya.

Follow akun IG @ruanita.indonesia

Ketika lima bulan kemudian si sulung masuk barnehage (daycare) dan sudah genap berusia tiga tahun, ia sudah tidak lagi memakai popok. Sebelum ia masuk barnehage, kami ajari cara untuk memberi tahu kalau mau ke toilet dan cara untuk membersihkan diri menggunakan tissue. Selama di rumah, si sulung selalu kami bersihkan dengan air, namun di daycare biasanya hanya tersedia tissue/toilet paper saja. 

Saya komunikasikan juga kepada para gurunya bahwa kalau di rumah, si sulung selalu dibersihkan dengan air setelah buang air besar, sehingga mungkin jika di sekolah hanya dibersihkan dengan tissue ia akan merasa agak kering dan pedih. Guru-guru barnehage pun bisa mengerti dan menyediakan wet wipes atau tissue basah.

Fast forward ke sembilan tahun kemudian, ketika sudah ada si bungsu. Kami memutuskan untuk memasukkan si bungsu ke barnehage ketika ia berumur dua tahun. Namun saat itu banyak hal yang memengaruhi kemampuan adaptasi si bungsu di situasi barnehage yang asing buatnya, terutama setelah dua tahun pandemi. 

Saya agak ragu si bungsu bisa mulai toilet training sebelum masuk barnehage, apalagi kondisinya juga bersamaan dengan kami boyongan pindah rumah. Ketika berdiskusi dengan guru barnehage-nya, bu guru juga mengutarakan hal yang sama: sebaiknya toilet training nanti saja setelah si bungsu bisa beradaptasi dengan suasana baru di barnehage. 

Rentang usia yang cukup jauh antara si sulung dan bungsu ini membuat saya mengingat-ingat ulang cara toilet training si sulung dahulu. Untungnya Ruanita bersama psikolog Stephany Iriana membuat video yang sangat informatif mengenai proses toilet training pada tautan berikut: https://youtu.be/AWKl3o18Ehk

Stephany menjelaskan beberapa tanda yang orangtua perlu kenali seputar kesiapan anak untuk mulai toilet training. Beberapa tandanya adalah seperti berikut: 

  • anak sudah bisa berjalan dan bisa duduk dalam jangka waktu pendek, 
  • anak sudah bisa mengucapkan kata-kata pendek dan mengerti perintah sederhana, 
  • anak tertarik mengobservasi kegiatan orang lain,
  • popok anak bisa kering selama durasi dua jam,
  • anak bisa menunjukkan gesture yang mengisyaratkan,
  • anak tidak nyaman saat memakai diapers atau menolak dipakaikan,
  • anak bisa menunjukkan gesture yang mengisyaratkan kalau dia mau ke toilet,
  • anak mampu menarik atau menaikkan celananya,
  • anak dapat memahami instruksi atau kalimat perintah sederhana.

Satu tips yang Stephany bagi adalah biarkan anak memilih tipe potty seats yang ia mau gunakan, dan sediakan beberapa jenis potty yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda. Lalu untuk menyemangati anak, bisa coba memberikan rewards dalam bentuk stickers lucu setiap kali anak mencoba menggunakan toilet. Yang terpenting adalah orangtua jangan memaksakan anak untuk segera menggunakan potty. Sebagai awalnya, biarkan anak bermain dan bereksplorasi dengan potty seatsnya selama potty-nya bersih. 

Sampai saat ini si bungsu masih dalam proses membiasakan dirinya mengenali benda potty seats ini. Saat ini dia sudah mau duduk di potty di kamar mandi, tetapi tidak mau kalau celananya dilepas untuk mulai pipis. 

Namun dia sudah bisa memberi tahu kami setiap pagi saat dia mau poopy. Dan dia masih takut untuk duduk di potty yang dipasang di atas toilet dewasa karena kakinya menggantung (selain juga karena bagian dalam toiletnya seperti bolong besar), jadi nampaknya dia lebih memilih potty seats berbentuk bangku kecil. 

Minggu lalu waktu kami berdiskusi dengan guru barnehage, gurunya menjelaskan bahwa kini si bungsu sudah bisa popoknya kering selama dua jam lebih, dan jarang sekali poopy saat di sekolah. Namun dia masih pipis sekali di popoknya, biasanya setelah makan siang. Si bungsu juga menunjukkan ketertarikan saat melihat anak lain menggunakan potty di sekolah. 

Guru menjelaskan bahwa kalau mau, si bungsu sudah bisa memulai toilet training dan kami di rumah bisa bekerjasama dengan guru di barnehage. Nampaknya learning curve si bungsu dalam proses toilet training ini tidak secepat si sulung, tetapi tidak mengapa… kenyataannya memang beda anak bisa beda cara dan beda kesiapan dalam memulai toilet training.

Menurut saya, proses toilet training ini banyak faktor trial-error. Buat orangtua, harap diingat kalau accident happens. Ada kalanya anak bilang mau pipis atau poopy, sudah duduk di potty, eh ternyata malah tidak pipis atau poopy. Ini tidak masalah, nanti bisa dicoba lagi. Begitu pula ketika anak tiba-tiba kecolongan mengompol atau poopy di celana, ini juga tidak mengapa. 

Ini terjadi saat dulu si sulung toilet training; ia tampak malu saat kebablasan mengompol karena keasyikan bermain. Saya ajak saja ia untuk segera cebok sambil diberitahu pelan-pelan kalau next time mau pipis, langsung beritahu Mama ya. 

Untuk mama/papa, harap diingat kalau bekas pipis itu selalu bisa dibersihkan, dicuci dan dibereskan kok. Anggap saja bagian dari proses belajar. Kalau anak sampai mengompol, jangan dimarahi. Kalau anak dimarahi atau dipermalukan, ini bisa jadi boomerang karena anak jadi takut memberitahu kalau dia mau pipis atau poopy.

Apakah perlu mengajari toilet training sedini mungkin? Tergantung kebutuhan dan kesiapan anak, selain kesiapan orangtua juga. Mengajar toilet training butuh konsistensi dan kesabaran dari orangtua. Selain itu dari diskusi bersama guru, ia menyebutkan bahwa sebaiknya anak sudah toilet training sebelum usia empat tahun karena ini adalah salah satu indikasi kesiapan anak untuk belajar beradaptasi sebelum nanti masuk sekolah dasar. 

Belajar toilet training juga bukan hanya masalah semata lepas popok dan bisa menggunakan toilet, tetapi juga anak belajar untuk mengomunikasikan ketidaknyamanan, anak belajar membersihkan dirinya sendiri (bagian dari kemandirian), dan anak belajar untuk awas dengan body autonomy dan kondisi tubuhnya.

Beberapa masalah seperti sembelit bisa diantisipasi dengan orang tua mengingatkan anak untuk rajin minum air putih dan rutin makan sayur, buah-buahan dan yogurt (atau makanan probiotik lainnya seperti tempe). Namun kalau sampai anak jarang buang air kecil disertai demam, sebaiknya segera periksakan ke dokter untuk diperiksa apakah ada kemungkinan terkena infeksi saluran kemih (ISK).

Penulis: Aini Hanafiah (Akun IG: aini_hanafiah)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s