
Menjelang bulan Februari, toko-toko dekat rumahku telah diselimuti dengan cokelat, hiasan hati, pita-pita cantik, bunga dan lain sebagainya.
Sebagai penyuka cokelat, aku sangat menyenangi diskon-diskon spesial yang ditawarkan. Namun, setiap kali aku melihat plakat bertuliskan hari Valentine, aku hanya bisa mendengus. Hari kasih sayang? Menggelikan.
Bagiku, hari Valentine adalah hasil marketing yang sangat sukses. Entah perusahaan cokelat mana yang menggagaskan konsep hari kasih sayang di hari kematian seseorang yang dieksekusi secara tidak berperikemanusiaan?
Lucunya, gagasan ini diterima di seluruh dunia. Well, tentu ada beberapa orang yang menolak mentah-mentah konsep ini. Aku, misalnya. Beberapa kelompok religius juga menentang gagasan hari kasih sayang ini.
Argumen mereka, hari kasih sayang bisa dirayakan kapanpun. Aku sedikit setuju dengan pernyataan ini. Tapi, namanya manusia sangat suka dengan momentum. Apapun, lah! Aku hanya ingin cokelat mahal yang di-diskon. Sebenarnya, Valentine tidak jelek-jelek amat.
Cokelat diskon itu buktinya! Namun terkadang orang bisa sangat terobsesi dengan hari ini. Temanku sampai mengancam pacarnya kalau dia tidak membawanya ke restoran romantis dan memberinya kado Valentine, dia akan ngambek sejadi-jadinya.
Berlebihan, menurutku.
Tapi pernah suatu hari aku memberikan kado Valentine kepada mama. Beliau tidak pernah merayakan Valentine, namun kebetulan beliau sedang mengunjungiku di negara ini bertepatan dengan Valentine.
Senyum beliau saat menerima kado dariku sangatlah indah. Mungkin, di luar hal-hal aneh seperti obsesi Valentine dan asal-usulnya, Valentine tidak jelek-jelek amat.
Penulis: Nadia Millati, berdasarkan cerita seorang teman dari negara Asia Timur.