
Banyak orang mungkin bertanya bagaimana rasanya bekerja di luar negeri, apalagi berprofesi sebagai dosen di universitas, tempat Albert Einstein belajar. Ini adalah pengalamanku yang menantang sekaligus berharga supaya dapat tetap berkarya di mana pun berada.
Awalnya aku menetap di Swiss untuk menemani suami yang sedang melanjutkan studi PhD (S3) di Universität Zürich. Kami sempat menjalani Long Distance Marriage satu tahun sebelumnya, sehingga kemudian kuputuskan menyusul suami pada 2019. Tentu rasanya tak mudah meninggalkan pekerjaan dan rutinitas mengajar di Yogyakarta yang sudah kurintis sejak empat tahun terakhir, apalagi jika harus beranjak dari zona nyaman dan pindah ke negeri yang terkenal dengan kelezatan cokelatnya itu, suatu tempat yang benar-benar baru bagiku.
Menjadi pengajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) sebenarnya berawal dari sebuah ketidaksengajaan, saat aku melakukan perjalanan di Chiang Mai, Thailand, pada 2011 silam. Di negeri gajah putih ini aku melanjutkan studi S2 dengan jurusan yang sama dengan studi S1-ku, Sastra Inggris. Rupanya tawaran menjadi pengajar BIPA di Thailand telah memberiku pengalaman berkarir sebagai pengajar Bahasa Indonesia bagi Pemelajar Asing. Berbekal pengalaman dan pelatihan yang sering kuikuti, tak terasa aku menggeluti dunia ke-BIPA-an ini hingga sekarang.
Meski Bahasa Indonesia adalah bahasa ibu, ternyata mengajarkan Bahasa Indonesia bagi warga negara asing itu memiliki tantangan tersendiri. Selain setiap pemelajar memiliki karakteristiknya masing-masing, mengajarkan bahasa Indonesia kepada penutur asing juga menuntutku untuk memiliki keterampilan khusus dalam pemahaman lintas budaya. Hal ini penting untuk diketahui demi kelancaran proses pembelajaran di kelas. Misalnya, aku harus bisa menyesuaikan dengan budaya setempat seperti Swiss yang memiliki tiga bahasa sebagai pengantar sehari-hari yakni Bahasa Jerman, Bahasa Italia dan Bahasa Prancis.
Seorang pemelajar pernah mengkritikku karena aku tidak bisa mengajar dengan pengantar bahasa Prancis, melainkan hanya bisa berbahasa Inggris dan sedikit berbahasa Jerman saat menjelaskan materi tata bahasa. Aku sempat berkecil hati atas kritik tersebut, namun aku dapat segera menemukan solusi dengan menggunakan direct teaching method dengan bantuan media visual untuk memudahkan pemelajar dalam mempelajari bahasa Indonesia tanpa adanya bahasa perantara.
Tekanan psikologis lainnya tentu saja pernah kualami di negeri asing ini. Di awal mengajar, aku merasa sedikit kurang percaya diri, meskipun dengan pengalaman dan jam terbangku yang sudah lebih dari 10 tahun. Hal ini karena adanya kultur kerja yang berbeda dengan kampus tempatku dulu bekerja, ditambah juga dengan adanya karakteristik pemelajar Eropa yang cenderung lebih kritis dalam segala hal. Namun kemudian aku sadar bahwa aku bisa berada di sini karena aku mampu dan memang berkompeten dalam bidang yang aku tekuni saat ini. Pengalaman ini pula yang membuatku semakin semangat mengasah keterampilan mengajarkku melalui berbagai kegiatan webinar dan keterlibatanku dalam Afiliasi Pengajar BIPA se-Eropa, sebuah upaya agar aku tidak merasa sendiri dan mendapat support yang baik dari sesama pengajar BIPA di benua ini.
Sejak 2019 aku telah menikmati proses menantang sekaligus menarik sebagai Pengajar BIPA di Universität Zürich dan di KBRI Bern yang dibuka pada tahun berikutnya. Sebagai pengajar BIPA, aku harus berhadapan dengan pemelajar dengan latar belakang dan motivasi belajar yang beragam. Di Universität Zürich, BIPA adalah mata kuliah pilihan yang berbobot 6 ECTS (=Satuan Kredit Semester/SKS di Eropa), sedangkan kursus BIPA di KBRI Bern dibuka untuk masyarakat Swiss secara umum.
Dengan berbagai keterbatasanku saat tiba di Zurich dulu, aku sebenarnya tidak punya banyak pilihan, akan tetapi aku mencoba menciptakan peluang untuk diriku sendiri sehingga aku tetap bisa berkarya walaupun jauh dari rumah dan dari segala kenyamanannya. Bagaimana pun juga kita perlu berdamai dengan diri sendiri, yaitu dengan menerima dan menjalani setiap prosesnya. Suami dan anakku telah banyak mendukungku untuk bertumbuh dan menjadi pendengar sekaligus social support terbaik mana kala aku menghadapi kecemasan akan adaptasi lingkungan, pekerjaan, maupun permasalahan psikologis lainnya.
Sebagai pengajar BIPA, aku juga belajar banyak untuk membuka wawasan dan jejaring yang lebih luas lagi, dapat melihat Indonesia dari kacamata ‘luar’ yang semakin menumbuhkan kecintaan terhadap tanah air. Menjadi pengajar BIPA juga memberiku peluang di negeri asing untuk menjadi diriku sendiri. Kunci menjadi pengajar BIPA adalah pentingnya toleransi budaya agar dapat memahami konteks Bahasa Indonesia yang dipelajari pemelajar asing.
Bahasa ibu adalah identitas diri siapapun dan dari manapun kita berasal. Bahasa ibu adalah bahasa utama untuk mengenal dunia. Jangan sungkan untuk berbahasa Indonesia di mana pun kita berada. Jika warga negara asing saja mau belajar, mengapa kita mesti malu berbahasa Indonesia?
Penulis: Hesti Aryani, tinggal di Zurich