
Waktu sembilan tahun silam saat saya baru merantau, seorang teman pernah menyuarakan ‘keprihatinan’nya tentang pendidikan anak usia dini di Norwegia,
“Saya baca berita kalau di salah satu kommune, mereka mengajarkan sex education di barnehage. Lengkap dijelaskan bagaimana bayi bisa ada di perut ibu, lalu sebutan seperti penis dan vagina. Apa iya itu pantas diajarkan ke anak-anak? Nanti malah anak-anak jadi tahu hal-hal yang seharusnya belum pantas mereka ketahui, kan? Hati-hati lho kalau nanti nyari TK buat anak!”
Kala itu anak sulung saya masih berusia tiga tahun, dan kami sedang dalam waiting list pendaftaran barnehage (semacam daycare di Norwegia) dari kommune (setingkat kabupaten/kotamadya). Mendengar keluhan sang teman, saya jadi penasaran, seseram itukah kondisi aslinya di barnehage? Ketika membaca link berita yang dibagikan sang teman, ternyata sex education tersebut masih sebatas wacana usulan kommune (Pemda) setempat saja. Namun kejadian ini mengingatkan saya akan kondisi yang pernah saya pelajari di lapangan.
Sebelum berkeluarga dan merantau, saya mengajar sains di sekolah menengah pertama di Indonesia. Semasa mengajar, tim psikolog sekolah menerima banyak keluhan dari orang tua siswa yang khawatir akan bentuk materi ‘sex education’ -atau yang saya pilih sebut sebagai pendidikan kesehatan reproduksi- yang akan diajarkan di sekolah. Karena muatan pendidikan kespro ini lebih masuk ke pelajaran sains, jadilah saya digaet oleh tim kurikulum untuk menggodok materi pendidikan kespro tersebut bersama tim psikolog sekolah juga.
Yang saya pelajari tentang pendidikan kespro untuk anak ternyata luas sekali cakupannya. Tidak seperti yang kebanyakan orang khawatirkan bahwa ‘sex education’ artinya mengajarkan hal-hal tidak senonoh kepada anak. Sebenarnya pendidikan kesehatan reproduksi adalah untuk membangun pengetahuan anak secara bertahap dalam mengenali dirinya sebagai manusia yang berjenis kelamin, fitrah apa saja yang mengikutinya, serta bagaimana cara menjaganya sebagai bagian dari tubuh mereka. Dan ini semua bisa dimulai sejak anak masih usia dini atau balita. Kok bisa? Ya diajarkannya secara bertahap, age appropriately. Kalau bisa dikenalkan sedari balita, siapa lagi yang lebih tepat untuk mengajarkan kalau bukan orangtua.
Menurut saya pribadi, mau tinggal di Indonesia ataupun di perantauan, orang tua harus membekali diri dengan pengetahuan hal-hal apa saja yang bisa diajarkan ke anak usia dini sehubungan dengan pendidikan kesehatan reproduksi. Mengajarkan kesehatan reproduksi ke anak usia 0-2 tahun bisa dimulai dengan belajar nama-nama bagian tubuh mereka. Momen sehari-hari seperti saat mandi, ganti popok, atau ganti baju dapat dimanfaatkan untuk mengenalkan nama-nama bagian tubuh kepada anak.
Sedari usia 0-2 tahun ini juga anak sudah bisa diajak untuk untuk merawat dan menjaga kebersihan tubuhnya. Ketika anak harus ganti popok atau cebok, ajak sambil bahasakan aktivitas tersebut dengan santai dan tenang… cukup untuk mengenalkan anak dan membangun kebiasaan bahwa kalau setelah buang hajat ya harus dibersihkan, biar sehat. Sambil diajak, orang tua meminta izin seperti “Adek pipis/pup, jadi harus cebok/ganti popok ya biar bersih. Boleh papa/mama bantu yuk? Ayo kita ganti popok/cebok yuk?” lalu mengajak anak untuk ke kamar mandi buat cebok, atau untuk diganti popoknya. Kalau anak sudah terbiasa, bisa mulai dibekali dengan pesan bahwa hanya mama atau papa atau guru di TK yang boleh membantu cebok atau ganti popok, bukan orang lain.
Selain itu anak di rentang usia ini sudah bisa dikenalkan dengan konsep ‘malu’ kalau tubuhnya tidak berpakaian. Dulu saat si kecil habis mandi, untuk mengajaknya segera pakai baju saya bilang “Kalau badannya kebuka, malu ya? Ih malu. Yuk kita tutup handuk, lalu pakai baju”. Saya juga belajar bahwa kalau tiba-tiba anak lari telanjang setelah mandi, sebisa mungkin jangan ditertawakan atau kita menganggap itu lucu, apalagi sampai direkam atau difoto. Meski sebenarnya bisa jadi memang tampak lucu menggemaskan, tetapi sebaiknya tumbuhkan rasa malu pada anak saat mereka tidak berpakaian. Cukup datangi si kecil dengan tenang lalu bungkus dengan handuk dan gendong untuk dipakaikan baju.
Satu hal yang saya perhatikan saat melihat guru di barnehage mengganti popok si kecil adalah mereka terbiasa menyebut aktivitas seputar pipis, kentut atau buang hajat sebagai… ya aktivitas fisiologis biasa saja, layaknya yang manusia normal lakukan sehari-hari. Tidak ada eufimisme seperti ‘buang air’ atau ‘ke belakang’ untuk menyebut aktivitas buang hajat tersebut. Jadi kata-kata seperti ‘bæsj’ (kotoran berak), ‘tisse’ (pipis) dan ‘promp’ (kentut) biasa saja digunakan oleh balita-balita tersebut dengan guru mereka saat ganti popok atau minta ditemani ke toilet.
Begitu pula saat anak-anak balita ini sedang potty training, guru-guru akan mengingatkan mereka untuk ke toilet dan membantu si anak pipis di toilet dan membersihkan diri. Palingan untuk anak yang sudah besar, mereka akan minta izin dengan bilang ‘gå på do’ (pergi ke toilet). Gurunya pun akan membiarkan si anak masuk ke toilet dan membereskan urusannya sendiri, sementara si guru menunggu di luar toilet. Kalaupun si anak membutuhkan bantuan, anak akan langsung memintanya. Atau kalau gurunya merasa si anak terlalu lama di kamar mandi, mereka akan mengeceknya dengan bertanya apakah si anak butuh bantuan atau tidak.
Oh ya, dari sini juga penting buat orangtua tahu nama-nama seputar organ kelamin dan aktivitas buang hajat dalam bahasa lokal. Pernah ada kejadian anak seorang kenalan yang ketika sedang jalan-jalan berkali-kali meminta ‘Adek tisse, papa… adek mau tisse!” dan sang papa bingung ‘tisse’ itu apa. Untung si anak tidak sampai keburu mengompol di jalan.
Selain itu, tidak ada rasa malu yang bercampur rasa bersalah saat anak-anak merasa harus buang hajat atau ganti popok. Kalaupun ada yang mengompol, yah… accident happens. Karena anak-anak tidak merasa ketakutan, ketika mengompol di popok atau saat mereka merasa butuh ke toilet maka mereka tidak ragu meminta bantuan ke guru. Ini berbeda sekali dengan pengalaman pribadi saya waktu kecil yang kalau mau pipis saja harus sampai bisik-bisik minta izin karena dianggap saru, atau saat melihat keponakan dimarahi sampai menangis hanya karena mengompol yang kemudian justru memperparah ngompolnya.
Yang saya perhatikan ketika si sulung berusia 3-4 tahun, ia sudah tahu bahwa penampakan fisik anak laki-laki dan perempuan berbeda. Anak-anak di usia ini selain memperhatikan tubuh mereka, mereka juga memperhatikan tubuh anak-anak lain. Dulu anak saya membuat observasi awalnya sebagai teman-temannya yang perempuan suka pakai rok dan rambutnya panjang, sementara teman-teman lelaki rambutnya pendek dan pakai celana.
Di rentang umur ini pula si sulung mulai bertanya, mengapa pipis perempuan dan laki-laki berbeda. Di sini akhirnya kami ajari si kecil bahwa ‘alat pipis’ manusia itu diciptakan oleh Tuhan ada dua jenis, itulah yang menjadikan mereka perempuan atau lelaki. Kami ajarkan juga bahwa penis adalah nama untuk organ kelamin laki-laki, dan vulva untuk organ kelamin perempuan. Saya pribadi awalnya merasa aneh menyebut penis atau vulva, secara waktu kecil kenalnya sebutan ‘dompet’ atau ‘burung’. Tetapi kemudian yang muncul di benak adalah bagaimana kalau keterusan membahasakan organ kelamin sebagai burung atau dompet, lalu anaknya lihat hewan burung atau aksesoris dompet dan malah jadi bingung sendiri? Lah sampai sekarang saya juga heran kenapa harus disebutnya ‘burung’ atau ‘dompet’ sih, hahaha! Apalagi sama istilah ‘birds and bees’.
Ketika si kecil masuk usia 5 tahun, dari pengalaman saya sih sudah bertanya ‘Baby itu dari mana, Mama? Kok bisa ada di dalam perut mamanya?’ Nah, ini dia.
Ada kalanya kita sebagai orangtua kaget mendengar pertanyaan anak. Ini wajar, secara kebanyakan dari kita tumbuh di masa yang berbeda dengan anak-anak kita sekarang, dengan batasan pengetahuan yang berbeda pula. Dari pengalaman sewaktu mengajar, di situ saya belajar bahwa untuk menjawab pertanyaan anak, selalu mulai dari apa yang sudah diketahui oleh anak.
Untuk mencari tahu, seringkali saya balik bertanya, “What do you think?” atau “What do you know so far about that?”. I mean, seorang anak usia empat tahun mungkin tidak butuh jawaban saintifik lengkap mengenai proses konsepsi dan sexual intercourse saat mereka bertanya “baby itu dari mana, Mama? Kok bisa ada di dalam perut mamanya?” Mungkin setelah kita tarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, try buying time by asking, “Hmm, kalau menurut kamu, bagaimana?”. Dengarkan saja dulu jawaban dari anak, dan ini akan bersambung ke poin selanjutnya,
Berikan informasi secukupnya, berikan jawaban sesuai fakta (sebaiknya hindari jawaban yang mengandung mitos), serta -bila diperlukan- perbaiki informasi yang anak salah tangkap. Waktu itu saya hanya jawab, “Well, the baby grows in a special place called a womb. That special place only presents in a mother’s tummy, with a help from the father. The baby will be held closed to the mother’s heart, warm and snuggled. Do you want to feel how warm the baby inside the mother’s tummy? It’s the same like being hug by me. Here, let me hug you!” Waktu itu sih anaknya langsung mau saya peluk sambil ketawa-ketawa, sambil ditimang-timang serasa kembali menjadi bayi. Dan untuk sementara, saya pun terselamatkan dari pertanyaan yang lebih ajaib lagi, haha!
Senangnya lagi, di perpustakaan lokal dan di toko buku online seperti Bookdepository saya menemukan banyak buku cerita yang membantu saya menjelaskan soal human body dan bahasan kesehatan reproduksi ini kepada si kecil. Dan ada banyak buku yang penjelasannya dibikin sesuai rentang usia anak, mau dari 2 tahun sampai buku tentang pubertas untuk dibaca anak-anak usia 6-8 tahun pun ada.
Momen obrolan di usia prasekolah ini juga saya jadikan sebagai kesempatan untuk ‘menyisipkan’ beberapa nilai religius kepada anak. Ini tentunya kembali ke keyakinan masing-masing orangtua, ya. Saat itu momen ini juga saya pakai untuk mengecek bagaimana perasaan anak tentang topik tersebut, selain juga untuk menyampaikan perasaan dan nilai-nilai yang kita anut kepada anak. Misalnya, waktu itu anak saya bertanya tentang salah satu anggota keluarga kami yang sudah lama belum memiliki anak. Ini saya jawab dengan, ‘Sometimes people will have a baby when they are ready, but sometimes it’s the other way around. And they will continue to exert their love toward people that they care most. In this case,it’s like my aunt and my uncle who are so devoted to you and loving you like a little princess!”
Perlu dipahami juga bahwa di usia ini, anak akan -dan akan selalu- membuat observasinya sendiri, dari melihat hal-hal yang ada di sekitarnya. Adalah penting untuk membuat anak merasa aman dan nyaman saat menyampaikan hasil observasinya tersebut. Ketika misalnya orangtua merasa kaget atau tidak nyaman saat mendengar hasil observasi anak, just take a deep breath… and buy your time by asking, “what do you think?” Dan kalau kita tidak bisa menemukan jawabannya saat itu juga, it’s ok to say “I don’t know… yet”. Mungkin bisa juga dilanjutkan dengan, “Maybe later we can go to the library and find the answer from a book about human body. How about that?”
Dari pengalaman yang sudah-sudah sih, ketika anak berumur 5-6 tahun ini saya mulai mendapatkan beberapa pertanyaan yang cukup bikin deg-degan. Dan seiring dengan bertambah luasnya dunia anak, sebelum ia masuk SD kami bekali dengan pengetahuan tentang ‘stranger danger’. Seperti, mengingatkan anak bahwa tidak ada orang lain yang boleh memegang bagian manapun di tubuhnya, kecuali kalau ia butuh bantuan, atau kalau sedang sakit mau diperiksa dokter yang mana papa atau mama pun akan turut berada di ruang periksa. Kami juga membiasakan untuk bertanya terlebih dahulu ke anak, meski seremeh “Wanna hug?” atau “Hold my hand, please?”. Ternyata di barnehage pun guru-gurunya mengajarkan hal yang sama, tiap kali hendak berpelukan, selalu bertanya terlebih dahulu “Stor klem?” (big hug). Selain itu si kecil juga kami ajari untuk berkata “Tidak” (dan kalau perlu segera lari menghindar atau melawan) bila ia tidak merasa nyaman untuk kontak fisik apapun. Normalkan penggunaan kata “Tidak” untuk mulai mengajarkan anak tentang boundaries & consent. Ajari pula anak untuk menyampaikan secara langsung kepada orangtua bila ia mengalami rasa sakit dan tidak nyaman terhadap perlakuan orang lain.
Sebagai orang Asia juga, biasanyanya kita memiliki kebiasaan yang berbeda seputar urusan membersihkan diri seusai buang hajat. Ini saya sampaikan di awal ke guru saat si kecil akan mulai masuk barnehage. Saya bilang bahwa di rumah biasanya si kecil saya bersihkan dengan kucuran air dan tisu wipes, jadi mungkin anak saya awal-awal akan merasa tidak terlalu nyaman hanya menggunakan tisu saja. Untungnya guru di sekolah bisa menerima informasi ini dan menjelaskan bahwa saat mengganti popok di barnehage, guru akan selalu mengenakan sarung tangan sekali pakai, dan anak-anak akan dibersihkan menggunakan tisu dan air agar semua kotorannya bersih terangkat.
Tidak ada kata ‘terlalu awal’ untuk ngobrol dengan anak seputar bahasan kesehatan reproduksi ini. Bahkan ternyata bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana. Kenyataannya, anak hanya bisa merasa nyaman membangun dialog dengan orangtua seputar bahasan ini kalau orangtua bisa membangun rasa percaya dan aman dalam diri anak terlebih dahulu. Ini adalah landasan penting untuk hubungan orangtua dan anak. Tentunya ini tidak dibangun hanya dari sekali percakapan; ini adalah dialog yang berlanjut antara orang tua dan anak, dibangun dari percakapan-percakapan kecil yang berlanjut dan berkembang seiring dengan pertumbuhan anak.
Penting bagi anak-anak untuk merasa aman dan nyaman, agar bisa jujur datang ke orangtua untuk mendapatkan informasi yang dapat dipercaya. Percakapan yang terbuka dan jujur yang dibangun sedari anak berusia dini akan sangat membantu kita -sebagai orangtua- untuk dapat membuka dialog-dialog selanjutnya dengan lebih mudah. Pesan yang penting adalah agar anak tidak perlu merasa malu atau takut bertanya tentang seks kepada orangtua. Dialog yang orangtua bangun bersama anak akan menjadi dasar bagi anak-anak untuk mencari informasi yang tepat, dan nantinya membantu mereka membuat pilihan yang sehat tentang kesehatan reproduksi mereka.
Penulis: Aini Hanafiah, tinggal di Norwegia