(CERITA SAHABAT) Begini Cara Saya Ajarkan Sex Education pada Anak Usia Dini di Norwegia

Waktu sembilan tahun silam saat saya baru merantau, seorang teman pernah menyuarakan ‘keprihatinan’nya tentang pendidikan anak usia dini di Norwegia, 

“Saya baca berita kalau di salah satu kommune, mereka mengajarkan sex education di barnehage. Lengkap dijelaskan bagaimana bayi bisa ada di perut ibu, lalu sebutan seperti penis dan vagina. Apa iya itu pantas diajarkan ke anak-anak? Nanti malah anak-anak jadi tahu hal-hal yang seharusnya belum pantas mereka ketahui, kan? Hati-hati lho kalau nanti nyari TK buat anak!”

Kala itu anak sulung saya masih berusia tiga tahun, dan kami sedang dalam waiting list pendaftaran barnehage (semacam daycare di Norwegia) dari kommune (setingkat kabupaten/kotamadya). Mendengar keluhan sang teman, saya jadi penasaran, seseram itukah kondisi aslinya di barnehage? Ketika membaca link berita yang dibagikan sang teman, ternyata sex education tersebut masih sebatas wacana usulan kommune (Pemda) setempat saja. Namun kejadian ini mengingatkan saya akan kondisi yang pernah saya pelajari di lapangan. 

Sebelum berkeluarga dan merantau, saya mengajar sains di sekolah menengah pertama di Indonesia. Semasa mengajar, tim psikolog sekolah menerima banyak keluhan dari orang tua siswa yang khawatir akan bentuk materi ‘sex education’ -atau yang saya pilih sebut sebagai pendidikan kesehatan reproduksi- yang akan diajarkan di sekolah. Karena muatan pendidikan kespro ini lebih masuk ke pelajaran sains, jadilah saya digaet oleh tim kurikulum untuk menggodok materi pendidikan kespro tersebut bersama tim psikolog sekolah juga. 

Yang saya pelajari tentang pendidikan kespro untuk anak ternyata luas sekali cakupannya. Tidak seperti yang kebanyakan orang khawatirkan bahwa ‘sex education’ artinya mengajarkan hal-hal tidak senonoh kepada anak. Sebenarnya pendidikan kesehatan reproduksi adalah untuk membangun pengetahuan anak secara bertahap dalam mengenali dirinya sebagai manusia yang berjenis kelamin, fitrah apa saja yang mengikutinya, serta bagaimana cara menjaganya sebagai bagian dari tubuh mereka. Dan ini semua bisa dimulai sejak anak masih usia dini atau balita. Kok bisa? Ya diajarkannya secara bertahap, age appropriately. Kalau bisa dikenalkan sedari balita, siapa lagi yang lebih tepat untuk mengajarkan kalau bukan orangtua.

Menurut saya pribadi, mau tinggal di Indonesia ataupun di perantauan, orang tua harus membekali diri dengan pengetahuan hal-hal apa saja yang bisa diajarkan ke anak usia dini sehubungan dengan pendidikan kesehatan reproduksi. Mengajarkan kesehatan reproduksi ke anak usia 0-2 tahun bisa dimulai dengan belajar nama-nama bagian tubuh mereka. Momen sehari-hari seperti saat mandi, ganti popok, atau ganti baju dapat dimanfaatkan untuk mengenalkan nama-nama bagian tubuh kepada anak. 

Sedari usia 0-2 tahun ini juga anak sudah bisa diajak untuk untuk merawat dan menjaga kebersihan tubuhnya. Ketika anak harus ganti popok atau cebok, ajak sambil bahasakan aktivitas tersebut dengan santai dan tenang… cukup untuk mengenalkan anak dan membangun kebiasaan bahwa kalau setelah buang hajat ya harus dibersihkan, biar sehat. Sambil diajak, orang tua meminta izin seperti “Adek pipis/pup, jadi harus cebok/ganti popok ya biar bersih. Boleh papa/mama bantu yuk? Ayo kita ganti popok/cebok yuk?” lalu mengajak anak untuk ke kamar mandi buat cebok, atau untuk diganti popoknya. Kalau anak sudah terbiasa, bisa mulai dibekali dengan pesan bahwa hanya mama atau papa atau guru di TK yang boleh membantu cebok atau ganti popok, bukan orang lain. 

Selain itu anak di rentang usia ini sudah bisa dikenalkan dengan konsep ‘malu’ kalau tubuhnya tidak berpakaian. Dulu saat si kecil habis mandi, untuk mengajaknya segera pakai baju saya bilang “Kalau badannya kebuka, malu ya? Ih malu. Yuk kita tutup handuk, lalu pakai baju”. Saya juga belajar bahwa kalau tiba-tiba anak lari telanjang setelah mandi, sebisa mungkin jangan ditertawakan atau kita menganggap itu lucu, apalagi sampai direkam atau difoto. Meski sebenarnya bisa jadi memang tampak lucu menggemaskan, tetapi sebaiknya tumbuhkan rasa malu pada anak saat mereka tidak berpakaian. Cukup datangi si kecil dengan tenang lalu bungkus dengan handuk dan gendong untuk dipakaikan baju.  

Satu hal yang saya perhatikan saat melihat guru di barnehage mengganti popok si kecil adalah mereka terbiasa menyebut aktivitas seputar pipis, kentut atau buang hajat sebagai… ya aktivitas fisiologis biasa saja, layaknya yang manusia normal lakukan sehari-hari. Tidak ada eufimisme seperti ‘buang air’ atau ‘ke belakang’ untuk menyebut aktivitas buang hajat tersebut. Jadi kata-kata seperti ‘bæsj’ (kotoran berak), ‘tisse’ (pipis) dan ‘promp’ (kentut) biasa saja digunakan oleh balita-balita tersebut dengan guru mereka saat ganti popok atau minta ditemani ke toilet.

Follow us: @ruanita.indonesia

Begitu pula saat anak-anak balita ini sedang potty training, guru-guru akan mengingatkan mereka untuk ke toilet dan membantu si anak pipis di toilet dan membersihkan diri.  Palingan untuk anak yang sudah besar, mereka akan minta izin dengan bilang ‘gå på do’ (pergi ke toilet). Gurunya pun akan membiarkan si anak masuk ke toilet dan membereskan urusannya sendiri, sementara si guru menunggu di luar toilet. Kalaupun si anak membutuhkan bantuan, anak akan langsung memintanya. Atau kalau gurunya merasa si anak terlalu lama di kamar mandi, mereka akan mengeceknya dengan bertanya apakah si anak butuh bantuan atau tidak. 

Oh ya, dari sini juga penting buat orangtua tahu nama-nama seputar organ kelamin dan aktivitas buang hajat dalam bahasa lokal. Pernah ada kejadian anak seorang kenalan yang ketika sedang jalan-jalan berkali-kali meminta ‘Adek tisse, papa… adek mau tisse!” dan sang papa bingung ‘tisse’ itu apa. Untung si anak tidak sampai keburu mengompol di jalan.

Selain itu, tidak ada rasa malu yang bercampur rasa bersalah saat anak-anak merasa harus buang hajat atau ganti popok. Kalaupun ada yang mengompol, yah… accident happens. Karena anak-anak tidak merasa ketakutan, ketika mengompol di popok atau saat mereka merasa butuh ke toilet maka mereka tidak ragu meminta bantuan ke guru. Ini berbeda sekali dengan pengalaman pribadi saya waktu kecil yang kalau mau pipis saja harus sampai bisik-bisik minta izin karena dianggap saru, atau saat melihat keponakan dimarahi sampai menangis hanya karena mengompol yang kemudian justru memperparah ngompolnya. 

Yang saya perhatikan ketika si sulung berusia 3-4 tahun, ia sudah tahu bahwa penampakan fisik anak laki-laki dan perempuan berbeda. Anak-anak di usia ini selain memperhatikan tubuh mereka, mereka juga memperhatikan tubuh anak-anak lain. Dulu anak saya membuat observasi awalnya sebagai teman-temannya yang perempuan suka pakai rok dan rambutnya panjang, sementara teman-teman lelaki rambutnya pendek dan pakai celana. 

Di rentang umur ini pula si sulung mulai bertanya, mengapa pipis perempuan dan laki-laki berbeda. Di sini akhirnya kami ajari si kecil bahwa ‘alat pipis’ manusia itu diciptakan oleh Tuhan ada dua jenis, itulah yang menjadikan mereka perempuan atau lelaki. Kami ajarkan juga bahwa penis adalah nama untuk organ kelamin laki-laki, dan vulva untuk organ kelamin perempuan. Saya pribadi awalnya merasa aneh menyebut penis atau vulva, secara waktu kecil kenalnya sebutan ‘dompet’ atau ‘burung’. Tetapi kemudian yang muncul di benak adalah bagaimana kalau keterusan membahasakan organ kelamin sebagai burung atau dompet, lalu anaknya lihat hewan burung atau aksesoris dompet dan malah jadi bingung sendiri? Lah sampai sekarang saya juga heran kenapa harus disebutnya ‘burung’ atau ‘dompet’ sih, hahaha! Apalagi sama istilah ‘birds and bees’.

Ketika si kecil masuk usia 5 tahun, dari pengalaman saya sih sudah bertanya ‘Baby itu dari mana, Mama? Kok bisa ada di dalam perut mamanya?’ Nah, ini dia. 

Ada kalanya kita sebagai orangtua kaget mendengar pertanyaan anak. Ini wajar, secara kebanyakan dari kita tumbuh di masa yang berbeda dengan anak-anak kita sekarang, dengan batasan pengetahuan yang berbeda pula. Dari pengalaman sewaktu mengajar, di situ saya belajar bahwa untuk menjawab pertanyaan anak, selalu mulai dari apa yang sudah diketahui oleh anak. 

Untuk mencari tahu, seringkali saya balik bertanya, “What do you think?” atau “What do you know so far about that?”. I mean, seorang anak usia empat tahun mungkin tidak butuh jawaban saintifik lengkap mengenai proses konsepsi dan sexual intercourse saat mereka bertanya “baby itu dari mana, Mama? Kok bisa ada di dalam perut mamanya?” Mungkin setelah kita tarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, try buying time by asking, “Hmm, kalau menurut kamu, bagaimana?”. Dengarkan saja dulu jawaban dari anak, dan ini akan bersambung ke poin selanjutnya,

Berikan informasi secukupnya, berikan jawaban sesuai fakta (sebaiknya hindari jawaban yang mengandung mitos), serta -bila diperlukan- perbaiki informasi yang anak salah tangkap. Waktu itu saya hanya jawab, “Well, the baby grows in a special place called a womb. That special place only presents in a mother’s tummy, with a help from the father. The baby will be held closed to the mother’s heart, warm and snuggled. Do you want to feel how warm the baby inside the mother’s tummy? It’s the same like being hug by me. Here, let me hug you!” Waktu itu sih anaknya langsung mau saya peluk sambil ketawa-ketawa, sambil ditimang-timang serasa kembali menjadi bayi. Dan untuk sementara, saya pun terselamatkan dari pertanyaan yang lebih ajaib lagi, haha! 

Senangnya lagi, di perpustakaan lokal dan di toko buku online seperti Bookdepository saya menemukan banyak buku cerita yang membantu saya menjelaskan soal human body dan bahasan kesehatan reproduksi ini kepada si kecil. Dan ada banyak buku yang penjelasannya dibikin sesuai rentang usia anak, mau dari 2 tahun sampai buku tentang pubertas untuk dibaca anak-anak usia 6-8 tahun pun ada. 

Momen obrolan di usia prasekolah ini juga saya jadikan sebagai kesempatan untuk ‘menyisipkan’ beberapa nilai religius kepada anak. Ini tentunya kembali ke keyakinan masing-masing orangtua, ya. Saat itu momen ini juga saya pakai untuk mengecek bagaimana perasaan anak tentang topik tersebut, selain juga untuk menyampaikan perasaan dan nilai-nilai yang kita anut kepada anak. Misalnya, waktu itu anak saya bertanya tentang salah satu anggota keluarga kami yang sudah lama belum memiliki anak. Ini saya jawab dengan, ‘Sometimes people will have a baby when they are ready, but sometimes it’s the other way around. And they will continue to exert their love toward people that they care most. In this case,it’s like my aunt and my uncle who are so devoted to you and loving you like a little princess!”

Perlu dipahami juga bahwa di usia ini, anak akan -dan akan selalu- membuat observasinya sendiri, dari melihat hal-hal yang ada di sekitarnya. Adalah penting untuk membuat anak merasa aman dan nyaman saat menyampaikan hasil observasinya tersebut. Ketika misalnya orangtua merasa kaget atau tidak nyaman saat mendengar hasil observasi anak, just take a deep breath… and buy your time by asking,what do you think?” Dan kalau kita tidak bisa menemukan jawabannya saat itu juga, it’s ok to say “I don’t know… yet”. Mungkin bisa juga dilanjutkan dengan, “Maybe later we can go to the library and find the answer from a book about human body. How about that?”

Dari pengalaman yang sudah-sudah sih, ketika anak berumur 5-6 tahun ini saya mulai mendapatkan beberapa pertanyaan yang cukup bikin deg-degan. Dan seiring dengan bertambah luasnya dunia anak, sebelum ia masuk SD kami bekali dengan pengetahuan tentang ‘stranger danger’. Seperti, mengingatkan anak bahwa tidak ada orang lain yang boleh memegang bagian manapun di tubuhnya, kecuali kalau ia butuh bantuan, atau kalau sedang sakit mau diperiksa dokter yang mana papa atau mama pun akan turut berada di ruang periksa.  Kami juga membiasakan untuk bertanya terlebih dahulu ke anak, meski seremeh “Wanna hug?” atau “Hold my hand, please?”. Ternyata di barnehage pun guru-gurunya mengajarkan hal yang sama, tiap kali hendak berpelukan, selalu bertanya terlebih dahulu “Stor klem?” (big hug). Selain itu si kecil juga kami ajari untuk berkata “Tidak” (dan kalau perlu segera lari menghindar atau melawan) bila ia tidak merasa nyaman untuk kontak fisik apapun. Normalkan penggunaan kata “Tidak” untuk mulai mengajarkan anak tentang boundaries & consent. Ajari pula anak untuk menyampaikan secara langsung kepada orangtua bila ia mengalami rasa sakit dan tidak nyaman terhadap perlakuan orang lain.

Sebagai orang Asia juga, biasanyanya kita memiliki kebiasaan yang berbeda seputar urusan membersihkan diri seusai buang hajat. Ini saya sampaikan di awal ke guru saat si kecil akan mulai masuk barnehage. Saya bilang bahwa di rumah biasanya si kecil saya bersihkan dengan kucuran air dan tisu wipes, jadi mungkin anak saya awal-awal akan merasa tidak terlalu nyaman hanya menggunakan tisu saja. Untungnya guru di sekolah bisa menerima informasi ini dan menjelaskan bahwa saat mengganti popok di barnehage, guru akan selalu mengenakan sarung tangan sekali pakai, dan anak-anak akan dibersihkan menggunakan tisu dan air agar semua kotorannya bersih terangkat.

Tidak ada kata ‘terlalu awal’ untuk ngobrol dengan anak seputar bahasan kesehatan reproduksi ini. Bahkan ternyata bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana. Kenyataannya, anak hanya bisa merasa nyaman membangun dialog dengan orangtua seputar bahasan ini kalau orangtua bisa membangun rasa percaya dan aman dalam diri anak terlebih dahulu. Ini adalah landasan penting untuk hubungan orangtua dan anak. Tentunya ini tidak dibangun hanya dari sekali percakapan; ini adalah dialog yang berlanjut antara orang tua dan anak, dibangun dari percakapan-percakapan kecil yang berlanjut dan berkembang seiring dengan pertumbuhan anak.

Penting bagi anak-anak untuk merasa aman dan nyaman, agar bisa jujur datang ke orangtua untuk mendapatkan informasi yang dapat dipercaya. Percakapan yang terbuka dan jujur yang dibangun sedari anak berusia dini akan sangat membantu kita -sebagai orangtua- untuk dapat membuka dialog-dialog selanjutnya dengan lebih mudah. Pesan yang penting adalah agar anak tidak perlu merasa malu atau takut bertanya tentang seks kepada orangtua. Dialog yang orangtua bangun bersama anak akan menjadi dasar bagi anak-anak untuk mencari informasi yang tepat, dan nantinya membantu mereka membuat pilihan yang sehat tentang kesehatan reproduksi mereka.

Penulis: Aini Hanafiah, tinggal di Norwegia

(IG LIVE) Bagaimana Prosedur dan Adaptasi Anak di Daycare di Eropa?

JERMAN – IG Live Episode Maret 2022 mengambil tema tentang Daycare di Eropa. Seperti biasa, Atika mengundang dua orang tamu yakni Hesti Aryani (akun IG: hestiaryani) yang kini menetap di Zürich, Swiss dan Juwita (akun IG: juwitanzl) yang menetap di Gerestried, sekitar 30 menit dari Kota Munich, Jerman. Mereka berdua akan cerita bagaimana pengalaman mendaftarkan anak di Daycare. Lebih lanjut mereka bercerita prosedur dan biaya yang diperlukan untuk mendaftarkan anak. Tak lupa, mereka bercerita menangani anak untuk beradaptasi di Daycare, yang terasa asing secara budaya untuk anak-anak mereka.

Juwita memiliki seorang putra berumur 3 tahun, yang sekarang masih bersekolah di Kinderkrippe (semacam Playgroup di Jerman) sejak tahun lalu. Awal pendidikan di Jerman dimulai sejak September tiap tahun. Jika orang tua ingin mendaftarkan anak ke Daycare di Jerman, orang tua perlu mendaftarkan secara online melalui website yang tersedia oleh pemerintah setempat. Orang tua di Jerman biasanya lebih sulit mendaftarkan anak di Daycare karena perlu menunggu antrian, terutama mereka yang tinggal di kota besar. Juwita sempat tertunda setahun untuk mendapatkan Daycare, yang jaraknya tak jauh dari rumah tinggal. Kemudian ia mendaftarkan ulang di website dan berhasil mendapatkan Daycare yang letaknya sedikit lebih jauh dari rumah tinggal.

Di Jerman, pendaftaran anak di Daycare gratis sementara biaya Daycare bergantung pada kebijakan dan fasilitas yang tersedia. Pengalaman Juwita yang menyekolahkan anak di Daycare milik pemerintah setempat, dia harus membayar uang makan untuk anak selama di Daycare. Pembayaran Daycare bergantung pada lamanya anak tinggal di Daycare. Juwita bercerita dia harus membayar 450€ per bulan selama 8 jam di Kinderkrippe/Playgroup. Pembayaran Taman Kanak-kanak di Jerman sebenarnya jauh lebih murah, sekitar 280€ per bulan.

Tak jauh berbeda dengan Juwita, Hesti yang tinggal di Zürich bertutur pengalaman anaknya yang sekarang berumur 4 tahun dan sedang memasuki Taman Kanak-kanak. Prosedur memasukkan anak ke Taman Kanak-kanak berdasarkan pengalaman Hesti, lebih mudah karena Universitas yang menjadi tempat bekerjanya telah menyediakan fasilitas tersebut. Pencarian Daycare di kota besar di Swiss pun tak jauh berbeda dengan di Jerman. Bahkan saat seorang ibu sedang hamil besar, dia bisa saja sudah mulai mencari tahu Daycare yang tersedia untuk anaknya kelak. Pemerintah Swiss biasanya lebih memprioritaskan anak-anak dari kedua orang tua yang bekerja.

“Saya bekerja hanya 40 persen dalam satu minggu, sehingga slot anak saya bisa terpakai untuk anak lain yang membutuhkan” kata Hesti. Salah satu syarat di Swiss adalah orang tua perlu menginformasikan bukti vaksin yang diterima sebelumnya oleh anak dengan menyerahkan buku vaksin. Syarat vaksin di Daycare di Swiss tidak wajib. Pembayaran Daycare di Swiss ditentukan berdasarkan lama anak dalam hitungan “Half Day” dan “Full Day”. “Half Day” berarti anak tidak mendapatkan makan siang selama di Daycare. Uniknya, pembayaran Daycare dihitung per hari. Harganya bisa bervariasi. Hesti menuturkan ia membayar 135 Franc Swiss atau sekitar 135€ per hari. Oleh sebab itu, orang tua perlu memikirkan ulang untuk memasukkan anak di Daycare di Swiss. Hesti menambahkan semakin kecil anak dititipkan di Daycare maka semakin mahal biayanya. Misalnya anak umur 4 bulan sudah bisa dititipkan ke Daycare dengan estimasi biaya 180 Franc Swiss per hari. Hesti memperkirakan jika orang tua menitipkan anak di Daycare selama sebulan, maka estimasi biayanya sekitar 2.400 Franc Swiss.

Pengalaman menarik dari Hesti yang datang sebagai akademisi, dia mendapatkan tawaran program integrasi untuk anaknya. Program Integrasi ini, seperti belajar Bahasa Jerman dan biasanya diikuti oleh anak-anak yang berasal dari keluarga pendatang di Swiss. Biaya program ini disubsidi oleh pemerintah lokal. Selain itu, pemerintah di Swiss juga memperhitungkan income dari kedua orang tua untuk mendapatkan potongan pembiayaan anak di Daycare. Taman kanak-kanak atau yang disebut Kindergarten dalam Bahasa Jerman merupakan fasilitas yang gratis dan disediakan oleh pemerintah. Memang usia terberat untuk membiayai anak-anak adalah pada saat anak-anak membutuhkan Daycare, anak-anak yang belum bisa masuk ke Taman Kanak-kanak.

Bagaimana mengatasi adaptasi anak di Daycare?

Juwita menceritakan proses adaptasi untuk anaknya berlaku selama sebulan. Hal itu semacam kebijakan yang umumnya berlaku di Jerman, di mana orang tua bisa bersama anak di Daycare yang  kemudian dilepas bertahap. Juwita melihat anaknya bisa bersosialisasi baik dengan sesama anak-anak lainnya setelah dua minggu anaknya masuk Kinderkrippe/Playgroup.

Sebagaimana cerita Juwita, Hesti juga mengamini bahwa tersedia kebijakan adaptasi di Daycare untuk anaknya di Swiss yang berlaku selama dua bulan. Proses adaptasi ini sangat diperlukan untuk anak-anak agar pengalaman pertama di Daycare ini tidak membuat anak trauma. Oleh karena itu, Hesti tidak bisa meninggalkan anaknya selama proses adaptasi, meskipun anaknya sudah bisa bersosialisasi dengan baik dalam hitungan sebulan.  Orang tua wajib berada di Daycare selama dua bulan pertama sesuai tahapan kebijakan yang diberikan oleh Daycare. Orang tua juga tidak boleh langsung meninggalkan anak, tanpa mengucapkan perpisahan. Bagaimana pun anak perlu diberitahukan jika orang tua mereka pergi, meskipun anak menangis karena mereka berpisah dari orang tua mereka.

Hesti melihat bahwa anaknya begitu menyenangi fasilitas dan suasana Daycare yang tersedia, tetapi ada kendala pada bahasa yang terdengar asing untuk anaknya. Dahulu Hesti tinggal di Yogyakarta di mana anak sehari-hari lebih banyak mendengarkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Hesti tidak mengajarkan bahasa asing sedikit pun kepada anaknya.

Apa manfaat Daycare?

Juwita merasakan manfaat anaknya berada di Daycare, terutama untuk kefasihan berbahasa anak. Sebagai pelaku kawin campur, Juwita merasa anaknya memiliki kemampuan berbahasa yang sangat cepat selama di Daycare. Sebelum anak masuk di Daycare, Juwita melihat bagaimana anaknya kesulitan dalam berkomunikasi. Setelah anaknya masuk di Daycare, kosakata anak berkembang lebih cepat. Anak juga belajar disiplin seperti anak bisa makan sendiri. Juwita merasakan manfaat Daycare untuk anaknya.

Serupa dengan Juwita, Hesti juga merasakan manfaat yang besar dari memasukkan anak ke Daycare. Anak bisa belajar rules, ada tahapan anak menjadi mandiri. Anak juga mengobservasi anak lain seusia dia sehingga memotivasi anak untuk mencoba juga. Misalnya, anak melihat anak lain bisa makan sendiri maka anak juga ikut mencoba makan sendiri. Itu bekal yang sangat bagus sebelum anak masuk Taman Kanak-kanak.

Bagaimana pun Hesti menjelaskan bahwa syarat anak untuk masuk ke Taman Kanak-Kanak di Swiss adalah anak sudah bisa melakukan toilet training dengan baik, pakai baju dan sepatu sendiri serta anak mampu merespon komunikasi orang lain. Sebetulnya, anak merasakan banyak manfaat selama berada di Daycare seperti melatih kemampuan mandiri dan kemampuan sosialisasi.

Apa saran dan tips untuk memasukkan anak di Daycare?

Untuk orang tua yang masih di Indonesia dan ingin membawa anaknya ke Eropa, Juwita berpendapat bahwa anak perlu memiliki catatan buku vaksin sebagai syarat masuk. Setelah anak lahir, orang tua juga harus bersegera mendaftarkan anak secara online, meski anak masuk dalam daftar tunggu. Pemerintah Jerman juga membantu orang tua yang kesulitan secara financial untuk membayar Playgroup atau Kindergarten. Bagaimana pun kebutuhan anak untuk pendidikan dini sangat diperlukan bagi tumbuh kembang anak.

Hesti menambahkan tips untuk orang tua adalah mulai mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang prosedur pendaftaran anak di Daycare, terutama bagi orang tua yang sudah tahu akan lokasi tinggalnya. Bagaimana pun lokasi Daycare biasanya bergantung pada lokasi tempat tinggalnya. Ia menambahkan orang tua tidak perlu khawatir untuk tantangan bahasa asing yang harus dikuasi anak di bawah lima tahun. Berdasarkan pengalamannya, anak yang memasuki usia golden age itu sangat mudah untuk menyerap bahasa asing dari sekitarnya.

Orang tua perlu juga membangun koneksi dengan sesama komunitas orang tua lainnya sehingga bisa mendapatkan informasi seluas-luasnya tentang Daycare. Terakhir, Hesti mengatakan bahwa orang tua tidak boleh memaksakan anak ke Daycare supaya anak lebih nyaman untuk tahapan berikutnya.

(CERITA SAHABAT) Bekerja Bersama Anak-anak, Menjadikanku Sabar dan Happy

Aku mulai hidupku di Jerman sejak tahun 2015. Aku putuskan untuk melanjutkan studi lagi di salah satu negara bagian (=Bundesland) setahun kemudian. Studi itu mengantarkanku pada pekerjaanku di negeri panzer ini. Ya, aku bekerja sebagai guru Taman Kanak-kanak yang biasa disebut begitu kalau kita tinggal di Indonesia. 

Setiap semester perkuliahan, aku mendapatkan praktik kerja untuk mengajar di taman kanak-kanak. Oh ya, pemberlakukan usia anak-anak masuk Kinderkrippe, semacam tempat penitipan anak, dengan Kindergarten, sebutan taman kanak-kanak berbeda-beda sesuai kebijakan negara bagian di Jerman. 

Di negara bagianku, anak-anak yang masuk Kinderkrippe adalah mereka yang berusia 6 bulan hingga 3 tahun. Sedangkan anak-anak yang masuk Kindergarten adalah mereka yang berusia 3 hingga 6 tahun. Aku memilih mengajari anak-anak di taman kanak-kanak. Alasannya, aku tak terlalu sabar mengurus anak-anak yang masih terhitung bayi dan dini sekali. 

Selepas kuliah tiga tahun, aku kembali bekerja di taman kanak-kanak yang sudah mempekerjakanku sebelum aku lulus kuliah. Aku suka berinteraksi dengan anak-anak. Mereka mengajariku untuk sabar dan kreatif. Apalagi taman kanak-kanak di tempatku bekerja mengusung “teiloffenen Konzept” yang benar-benar mengubah cara berpikirku bagaimana menjadi guru TK yang membuat anak happy dan mandiri. 

Di sini kami memiliki ruang-ruang khusus sehingga anak bebas bergerak seperti kehendaknya. Kami punya ruang kreatif dan ruang olah raga, di mana anak-anak bisa berlari-lari, panjat-panjat atau bermain bola. Ruang tersedia boneka, pakaian seperti pakaian polisi atau pakaian dokter yang kami sebut ini adalah ruang teater. Anak-anak tentu senang sekali bisa bermain peran.

Anak-anak yang suka bermain musik pun bisa masuk ke ruang musik di mana kami menyediakan instrumen musik khusus anak-anak. Tak lupa ada juga ruang konstruksi di mana anak-anak bisa bermain lego atau membuat bangun ruang sesuai keinginan mereka. Tak hanya itu, ada juga ruang bermain, ruang makan, ruang tidur dan ruang kelas yakni ruang yang menjadi mayoritas anak-anak beraktivitas. 

Aku bekerja delapan hari di taman kanak-kanak tersebut. Tiap hari aku punya tiga aktivitas pilihan untuk anak-anak. Anak-anak tidak aku paksakan untuk mengikuti aktivitas yang aku sarankan ke mereka. Mereka bisa berpindah ke grup kelas lainnya jika mereka suka. Misalnya aku mengajar di grup A, maka anak-anak bisa saja ingin berpindah ke grup B atau C. 

Sebagai gambaran misalnya, suatu hari aku mengatakan bahwa aku punya aktivitas bernyanyi. Kemudian ada anak yang tak ingin bernyanyi dan diam saja, ya sudah. Atau anak tersebut memilih untuk masuk ke ruang-ruang yang tadi dijelaskan di atas. Itu pun tidak masalah. Jadi kami mengajari konsep kebebasan untuk anak. Anak bebas menentukan kehendaknya.

Selanjutnya adalah aku mengajari anak-anak tentang kemandirian. Mulai dari masuk ruangan, anak diajarkan bagaimana membuka sepatu sendiri, jaket sendiri dan lainnya. Anak diajarkan untuk memilih menu makanan yang kami sediakan. Misalnya menu hari itu adalah kentang, daging dan salad. Aku meminta anak mengambil makanan yang mereka suka, bukan aku menyediakan ketiga menu tersebut di atas piring mereka. 

Setelah sarapan atau makan siang, aku biasanya membuat lagi pilihan untuk anak-anak. Anak memilih apa yang mereka sukai. Guru seperti aku hanya sebagai fasilitator, yang menyediakan sarana untuk mereka belajar dan bermain. Itu sebab aku sudah punya program harian. Sedangkan aktivitas makan, menikmati snack atau tidur adalah program yang sudah terjadwal.

Anak-anak berada di tempat kerjaku sampai orang tua menjemput mereka. Taman kanak-kanak di tempatku bekerja sudah mulai beroperasi sejak jam 5.30 pagi, tetapi aku tak suka bangun pagi. Aku memilih kerja mulai dari jam 8 pagi. Aku bertugas delapan jam setiap hari.

Oh ya soal waktu tidur, tidak semua anak bisa jadi suka melakukan tidur siang. Jika ada anak yang tidak ingin tidur, aku biasanya memberikan aktivitas menggambar atau aktivitas lainnya yang tidak mengganggu anak-anak yang sedang tidur siang. 

Pengalaman menarik bersama anak-anak membuatku belajar untuk tidak terlalu keras terhadap diriku sendiri. Aku menemukan diriku sendiri saat aku aku berinteraksi bersama anak-anak. Aku menjadi lebih happy bekerja bersama dengan anak-anak. 

Tantangan bekerja di taman kanak-kanak adalah saat aku harus kontra dengan pendapat orang tua. Kadang aku berkonflik dengan orang tua yang lebih mementingkan ego mereka misalnya anak harus patuh pada orang dewasa. Padahal kami mengajarkan anak-anak untuk menjadi diri mereka sendiri dan menentukan kehendak mereka. Saat anak-anak bisa bebas menjadi diri mereka sendiri, anak-anak menjadi lebih happy dan kreatif juga. Anak-anak ternyata menemukan ketenangan tersendiri. 

Penulis: Anonim, umur 32 tahun dan tinggal di Jerman

(RUMPITA) Gimana Sih Rasanya Tinggal di Luar Indonesia Pertama Kali

RUMPITA adalah salah satu program RUANITA yang membahas kehidupan sehari-hari di mancanegara dari sudut pandang Fadni dan Nadia. Fadni dan Nadia saat ini sedang menempuh studi master di Jerman. Mereka akan memandu program Podcast RUMPITA yang akan diluncurkan tiap bulan sekali.

Episode pertama RUMPITA kali ini membahas pengalaman pertama kali tinggal di mancanegara. Sebelum pergi dan studi di Jerman, Nadia menceritakan pengalamannya yang tidak pernah pergi sendirian, tanpa orang tua. Bermula dari minat Nadia untuk studi di Jerman, ia pun memutuskan untuk terbang ke Jerman meraih cita-citanya melalui agen yang menawarkan studi ke Jerman. Kini Nadia sudah tinggal hampir sepuluh tahun di Jerman.

Bertolak belakang dengan cerita Nadia, Fadni tak pernah berangan-angan studi dan tinggal di Jerman. Semula Fadni ingin melanjutkan studi di Universitas Negeri di Indonesia, kenyataannya dia tidak lulus untuk masuk ujian penerimaan. Fadni akhirnya menemukan tempat kursus Bahasa Jerman yang membawanya kesempatan studi di Jerman.

Bagaimana pengalaman mereka selanjutnya tiba di Jerman tanpa orang tua, terutama Fadni dan Nadia yang belum pernah tinggal jauh dari keluarga? Simak saluran Podcast kami di link yang ditautkan. Untuk tema/saran Podcast, bisa kirimkan ke email info@ruanita.com.

(CERITA SAHABAT) Pengalaman Tanamkan Nilai-nilai Universal Beridentitas Biracial: “Tak ada standarisasi pola asuh antar keluarga!”

Saya pertama kali datang ke Jerman di tahun 2011 untuk program studi master di Osnabrück (kota di utara Jerman). Meskipun kuliah master di program internasional, tetapi saya harus 6 bulan kursus Bahasa Jerman di Köln (Cologne). Saat kuliah itulah saya bertemu dengan (calon) suami saya yang saat itu juga tengah menyelesaikan tugas akhir kuliahnya. Setelah kami lulus kuliah dan menikah, kami pindah dan memulai hidup baru di Pforzheim (kota di bagian selatan Jerman) karena suami mendapatkan pekerjaan di kota ini.

Suami saya berasal dari Lübeck, sebuah kota pelabuhan di utara Jerman yang jaraknya 800 km dari kota yang saat itu kami tinggali setelah kami menikah. Saat itu kami memutuskan tinggal di kota yang cukup jauh dari keluarga suami karena penghasilan suami cukup bagus di kota yang baru. Pforzheim masuk dalam negara bagian Baden-Württemberg yang terkenal sebagai ‘Goldstadt’ atau ‘kota emas’ karena terkenal akan industri pembuatan perhiasannya.

Anak-anak kami lahir di kota emas ini. Kini mereka berusia 6 dan 4 tahun. Melahirkan dan membesarkan anak-anak kami di Pforzheim cukup berat perjuangannya, karena jauh dari keluarga saya dan keluarga suami. Buat keluarga suami pun cukup berat karena anak-anak kami kebetulan adalah cucu-cucu dan keponakan-keponakan pertama dari pihak keluarga suami. Ketika Oma (ibu dari suami saya) dan paman-paman dari anak-anak kami ingin menjenguk mereka harus menempuh perjalanan yang cukup jauh. Akhirnya kami memutuskan untuk bisa kembali tinggal di kota kelahiran suami dengan resiko suami harus mencari pekerjaan baru yang penghasilannya tak sebesar di kota sebelumnya. 

Namun demi keluarga dan bisa tinggal dekat dengan sanak saudara, akhirnya kami pun pindah ke Lübeck dan menetap hingga sekarang. Seringkali kita mendengar bahwa interaksi dalam budaya barat itu individualistis. Kenyataannya, untuk sesama anggota keluarga tetaplah ada keintiman dan kedekatan yang berbeda. Kedekatan keluarga tetap memiliki peranan yang penting dalam kehidupan anak, seperti Oma ke cucu-cucunya. 

Selama tinggal di Jerman saya selalu berinteraksi dengan kelompok-kelompok lintas budaya. Setelah berumah tangga saya aktif di ‘familienzentrum’, lembaga-lembaga yang membantu pemberdayaan perempuan, para ibu, dan keluarga. Familienzentrum ini juga banyak diisi oleh para imigran pendatang. Selama aktif di familienzentrum bahkan sejak semasa kuliah di program internasional, saya berkesempatan bertemu dengan banyak orang yang berasal dari berbagai negara. Ditambah beberapa tahun terakhir Jerman banyak menerima pendatang imigran, baik itu yang mencari suaka, pasangan perantau, maupun yang menikah dengan orang Jerman. Jadi paparan terhadap budaya yang beragam ini mulai menjadi hal yang biasa dan memperkaya keseharian masyarakat. 

Pengenalan terhadap ragam budaya ini juga saya lakukan dengan anak-anak kami sendiri sedini mungkin. Sedari awal mereka bisa berbicara dan berkomunikasi, saya mengajarkan bahwa mereka adalah anak.anak yang memiliki budaya campuran orang Indonesia dan orang Jerman. Orangtua mereka berasal dari dua negara yang memiliki budaya yang tak sama. Pengenalan terhadap asal usul mereka saya lakukan lewat pengenalan geografi. Lewat buku, peta, dan tayangan dokumenter saya kenalkan anak-anak tentang alam dan budaya Indonesia. 

Sejauh ini dalam pergaulan anak-anak di sekolah, saya tidak menemukan perbedaan perlakuan antara anak-anak yang lahir dari pasangan Jerman maupun pasangan kawin campur. Anak-anak kami bahkan menyadari bahwa mereka memiliki tampilan fisik yang cukup unik. Mereka tahu mereka memiliki warna kulit yang terang seperti ayahnya namun dengan warna rambut dan mata yang berwarna gelap seperti ibunya. Dengan keunikan ini, sejauh ini belum pernah saya mendengar mereka merasa heran atau tak nyaman dengan perbedaan warna kulit atau rambut yang mereka miliki. 

Di sekolahnya pun ada teman-teman dari anak saya yang rambutnya keriting atau berkulit lebih gelap, dan mereka belum pernah bertanya ‘Mama, mengapa temanku rambutnya keriting?’. Jadi mereka belum pernah membedakan teman-temannya, meskipun secara fisik memang memiliki penampilan yang berbeda.

Salah satu tantangan mendidik anak-anak multi kulti (istilah Jerman untuk ragam budaya) adalah dalam mengenalkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Saat baru lahir dan sebelum anak pertama masuk TK, saya berusaha untuk berbicara Bahasa Indonesia dalam keseharian agar ia kenal bahasa Indonesia. Namun begitu anak saya masuk TK dan otomatis di TK sehari-hari berbahasa Jerman maka paparan berbahasa Jerman jadi lebih banyak dan lama-kelamaan malah saya yang jadi mengikuti mereka berbahasa Jerman. Jadi tantangannya lebih di saya sebagai ibu yang kesulitan untuk konsisten mengajarkan Bahasa Indonesia ke anak-anak. 

Kesulitan ini membuat saya lalu melahirkan subjektifitas bahwa kita tidak bisa melakukan standarisasi dalam pola pendidikan keluarga. Melakukan tolak ukur dan membanding-bandingkan kondisi satu keluarga dengan yang lainnya. karena tidak ada satu bentuk pola pendidikan tertentu terbaik yang bisa diterapkan untuk semua keluarga. 

Ada keluarga campuran yang anak-anaknya bisa lancar berbahasa ibu, tetapi ini berbeda dengan keluarga lainnya. Agak sulit juga untuk mempertahankan harus bisa berbahasa ibu, karena karakter anak-anak pun berbeda. Ketika orangtuanya membiasakan berbahasa ibu, ada anak-anak yang mudah mengikuti, tetapi ada pula yang merasa enggan apalagi saat di sekolah melihat teman-temannya lebih banyak berbahasa Jerman. 

Apalagi kami tinggal di kota kecil yang tidak banyak orang Indonesia tinggal di sini. Jadi dalam mengenalkan bahasa Indonesia, akhirnya senyamannya saja karena mau bagaimana lagi. Menurut saya, yang penting anak-anak tahu bahwa pada dasarnya mereka punya latar belakang budaya campuran, dibesarkan dalam dua latar belakang budaya yang berbeda dengan saya -ibunya- orang Indonesia.

Namun saya selalu angkat topi buat keluarga campuran yang anak-anaknya tetap bisa lancar berbahasa dari kedua pihak orangtua. Kalapun ternyata si anak lebih lancar satu bahasa saja, ya tidak apa-apa karena masing-masing keluarga punya kondisi yang berbeda dan karakter anak-anak pun berbeda.  

Belum lagi nanti saat si anak mempelajari bahasa lainnya di Eropa. Kalau nanti si anak memutuskan untuk mempelajari berbagai bahasa lainnya, itu akan menjadi keputusan mereka. Untuk anak-anak saya, yang terpenting adalah mereka tahu dulu bahwa mereka punya darah Indonesia yang mengalir dalam diri mereka.

Sedari awal, anak-anak saya juga sudah aware dengan penampilannya. Seperti saat dia bilang bahwa rambut saya gelap karena mama rambutnya gelap juga. Saya juga mengajarkannya ke anak-anak saat mengamati keseharian di sekeliling kami, seperti kucing yang memiliki warna bulu yang berbeda-beda. Menurut saya, keluarga campuran itu punya kosa kata yang lebih luas dan contoh yang lebih riil dalam keseharian mereka untuk mengajarkan perbedaan. 

Latar belakang budaya yang berbeda dari orang tua tentu berdampak pula pada pola pengasuhan. Termasuk saya sebagai orang Indonesia dan suami orang Jerman yang memiliki banyak kebiasaan yang berbeda. Jerman misalnya terkenal dengan budaya tepat waktu, disiplin, dan kebiasaan mengantri yang tinggi. Dalam hal ini saya justru belajar banyak dari suami dan membiarkannya untuk mendidik anak-anak soal kedisiplinan ini. Meski dibandingkan dengan budaya kita, pola asuh suami terlihat agak ‘keras’. Namun menurut saya, dalam mendidik anak itu, kedua orang tua harus kompak; tidak bisa di bapaknya yang galak sementara ibunya membela si anak kalau anaknya berbuat salah. Jadi saya harus satu komando dengan suami saya, agar jangan sampai kalau ada apa-apa anaknya malah condongnya ke ibu. 

Contoh paling sederhana saat waktu makan, anak-anak harus disiplin duduk makan bersama di meja makan dan makan sendiri sampai habis. Saya ikut pola asuh disiplin seperti itu dan menjalankannya bersama suami. Ada saat-saat di mana rasanya tak tega juga melihat pola didikan disiplin ini, tetapi saya tidak membela si anak atau memperlihatkan ketidaksetujuan saya di depan anak. Ini dimaksudkan agar si anak tidak kebingungan melihat bapaknya bilang ini tetapi ibunya bilang yang lain. Jadi memang orang tua harus terlihat kompak. 

Masih soal makan. Di sini anak-anak diajarkan untuk disiplin makan pakai pisau dan garpu. Tak hanya saat makan di restoran, di rumah pun makannya dengan pisau dan garpu. Namun saya juga bilang ke anak-anak, kalau di Indonesia itu makannya pakai tangan dan itu adalah hal yang biasa dijumpai di manapun di Indonesia. Karena saya sendiri juga suka makan pakai tangan, anak-anak pun jadi tahu kalau ada kultur lain bahwa makan di meja itu bisa tanpa pisau dan garpu. Jadi ketika mereka merasa ingin melakukan sesuatu yang di luar adat kebiasaan orang Jerman saat makan, mereka bilang, „aku kan orang Indonesia jadi boleh makan pakai tangan saja“.

Selain pengenalan keragaman budaya lewat makanan, saya juga mengenalkan anak-anak baju-baju Indonesia seperti batik. Saya sering memakai daster batik di rumah dan anak-anak suka melihat motifnya. Meski daster hanya baju rumahan tetapi menurut anak-anak itu baju yang bagus. Mereka bilang kalau baju Mama bagus banget. Menurut mereka daster batik itu seperti dress cantik saja.

Pengenalan sedari awal pada anak bahwa ada dua budaya yang berbeda dalam diri anak-anak ini akan membentuk rasa percaya diri mereka. Mereka sudah tahu dari awal bahwa mereka berasal dari dua latar belakang budaya yang berbeda. Ketika anak-anak ini sudah memiliki pengetahuan bahwa mereka memang punya latar belakang orangtua yang berbeda yang memperkaya kehidupan mereka, ketika ada ejekan atau bully, mereka bisa menantang balik ejekan tersebut. Seperti misalnya bila ada yang mengejek warna rambut mereka, mereka sudah tahu bahwa ‘oh rambutku berwarna gelap karena ibuku juga warna rambutnya gelap’. Dan ibu sangat cantik dengan warna rambutnya yang gelap. 

Perbedaan tampilan fisik toh tidak mengurangi dan mengecilkan nilai kebaikan seseorang. Meski budaya Indonesia dan Eropa itu berbeda, tetapi tetap ada nilai-nilai universal atau norma bersama yang kita terima, misalnya menghormati orangtua, berlaku jujur, dan tak menyakiti sesama. Di budaya manapun, kita akan menemukan nilai-nilai dasar tersebut, meskipun cara mengekspresikannya yang akan tampak berbeda-beda. Ajarkan kepada anak bahwa nilai-nilai universal ini ada dalam budaya manapun tanpa memandang perbedaan warna kulit.

Saya ingin menekankan bahwa dalam budaya manapun, tidak ada standar tertentu yang menunjukkan bahwa budaya yang satu lebih bagus daripada yang lainnya. Yang penting nyaman dijalani oleh keluarga dan bisa diterapkan dengan baik ke anak-anak. Kalau kita tidak nyaman menerapkannya dan anak-anak juga belum bisa menjalankannya, upayakan untuk menerimanya sebagai perbedaan dan tidak perlu dipaksakan.

Yang terpenting juga, dalam menjalankan pola pengasuhan dari dua budaya yang berbeda, orang tua harus kompak sebagai satu team work. Ayah dan ibu harus satu komando. Jangan bikin anak bingung!

*sebagaimana dituturkan oleh Syafa Haack, ibu dengan dua anak tinggal di Jerman, kepada Aini Hanafiah.

(SIARAN BERITA) Diskusi Virtual: Hari Perempuan Sedunia 2022

JERMAN – Salah satu bukti menguatnya integrasi budaya dan mobilitas akibat kemudahan teknologi komunikasi adalah semakin mudahnya pertemuan dan percampuran budaya yang berbeda. Ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah kawin campur, yakni perkawinan antara Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA).

Pasangan yang memutuskan menikah di mana pun selalu berharap akan langgeng dalam bahtera rumah tangga mereka. Namun sayangnya, tidak ada yang bisa menebak bahwa angka perceraian pun begitu tinggi bagi pasangan perkawinan campuran.

Pertemuan dua budaya yang berbeda akan menghadirkan banyak hal baru yang akan memperkaya kehidupan. Ada banyak pengalaman positif yang dijalani para pelaku kawin campur, meskipun harus diakui hubungan kawin campur tidak terlepas pula dari stigma, konflik maupun masalah spesifik lain yang mengikutinya.

Dalam perkawinan campuran, analisa mendalam diperlukan untuk menjadi bekal edukasi yang dikemas menarik sehingga dapat menjadi petunjuk bagi pasangan kawin campur baik bagi yang belum menikah maupun sudah menikah.

Follow us: ruanita.indonesia

RUANITA (Rumah Aman Kita) selaku selaku komunitas Indonesia di luar Indonesia yang berfokus pada psikoedukasi dan praktik baik kehidupan di luar Indonesia bersama PADMEDIA PUBLISHER membuat kompilasi kisah perkawinan campuran dari para pelaku kawin campur yang berdomisili baik di Indonesia maupun di negara lainnya.

Kumpulan cerita tersebut ditulis dalam sebuah buku berjudul Cinta Tanpa Batas, berisikan kisah nyata 23 perempuan Indonesia yang sebagian besar tinggal dan menetap di luar negeri. 

Bersamaan dengan momentum peringatan Hari Perempuan Sedunia 2022, RUANITA menggelar diskusi virtual yang masih menjadi rangkaian menuju peluncuran buku Cinta Tanpa Batas.

Diskusi virtual tersebut bertema ‘Kenali Hak dan Tingkatkan Ketahanan Perempuan di Luar Negeri’. Acara ini akan dilangsungkan lewat kanal Zoom pada Minggu, 13 Maret 2022 pukul 19.00-21.00 WIB (13.00-15.00 CET). 

Acara diskusi virtual ini terbuka untuk umum bagi warga negara Indonesia dan diaspora Indonesia, tanpa pendaftaran. Diskusi virtual akan dipandu oleh moderator Anna Knöbl dari RUANITA dan dibuka dengan sambutan dari Sandrayati Moniaga selaku Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI.

Beberapa narasumber yang akan mengisi diskusi virtual adalah Novi Siti (relawan RUANITA dan salah satu penulis buku Cinta Tanpa Batas), Pande K. Trimayuni (Ketua FOKAL Universitas Indonesia dan Co-Founder Institut Ungu), serta Lisabona Rahman (Founder Sekolah Pemikiran Perempuan). 

Dalam diskusi virtual ini akan dibahas data dan kebijakan Pemerintah RI dalam menangani kasus-kasus perempuan Indonesia di luar negeri, terutama isu dalam perkawinan campuran seperti KDRT, kasus hak asuh anak, serta kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Peserta dapat menyimak seperti apa kebijakan Pemerintah RI dalam melindungi perempuan Indonesia yang berada di luar negeri dalam mendapatkan hak-haknya.

Diskusi virtual ini juga diadakan sebagai wadah untuk berbagi pengalaman dan pendapat dalam meningkatkan pemikiran perempuan yang berperspektif feminis, terutama untuk perempuan Indonesia di luar negeri. Selain itu peserta dapat berbagi pengalaman dan pendapat dalam meningkatkan promosi kesetaraan gender dan hak perempuan mancanegara.

Diharapkan bahwa diskusi virtual ini dapat menjadi media advokasi untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu dalam perkawinan campuran dan pemberdayaan perempuan agar nantinya menjadi pembekalan diri dan sesama perempuan lainnya. 

Adapun tindak lanjut dari acara diskusi virtual ini adalah kampanye penulisan surat terbuka AISIYU 2022 (Aspirasikan Suara dan Inspirasi Nyatamu) yang mengangkat tema ‘Kenali Hak dan Tingkatkan Ketahanan Perempuan di Luar Negeri‘.

Kampanye surat terbuka AISIYU ini akan diselenggarakan selama sepekan (21-27 November 2022) untuk memperingati Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang jatuh tiap tahun pada 25 November nantinya.

RUANITA (Rumah Aman Kita) Indonesia adalah komunitas diaspora Indonesia yang dibentuk untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman seputar permasalahan psikologis dan kehidupan di luar negeri. Tujuan didirikannya RUANITA adalah untuk mempromosikan isu kesehatan mental, psikoedukasi, kesetaraan gender serta berbagi praktik baik tentang keterampilan diri untuk tinggal di luar Indonesia.

Informasi: Aini Hanafiah, tinggal di Norwegia

(PELITA) Kok Anak Saya Umur Segini Belum Bicara

Stephanie menceritakan pengalamannya sebagai ibu bagaimana mengenali kondisi anak yang terlambat bicara. Tutur Stephanie, sebaiknya orang tua sudah mengidentifikasikan perkembangan anaknya sedini mungkin agar penanganannya dapat cepat teratasi.

Berdasarkan perkembangan bahasa anak, terdapat beberapa fase seberapa banyak jumlah kata yang sudah dapat disebutkan anak. Misalnya anak umur dua tahun sebaiknya sudah memiliki 150-300 kata dan dapat menyusun 2-3 kalimat.

Selain itu, keterlambatan bicara pada anak sering dikaitkan dengan gejala autis pada anak. Stephanie menjelaskan dengan baik dalam video berikut menurut keilmuannya tentang apa yang harus dilakukan untuk mengatasi anak yang terlambat bicara.

Disclaimer: RUANITA menyajikan konten dengan tujuan informasi, edukasi dan komunikasi sehingga tidak dapat dijadikan terapi, diagnosa pribadi atau sebagai bentuk penanganan psikologis. Konten yang disajikan hanya bertujuan untuk psikoedukasi yang disesuaikan dengan komunitas Indonesia di luar Indonesia. Konten ini tidak dapat menggantikan pendapat profesional.

(CERITA SAHABAT) Segera Tangani Sedini Mungkin, Kalau Anak Alami Terlambat Bicara

Sahabat Ruanita, aku mau cerita pengalaman yang kuhadapi pada anakku yang mengalami keterlambatan bicara. Aku adalah ibu dari seorang putra dan tinggal di Eropa untuk melanjutkan studi lanjutan. Aku merasa bahagia dengan kelahiran putraku, seolah menggenapi kepuasan hidupku. Saat R, sebut saja begitu untuk inisial putraku, berusia dua tahun ternyata dia belum juga bisa bicara. Misalnya, dia memanggilku „mama“ saja tidak setiap hari bahkan satu minggu pun belum tentu. 

R tidak banyak ngomong dalam kesehariannya. Selain itu, aku perhatikan anakku ini, bahwa dia begitu sensitif terhadap suara misalnya. Pernah suatu kali, kami datang ke acara ulang tahun dan saat banyak orang tepuk tangan, R menangis. Selain suara yang sensitif untuk R, ternyata R juga memilih untuk makan makanan yang lembut saja. Semua tumbuh kembang R, aku perhatikan dengan baik apalagi aku punya latar belakang keilmuan psikologi.

Aku kemudian putuskan membawa R ke ahlinya di negeri tempat aku melanjutkan studi. Tenaga profesional yang memeriksa R mengatakan bahwa R mungkin mengalami gangguan autis. Aku tidak sepakat tentang hasil yang diberikan ini sementara suamiku tetap berpikir bahwa R bisa jadi autis. Aku menolak keras pendapat bahwa R mengalami autis. Bagaimana pun aku paham sekali gangguan autis itu, apalagi aku sempat praktik menangani anak-anak dengan autis. 

Di negeri tempat aku studi di benua biru ini, anak-anak berkebutuhan khusus seperti autis akan mendapatkan penanganan dan perawatan khusus secara gratis asalkan orang tua menandatangani kesepakatan bahwa anak tersebut memang memerlukan penanganan profesional. Ya, aku setuju bahwa R memang perlu treatment khusus, tetapi bukan treatment untuk anak autis. 

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk memeriksakan R saat aku berlibur di Indonesia. Aku bawa R ke klinik profesional yang khusus menangani anak berkebutuhan khusus dan perlu penanganan psikologis. Letak klinik tersebut ada di Jakarta dan aku kenal siapa pemilik klinik tersebut. Setelah diperiksa, R mengalami sensory processing disorder dan speech delay. Jika selama ini R begitu peka terhadap suara atau indera pengecapannya, itu berarti bahwa R mengalami gangguan yang disebut dengan sensory processing disorder

Selain itu, klinik yang menjadi rujukanku untuk memeriksakan R juga mengatakan bahwa R hanya mengalami speech delay, bukan autis. Ya, aku menerimanya bahwa R memang kesulitan memformulasikan kalimat dan kata-kata di saat anak-anak seusianya mungkin sudah punya banyak kosakata. Akhirnya, R mendapatkan penanganan khusus selama kami tinggal di Jakarta. R mendapatkan terapi yang bisa dilakukan paralel untuk mengatasi sensory processing disorder dan speech delay

Treatment untuk R dilakukan sebanyak dua kali seminggu. Sepertinya klinik ini memiliki teknik khusus seperti teknik bermain yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan anak. Mereka memiliki terapi bermain yang membantu anak seperti bermain foam (=bentuk) dari lilin sehingga R bisa merasakan dengan tangannya dan membuat sesuatu. Atau R suka lompat-lompat maka klinik akan menyediakan permainan sambil anak diberikan penanganan khusus.

Aku berpikir bahwa semua butuh proses yang memang dibutuhkan kesabaran dan pendampingan dariku sebagai ibunya. Saat kembali ke negeri yang jadi rumah keduaku, aku melanjutkan lagi dua terapi tersebut untuk R. Bedanya, aku membayar semua treatment untuk R selama di Jakarta sedangkan di negeri rumah keduaku tersebut, semua difasilitasi oleh negara dan tergantung juga seberapa besar plafon asuransi yang kita pilih. 

Beruntungnya R mengalami kemajuan yang pesat, sehingga pekerja klinik asing tersebut memutuskan bahwa R tidak perlu lagi terapi untuk atasi sensory processing disorder, hanya R masih perlu untuk terapi atasi speech delay. Aku memang bolak-balik antara Indonesia dengan salah satu negeri di benua biru, yang jadi rumah keduaku. Aku pun tetap melanjutkan terapi yang dibutuhkan R demi tumbuh kembang putraku, R.

Kami sempat berlibur ke Bali sekaligus aku harus bekerja di sana. R ikut serta bersamaku. Sekembalinya dari liburan, aku membawa R untuk kembali melanjutkan terapi speech delay-nya di Jakarta. Staf klinik yang selama ini mendampingi R pun merasa takjub atas kemajuan pesat dari kosakata R, apalagi sekembalinya dari liburan di Bali. 

Puji Tuhan, R memang kini bisa kembali bersekolah seperti umumnya anak-anak seusianya. Aku bersyukur bahwa R bisa bercerita padaku tiap hari seperti yang kuinginkan selama ini. R tidak lagi kesulitan dalam berkomunikasi. Aku hanya berpendapat bahwa seorang ibu pasti mengenali anaknya, termasuk bagaimana mereka tumbuh dan berkembang. Aku pikir sedini mungkin kita perlu melakukan penanganan agar anak-anak bisa tumbuh sehat seperti harapan semua ibu di dunia ini. 

Penulis: Stephanie, seorang ibu. 

(DISKUSI VIRTUAL) Kenali Hak dan Tingkatkan Ketahanan Perempuan di Luar Negeri

Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia 2022, Ruanita – Rumah Aman Kita mengundang Anda hadir dalam diskusi virtual yang diselenggarakan pada:

Hari/Tanggal: Minggu/13 Maret 2022

Jam: 13.00 CET atau 19.00 WIB

Lokasi: Zoom dengan detil link yang ditautkan, Meeting ID: 816 98145648 dan Password: Ruanita

Acara ini gratis dan tanpa pendaftaran yang dimaksudkan untuk mendorong perempuan di luar negeri mengaspirasikan suara mereka dan berani mengadvokasi diri juga sesama perempuan lainnya.

Oleh karena itu, kami juga memperpanjang penjualan buku: Cinta Tanpa Batas Rp 100.000/buku di luar ongkos kirim hingga Minggu, 13 Maret 2022. Pembelian bisa langsung menghubungi ibu Gita dengan link pemesanan ditautkan.