
Omong-omong tentang kepribadian, kurasa milikku telah berubah secara drastis. Dulunya, aku adalah seorang anak yang ekstrovert. Bahkan bisa dibilang aku tidak bisa hidup tanpa orang lain, saat tidur pun tidak bisa sendiri.
Saat SMP, aku kenal semua anak di sekolahku, dan banyak juga yang mengenalku. Tidak jarang aku disapa anak sekolahku di jalanan. Temanku sangat banyak dan aku juga aktif di beberapa grup chat sekolah, sehingga membuatku sangat eksis di sekolahan.
Saking ekstrovertnya, aku merasa aku terlalu bergantung dengan kehadiran orang lain, sehingga aku cenderung manja dan tidak bisa sendiri karena aku merasa sangat takut ketika sendirian. Sifat ini berlangsung sampai aku SMA kelas satu.
Namun, ketika aku naik ke kelas dua, kepribadianku berubah drastis secara tiba-tiba.
Sepertinya penting untuk mengetahui latar belakangku yang mungkin bisa menjelaskan kepribadian super-ekstrovertku yang dulu.
Ibuku sangat ekstrovert dan memiliki banyak teman yang seumuran denganku. Kebalikan dengan Ibu, Ayah sangat introvert dan hanya berhubungan dekat dengan orang yang memiliki kesukaan yang sama dengan beliau.
Kedua orangtuaku sangat religius, sehingga sejak aku TK hingga SMP aku selalu dimasukkan ke sekolah swasta religius. Di kota kelahiranku pada saat itu, sekolah religius sangat jarang, maka lingkungan pergaulanku kebanyakan itu-itu saja. Karena ibuku sangat aktif di lingkungan sosial, maka pergaulanku pun luas meskipun masih dalam lingkupan pergaulan religius.
Saat aku SD, kebanyakan teman TK-ku juga memasuki sekolah yang sama. Di sekolahku, kelas kami tidak di-rotasi, jadi teman sekelasku adalah teman yang sama selama enam tahun. Begitupun saat SMP. Dan, karena sekolah swasta yang saat itu tidak terlalu besar, jumlah murid per kelas hanya kurang dari tiga puluh anak.
Hanya ada empat kelas dalam satu angkatan. Bisa dibilang, pergaulan kami luas dalam artian kami mengenal semua anak di sekolah, tapi tentu tidak bisa dibandingkan dengan jumlah siswa di sekolah negeri. Tidak heran, tumbuh di lingkungan seperti ini membuatku agak takut dengan stranger dan pertemanan yang “sementara.”
Namun saat itu ketakutanku akan stranger tidak separah sekarang.
SMA adalah saat pertama aku keluar dari lingkupan pergaulan yang itu-itu saja. Kelas sepuluh, aku beruntung karena mendapat teman sekelas yang asyik dan akrab.
Akupun memutuskan untuk bergabung dengan OSIS. Memasuki kelas sebelas, aku harus absen di seminggu pertama tahun ajaran baru karena harus mengurusi MOS. Tiba-tiba, aku terkena panic attack saat menyadari aku kehilangan waktu seminggu pertama (yang biasanya krusial untuk mendapat teman baru di kelas) karena urusan MOS.
Mulai dari itu, kepribadianku perlahan berubah dari sangat ekstrovert dan sosial menjadi introvert dan penyendiri. Sifat itu terbawa sampai aku pindah ke Jerman dan menjadi sangat parah setelah aku menjalani S1 di Jerman.
Dari seorang gadis yang punya puluhan teman, aku menjadi seseorang yang hanya punya satu-dua teman pada saat itu. Kesehatan mentalku memburuk karena stress dan trauma, sehingga masa-masa S1 adalah salah satu masa paling buruk dalam hidupku.
Untungnya, aku masih memiliki kemampuan sosial di online, jadi dalam waktu itu kebanyakan aku hanya bertumpu dengan hubungan sosial secara virtual. Setelah menikah, untungnya social anxiety ku berkurang dan aku bisa berteman lagi, meskipun tidak seperti dulu.
Dan aku masih beruntung saat ini karena teman-temanku yang tersisa, meskipun sedikit jumlahnya, adalah teman-teman ride or die. Meskipun kami sudah terpisah-pisah kota, negara dan benua, tapi pertemanan kami masih sangat erat, sehingga aku tidak lagi merasa kesepian dan sendirian.
Cerita ini ditulis oleh Nadia tinggal di Jerman, atas pengalaman seorang teman