
Perempuan ini bukan Sayu, anak perawan dari saudagar kaya raya dalam novel „Anak Perawan di Sarang Penyamun“, melainkan anak pendeta kelahiran Jerman Timur yang kemudian menjadi kanselir Jerman kedelapan, Angela Merkel.
Dua windu lamanya sosok Merkel menghiasi foto tahunan bersama pemimpin negara G7, kelompok 7 negara industri terpenting di dunia. Selama waktu itu wajah para pemimpin negara G7 silih berganti, sementara yang konstan hanyalah Angela Merkel, satu-satunya perempuan di sarang penyamun. Dia bukan perempuan lemah melainkan perempuan yang menentukan arah dan mengambil keputusan.
Angela Merkel menduduki puncak kepemimpinan di Jerman sebagai kanselir perempuan pertama di Republik ini selama 16 tahun. Waktu kepemimpinannya menyamai rekor Helmut Kohl, bapak asuh politiknya, yang juga memerintah selama 4 periode. Di tangan Merkel, Jerman melewati gejolak krisis finansial, krisis ekonomi, krisis Euro, krisis pengungsi, serta krisis korona. Ini bisa dikatakan tanpa pukulan yang berarti.
Untuk kebijakannya membuka perbatasan Jerman bagi para pengungsi terutama dari Timur Tengah pada masa krisis tahun 2015 yang lalu – sebuah keputusan yang tidak populer tapi sangat manusiawi – Merkel baru-baru ini dianugerahi penghargaan perdamaian dari UNESCO.
Selain berkali-kali didaulat oleh Forbes sebagai perempuan paling berkuasa di dunia, pada tahun 2016 majalah TIME juga menobatkan Merkel sebagai “The leader of the free world”, pemimpin dunia bebas. Sebagai perempuan, saya benar-benar bangga akan perempuan satu ini.
Lalu, bagaimana peranan kanselir perempuan ini dalam hal kesetaraan gender di Jerman?
Dalam kaitan ini prestasi Merkel yang sebelumnya juga pernah menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan ini tak segemilang pamornya di dunia internasional. Menurut penulis biografinya, Jacqueline Boysen, Merkel memilih bersikap cenderung represif karena ketergantungannya pada suara para politikus laki-laki di belakangnya.
Partai Persatuan Demokrat Kristen (CDU) yang merupakan rumah politik Angela Merkel adalah partai konservatif yang masih mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan tuntutan kesetaraan. Sementara untuk tetap memegang tampuk kekuasaan politik, Merkel sangat memerlukan dukungan dari partainya.
Bertahun-tahun lamanya, Merkel yang tidak ingin disebut pejuang emansipasi itu menolak penetapan kuota perempuan di jajaran direksi untuk perusahaan besar. Dia berharap bahwa hal itu akan terjadi dengan sendirinya. Penantian tak berujung itu kemudian diakhiri dengan pengesahan undang-undang penetapan kuota perempuan sebesar 30% pada tahun 2015 oleh parlemen Jerman.
Sebagai hasil kerja sama dengan partai koalisi juga, beberapa undang-undang yang menguntungkan kehidupan berkeluarga kemudian disahkan di era Merkel. Contohnya Elternzeit, yaitu hak untuk mengambil cuti mengasuh anak yang dapat diambil selama maksimal 3 tahun, baik oleh ibu, oleh ayah, maupun oleh keduanya.
Orang tua tidak hanya bisa kembali ke tempat kerjanya setelah cuti ini saja, akan tetapi untuk jangka waktu tertentu mereka juga bisa mendapatkan tunjangan dari pemerintah. Tunjangan itu sebesar 65% atau maksimal 1.800€ dari pendapatan Netto sebelumnya. Bahkan tunjangannya mencapai 100% untuk orang tua berpenghasilan rendah. Setelah kelahiran anak kedua pada tahun 2012, saya juga memanfaatkan kesempatan ini dan mengambil cuti selama satu tahun.
Jerman memang memiliki banyak peraturan dan perundang-undangan yang memihak perempuan. Misalnya undang-undang kesetaraan di dunia kerja yang memprioritaskan perempuan dalam proses perekrutan tenaga kerja atau kenaikan pangkat jika kualifikasinya setara dengan laki-laki. Hal ini dijamin dengan keberadaan Frauenbeauftragte di banyak perusahaan, dinas, lembaga, dan instansi sosial.
Perwakilan perempuan ini dilibatkan dalam proses perekrutan dan promosi jabatan. Hal ini untuk memastikan perlindungan dari diskriminasi dan perlakuan lain yang merugikan perempuan. Perwakilan perempuan atau perwakilan kesetaraan ini dijumpai di perusahaan atau instansi yang minimal memiliki 100 pegawai.
Akan tetapi pada praktiknya, banyak perusahaan atau instansi masih memandang kemungkinan perempuan untuk menjadi hamil dan mempunyai anak sebagai suatu kendala. Memang untuk waktu cuti hamil dan melahirkan (6 minggu menjelang persalinan dan 8 minggu setelahnya) perusahaan atau instansi harus mencari pengganti.
Jika seorang pegawai perempuan mengambil cuti panjang maka harus dicari penggantinya. Penggantinya harus siap untuk meninggalkan posisi tersebut apabila si pegawai perempuan tadi ingin kembali ke posisinya. Hal ini terkadang menimbulkan dilema. Di samping itu, ada juga kekhawatiran yang cukup beralasan. Kemungkinan seorang pegawai perempuan meninggalkan pekerjaannya lebih besar ketika memiliki anak dalam masa pertumbuhan.
Pemerintah Jerman memang menjamin hak anak mulai umur 1 tahun untuk mendapatkan tempat di institusi pengasuhan anak seperti Kinderhaus atau Kindergarten. Hal ini tidak hanya untuk mengantisipasi kebutuhan orang tua yang bekerja tapi juga untuk mendukung pertumbuhan anak usia dini. Akan tetapi, infrastruktur yang tersedia masih jauh dari memadai.
Saya sendiri mengalami kesulitan besar untuk mendapatkan tempat di Kindergarten bagi anak pertama kami. Ketika dia berumur 2 tahun, saya mulai mencari Kindergarten untuk tahun berikutnya ketika dia berumur 3 tahun. Saya tidak ingat lagi berapa Kindergarten dan Spielgruppe (kelompok bermain) yang saya datangi karena setiap kali mendapat jawaban negatif.
Beberapa orang bahkan terheran-heran bahwa saya baru mulai mencari tempat pada waktu itu. Seharusnya saya sudah jauh-jauh hari melakukannya.
”Kalau bisa, begitu Anda punya rencana untuk punya anak, Anda sudah harus mendaftarkannya di Kindergarten!” begitu canda seorang pegawai di satu Kindergarten yang saya kunjungi. Saya beruntung bisa mendapatkan tempat di salah satu Kinderhaus ketika anak saya berumur 3 tahun.
Seperti kebanyakan perempuan bekerja yang juga menjadi ibu, saya pun menjalankan tugas klasik itu. Saya mengurus anak dan rumah tangga, di samping bekerja penuh atau paruh waktu. Itu adalah tantangan yang maha berat bagi saya. Impian memberikan yang terbaik untuk keluarga dan juga tempat kerja seringkali tidak beranjak dari utopia.
Hal itu bahkan berbalik menjadi bumerang yang membuat saya semakin memahami apa makna dari istilah „beban ganda“. Oleh sebab itu, saya bisa memahaminya. Jika sebagian perempuan, walaupun mereka misalnya berpendidikan tinggi, lalu memilih meninggalkan pekerjaan. Mereka mengabdikan diri untuk anak dan keluarga. Sebuah keputusan mulia yang tidak selalu mendapat penghargaan setara.
Menurut sensus mikro tahun 2019 di negara dengan pendapatan domestik brutto terbesar di Uni Eropa, risiko kemiskinan pada perempuan juga lebih tinggi daripada untuk laki-laki. Hal ini disebabkan antara lain karena perempuan lebih banyak bekerja di sektor berpendapatan rendah dengan tunjangan yang minim, terutama untuk bisa bekerja paruh waktu agar bisa mengurus anaknya.
Selain itu, biografi masa kerja perempuan sering diselingi dengan jeda. Hal ini karena perempuan berhenti bekerja atau cuti untuk mengurus anak dan rumah tangga. Hal ini sekali lagi berarti pengurangan premi untuk asuransi pengangguran dan asuransi pensiun. Pada akhirnya, ini akan berdampak pada pemotongan pendapatan pada masa pengangguran atau pensiun.
Pekerjaan rumah berikutnya adalah perlakuan tidak adil dalam hal penetapan gaji yang juga masih merupakan praktik biasa di Jerman. Walaupun praktik ini sudah mengalami perbaikan dibandingkan dengan 15 tahun yang lalu. Pada tahun 2021, pendapatan perempuan di Jerman rata-rata 18% lebih sedikit daripada pendapatan laki-laki untuk pekerjaan dengan kualifikasi yang sama.
Salah satu alasannya adalah apa yang disebut Gender Care Gap. Gender gap adalah kesenjangan gender yang terjadi karena lebih banyak perempuan mengambil cuti panjang atau bekerja paruh waktu. Hal ini tentu saja akan berpengaruh negatif pada jenjang kenaikan gajinya. Selain itu, laki-laki lebih berani untuk menuntut gaji lebih tinggi. Sementara perempuan tergolong lebih segan untuk tawar-menawar kenaikan gaji.
Bagaimana situasinya di Indonesia?
Dalam satu hal, saya juga sempat merasakan kebanggaan, bahwa Indonesia mendahului Jerman dalam hal perempuan pemimpin negara. Adalah Megawati Soekarno Putri menjadi presiden RI kelima sekaligus presiden perempuan pertama Indonesia pada tahun 2001. Megawati juga adalah seorang perempuan di sarang penyamun yang dipenuhi politikus laki-laki berjejak patriarki.
Hal ini mungkin mendorong perdebatan tentang dikotomi antara perempuan dan laki-laki tapi belum dapat mengubah persepsi masyarakat Indonesia tentang kepemimpinan perempuan secara radikal. Dalam indeks kesenjangan gender yang dirilis oleh World Economic Forum tahun 2022, Indonesia menduduki posisi ke-94. Sementara Jerman berhasil naik ke posisi ke-10 dari 146 negara.
Namun dari tanah air baru-baru ini, saya terpukau melihat gambar yang menyebar dari pertemuan G20 di Bali pada bulan November tahun 2022. Ada dua sosok perempuan yang selalu mengapit Presiden Joko Widodo dalam perhelatan ini. Dua wajah familiar yang juga membuktikan bahwa perempuan Indonesia bisa unjuk gigi di ruang publik, bahkan di dunia internasional.
Perempuan pertama adalah Sri Mulyani, Menteri Keuangan yang sebelumnya ditarik ke Kabinet Jokowi, menduduki posisi Direktur Pelaksana di Bank Dunia, sebagai orang Indonesia pertama. Yang kedua adalah Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri. Beliau sebelumnya memimpin perwakilan diplomatik Republik Indonesia di beberapa negara Eropa. Namun, apakah kita hanya akan puas dengan menjadikan kedua perempuan ini inspirasi tanpa adanya aksi nyata gebrakan emansipasi?
Kembali ke Jerman. Kuatnya cengkeraman sistem patriarki di Jerman dapat dikatakan meminimalisasi capaian di bidang kesetaraan gender selama era Merkel. Adalah Annalena Baerbock, perempuan muda yang mengetuai Partai Hijau. Dia mulai digadang-gadang menjadi calon kanselir untuk pemilihan tahun 2021.
Banyak orang mempertanyakan – bahkan jauh sebelum pencalonannya dikukuhkan – apakah seorang ibu dengan dua anak usia sekolah dasar ini mampu mengemban tugas sebagai kanselir Jerman. Satu hal yang tidak akan dipertanyakan, seandainya dia seorang laki-laki.
Jujur saja, berapa banyak perempuan di antara kita yang tidak berpikir ke arah sana? Bagaimana perubahan paradigma bisa terjadi jika domestikasi perempuan masih disakralkan bahkan oleh kaumnya sendiri?
Annalena Baerbock kemudian didaulat menjadi Menteri Luar Negeri. Dia juga sebagai perempuan pertama di Jerman yang mengemban tugas ini. Di lingkungan Uni Eropa yang beranggotakan 28 negara, ada 6 perempuan yang memangku jabatan ini, termasuk Baerbock.
Di level ini, sudah ada lebih banyak perempuan di sarang penyamun. Namun di tingkat G7 kita kembali harus membiasakan diri dengan gambar para penyamun tanpa perempuan. Entah untuk berapa lama.
Penulis: Andi Nurhaina, peserta Workshop Warga Menulis 2023 dan tinggal di Jerman.