(CERITA SAHABAT) Pengalaman Treatment PMDD di Amerika Serikat dan Finlandia yang Saya Alami

Nama saya Rika, tinggal di Helsinki bersama suami yang warga Finlandia dan dua anak laki-laki. Setahun belakangan ini hidup saya rasanya sibuk sekali karena sekarang saya kembali bekerja full time setelah dua tahun sempat vakum dari dunia tenaga kerja. Selain itu saya juga ikut kelas menari India di Helsinki dan seminggu sekali mengajar tari Indonesia di KBRI. Hampir setiap hari saya juga harus wara-wiri mengantar anak pergi dan pulang ekskul. Tiap-tiap anak jadwal latihannya empat kali dalam seminggu, belum termasuk turnamen yang sering diadakan di akhir pekan. 

Setelah melahirkan anak pertama saya mengalami postpartum depression. Si anak pertama memang termasuk “high need baby” yang tidurnya sedikit, nangisnya banyak, dan cuma bisa tenang jika disusui. Capek sekali rasanya jadi ibu baru. Setelah kejadian tersebut, memang rasanya saya jadi lebih mudah mengalami stres dan depresi.  Pada akhirnya di tahun 2018 saya mengalami depresi berkepanjangan dan memutuskan untuk mulai mengonsumsi obat antidepresi. Keadaan saya jadi lebih baik berkat obat antidepresi. Namun menjelang menstruasi tetap saja depresi saya kembali lagi walaupun kadarnya sedikit saja. 

Tahun 2019, suami saya ditugaskan ke Amerika Serikat selama dua tahun. Wuaaaa, rasanya bahagia sekali. Amerika ‘kan negara impian saya. Karena merasa terlalu bahagia, saya memutuskan untuk berhenti minum obat antidepresi. Optimis sekali hidup saya akan bahagia pol di Amerika. Lagipula, obat antidepresinya bikin saya jerawatan dan naik berat badan. ‘Kan sebel. 

6-8 bulan lepas dari antidepresi saya mulai menyadari bahwa setiap habis masa ovulasi, pasti saja mood saya memburuk. Bukan sekadar mood swings seperti PMS (premenstrual syndrome) biasa, tetapi benar-benar masuk ke keadaan depresi lagi. Kebetulan saya juga menderita mittelschmerz alias sakit nyeri ovulasi, jadi saya tahu persis kapan saya ovulasi. Seperti magic saja, mood saya berubah total sehari setelah ovulasi. Bagaimana merasakannya? Ketika bangun tidur ada perasaan berat di dada. Otak pun cuma bisa dipakai untuk memikirkan hal-hal negatif. Susah sekali buat merasa senang. 

Pandemi membuat keadaan saya jadi lebih parah. Keadaan terisolasi bikin depresi menjadi-jadi. Semakin lama, kondisi depresi saya semakin parah sampai kadang tidak sanggup untuk bangun dari tempat tidur. Semua terasa berat, melelahkan, menakutkan, bikin sedih, bikin marah, dan bikin putus asa. Jadi saya cuma bisa mengurung diri saja di kamar. Namun tiga hari setelah menstruasi, keadaan berubah total lagi. Saya bangun tidur dan hati rasanya ringan. Rasanya ingin ke dapur, bikin makanan enak-enak untuk keluarga. Ingin menghirup udara segar, ingin jalan-jalan, ingin ngobrol panjang lebar. Semua perasaan depresi tiba-tiba hilang. Sampai nanti setelah ovulasi, depresinya akan datang kembali.

Follow us: @ruanita.indonesia

Hidup saya pun jadi terbagi menjadi dua shift, masing-masing per dua minggu. Ketika lagi “normal”, saya banyak bikin rencana ini-itu. Namun begitu depresinya datang, langsung semuanya buyar. Sampai akhirnya saya nggak pernah lagi mau bikin rencana apa-apa. Mau baca buku saja jadi malas karena bacaannya jadi terbengkalai ketika depresi kumat dan akhirnya malah kena denda telat mengembalikan buku ke perpustakaan. 

Pertama kali ketemu dokter itu gara-gara depresi di akhir tahun 2018. Sebenarnya ini atas inisiatif suami: dia yang membawa saya ke puskesmas karena saya jadi gampang histeris kalau ada masalah. Di tahun 2021, saya kembali menemui dokter. Saat itu saya sedang tinggal di Amerika Serikat, dan PMDD (termasuk depresinya) kumat akibat pandemi. Kondisi ini yang mendorong saya kembali mencari bantuan profesional. 

Singkatnya sih, PMDD (premenstrual dysphoric disorder) itu adalah versi parahnya PMS. Kalau PMS umumnya perempuan mengalami mood swings, penderita PMDD malah mengalami depresi. Gejala PMDD nggak sekadar masalah mental. Umumnya juga merambah ke fisik seperti saya yang mengalami kram perut selama dua mingguan sejak ovulasi hingga hari kedua menstruasi. Jerawat juga wadaaaw… jangan ditanya. Mati satu tumbuh seribu.

Di Amerika urusan ketemu dokter jadi gampang berkat asuransi, termasuk dokter spesialis. Tidak tanggung-tanggung, saya ketemu dua dokter sekaligus: dokter umum dan spesialis ObGyn karena saat itu saya sudah curiga sepertinya yang saya alami adalah gejala PMDD. 

Mau cerita sedikit tentang kunjungan saya ke dua dokter tersebut. Dokter umum saya berteori kalau PMDD disebabkan karena underlying depression. Jadi kalau ingin menyembuhkan PMDD, depresinya yang harus diberesin. ObGyn saya berpendapat PMDD dan depresi itu seperti telur dan ayam: entah mana yang mulai duluan dan memberi efek ke yang lain. Sebelum memberikan treatment, beliau meminta saya untuk mengisi jurnal siklus menstruasi dulu selama 3 bulan. Jurnal ini merekam gejala-gejala umum PMDD. Tujuannya untuk melihat apakah gejala tersebut muncul secara sporadis, konstan, atau di waktu tertentu saja. Berkat jurnal ini jadi terlihat kalau memang gejala depresi maupun fisik (kram perut, jerawat) yang saya alami muncul di fase luteal hingga hari ke-2 atau ke-3 menstruasi. 

Kalau ditanya soal apa yang biasa dilakukan saat mengalami fase PMDD? Sayangnya karena terlalu tenggelam dalam keadaan depresi, saya jadi tidak melakukan apa-apa. Namun satu hal yang jelas: setelah minum obat, gejala PMDD saya sangat minim dan hampir seperti hari-hari normal lainnya. 

Ada beberapa peristiwa yang pernah saya alami saat PMDD terjadi. Kalau lagi masuk fase PMDD dan depresi memuncak, saya jadi takut menyetir mobil. Entah mengapa rasanya deg-degan terus dan akhirnya jadi banyak bikin kesalahan. Pernah suatu kali, saya banting setir ke kiri karena ada bunyi klakson. Gak tahunya, bukan saya yang diklakson. Tapi cuma dengar klakson saja sudah cukup bikin saya panik dan otomatis banting setir. Untung jalanan lagi sepi. 

Soal proses menerima kondisi PMDD ini, saya terpukul sekali waktu dokter bilang PMDD biasanya disebabkan oleh underlying depression. Waktu tahu soal PMDD, saya menyalahkan hormon atas keadaan depresi saya. Lega rasanya ada yang bisa disalahkan. Tapi setelah mendengar perkataan bu dokter, saya sempat terpuruk selama beberapa hari. Pikiran ‘ternyata memang saya yang depresi’ dan ‘memang saya yang gak beres’ terus berulang-ulang muncul. 

Yang kemudian sangat membantu adalah ketika beberapa teman bercerita kalau mereka juga didiagnosa depresi dan sama-sama minum antidepressant seperti saya. Segala pertanyaan “Why me?” dan pikiran yang menyalahkan diri sendiri langsung hilang. Siapa saja bisa depresi, entah apa pun alasannya. 

Saya baru mulai mencari informasi ketika muncul rasa heran: kenapa depresi saya munculnya menjelang menstruasi? Lewat pencarian google barulah saya mengenal istilah PMDD. Lalu karena malas sekali rasanya kembali minum obat antidepresi, saya berusaha mencari pengobatan alternatif. Kebetulan dokter umum saya di Amerika mempunyai pendekatan holistik dalam pengobatan dan beliau memberikan banyak masukan tentang mencoba akupunktur dan obat-obatan herbal yang bisa saya coba seperti misalnya St. John’s Wort dan chinese medicine yang katanya ampuh untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan hormon (yang sering kali dikaitkan dengan PMDD). 

Saya sempat datang ke klinik TCM (traditional chinese medicine) dan obat yang diresepkan cukup membantu. Pikiran jadi lebih tenang, kulit muka jadi bersih. Tapi terus kliniknya sempat tutup lama sekali ketika kasus pandemi memuncak. Pengobatan saya pun jadi berhenti di tengah jalan.

Untuk proses dan prosedur mendapatkan treatment depresi dan PMDD ini, di Finlandia sendiri penanganan untuk segala macam masalah kesehatan dimulai dari puskesmas. Jadi saya nggak bingung-bingung harus mencari bantuan ke mana. Walaupun saya lumayan kaget karena ternyata antidepressant saya diresepkan oleh dokter umum. Tidak perlu menemui psikiater. Dokter pun menjelaskan bahwa kasus-kasus tertentu saja yang dirujuk ke psikiater. Namun saya juga mendapatkan sesi terapi pendamping, kok. Ada perawat khusus yang menemui saya sebulan sekali untuk talk-therapy. Ini sifatnya optional dan pada akhirnya saya hentikan setelah dua kali pertemuan karena nggak enak kalau terlalu sering izin dari kantor. Waktu itu belum jamannya WFH (=Work From Home), sih. 

Untuk obat yang diresepkan, obat antidepresi standar seperti citalophram dan e-citalophram harganya murah sekali. Lebih murah dari Panadol. Waktu saya pindah obat ke Voxra, dokternya minta maaf karena obatnya mahal. Eh ternyata masih sangat terjangkau, kok. Terima kasih universal healthcare

Ketika tinggal di Amerika Serikat, untungnya kami punya asuransi yang lumayan bagus. Segala pengobatan ke dokter gratis, tapi biaya obat tidak ditanggung penuh walaupun mendapatkan potongan harga. Karena saya diresepkan dua jenis obat (antidepressant dan pil KB), bayarnya sungguh lumayan. Apalagi pil KB-nya, bahkan setelah diskon harganya hampir 60 dollar/pack. Di Finlandia, pil yang sama harganya 14 euro/pack. 

Asuransi kami juga menanggung psikoterapi, jadi saya sempat konsultasi rutin dengan psikolog seminggu sekali selama beberapa bulan. Ini hal yang sangat mewah karena kunjungan ke psikolog itu mahal sekali dan di Finlandia cuma kasus-kasus berat saja yang dirujuk ke psikolog maupun psikiater dengan biaya ditanggung negara. Kalau terapinya atas inisiatif sendiri, bayarnya sungguh bikin bangkrut. 

Banyak sekali pelajaran yang saya petik dari memiliki kondisi PMDD ini. Pertama, saya tidak lagi meremehkan PMS. Sebelum hamil saya tidak pernah mengalami PMS sampai-sampai saya kira PMS itu dongeng saja yang dijadikan alasan buat manja. Eh, taunya… sekarang saya malah dikasih PMDD. Penderita PMDD ataupun PMS berhak mendapat empati. 

Pelajaran lain berkaitan dengan depresi. Depresi tidak selalu terlihat dan pada umumnya orang nggak mau kelihatan depresi. Jangan kaget kalau dengar kabar seseorang menderita depresi. Gak usah bilang “Gak nyangka ya, kayanya hidupnya seneng-seneng terus“. Kalau ada teman yang tiba-tiba menghilang, yang jadi jarang ngumpul, coba cek keadaanya. Depresi bikin seseorang merasa helpless, insignificant, and even unloved. Just to know that someone cares helps A LOT! 

Gak perlu mikirin terlalu ribet, bagaimana membantu seseorang keluar dari depresi. Pada umumnya cuma profesional yang bisa membantu. Just. Be. There. Dan bantu dia mengerjakan hal-hal yang sulit dia lakukan sendiri seperti beli makanan, bersih-bersih rumah. Itu sudah sangat cukup dan berarti.

Satu lagi pelajaran yang sangat berarti: ternyata benar loh yang orang-orang bilang, kalau olahraga dan udara segar sangat ampuh untuk mengatasi depresi. Keadaan PMDD saya jadi lebih teratasi kalau saya lagi rutin berolahraga dan banyak-banyak keluar rumah. Terkukung di rumah dan kurang gerak sungguh pencetus depresi.

Penulis: Rika, tinggal di Helsinki. Bisa dihubungi di akun instagram @seerika.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s