(CERITA SAHABAT) Menurut Saya, Career Gap itu Self Acceptance dan Berani Keluar dari Comfort Zone

Menikah adalah salah satu fase dalam kehidupan yang momennya banyak melibatkan emosi baik keluarga, pasangan bahkan diri sendiri. Perkenalkan saya adalah Inur, berasal dari keluarga pendidik atau pengajar. Ayah, ibu dan kedua kakak saya adalah seorang pengajar, baik di instansi, sekolah dasar dan universitas. Begitu pun saya, enam tahun mengajar di universitas swasta di daerah Depok – Jawa Barat. Sampai pada akhirnya, saya memutuskan untuk bekerja di perusahaan. 

Sebagai satu-satunya orang yang mengatur personalia, rasanya senang sekali pada saat itu walaupun saya merasa ada gap antara yang saya pelajari (Psikologi Klinis) dengan aplikasi pada pekerjaan (Psikologi Industri dan Organisasi). Namun saya berusaha untuk bisa menjadikan diri saya bukan sekedar melihat sisi Industri dan Organisasi tetapi bisa sekaligus melakukan konseling ketika karyawan mengalami masalah. Observasi ketika rekrutmen tidak selalu berdasarkan yang tampak, tetapi saya pun mencoba menganalisa dari hal-hal yang biasanya luput dari penilaian User

Selama tujuh tahun bekerja di perusahaan terakhir, saya merasa memiliki keluarga yang sangat dekat. Prinsip saya, ketika bekerja kami adalah rekan kerja, tetapi ketika selesai bekerja mereka adalah adik, sahabat, kakak, bahkan orang tua yang mengajarkan banyak hal kepada saya. Kondisi comfort zone tersebut terpaksa harus saya akhiri karena saya menikah dengan pria warga negara Switzerland. Tepatnya 30 November 2021 saya resmi mengundurkan diri dan siap untuk pindah ke negara bersalju. 

‘’Sedih yang tidak berujung’’ benar-benar menjadi kalimat yang saya rasakan. Dimulai dengan surprise farewell dari Departemen Operasional & HRGA. Makan-makan yang awalnya menjadi Birthday Lunch seorang teman (karena saya bertugas membeli kue ulang tahun) ternyata itu adalah surprise Farewell Lunch saya. 

Rasa haru melebihi surprise ulang tahun, betapa tidak,  pelukan dari atasan dan sahabat diiringi lagu “Mungkinkah” dari Stinky. Sama sekali tidak ada kecurigaan, momen ulang tahun yang seharusnya hanya berlima menjadi 2 meja panjang dari 2 departemen. 

Lagu selamat ulang tahun yang biasa dinyanyikan semua pramusaji  berganti jadi lagu sedih, polosnya di awal saya tetap membuat video dan happy, sampai seorang teman memeluk saya dari belakang kemudian atasan juga ikut memeluk. Baru saya sadar, momen, hadiah bahkan kue ulang tahun yang bertuliskan nama teman semuanya di hari itu adalah untuk saya. Terima kasih ibu dan bapak, teman-teman semuanya, masih suka sedih kalau melihat video tersebut.

Begitu juga di hari terakhir saya bekerja, sengaja saya memesan makanan untuk semua karyawan agar kami bisa makan bersama-sama. Sepatah dua patah salam perpisahan dari saya sebelum kami semua mulai mengambil makanan. Walaupun saat itu masih berjalan sistem pembagian Work from Home dan Work from Office, tetapi bersyukur banyak karyawan yang tetap datang ke kantor sehingga momen dan foto perpisahan terasa sangat hangat. 

Kemudian kurang lebih seminggu setelah hari terakhir saya bekerja, salah satu teman kantor berkunjung ke rumah untuk memberikan hadiah perpisahan dan foto bersama yang dibingkai dengan ukuran yang sangat besar. Infonya, ada teman yang inisiatif untuk mengumpulkan dana untuk kemudian dibelikan beberapa barang yang sangat berguna saat musim Winter. Masha Allah, saya bersyukur diberikan rekan kerja seperti saudara. Sampai dengan tulisan ini saya buat, Alhamdulillah saya masih menjalin komunikasi dengan hampir semua teman kerja.

Perasaan senang akhirnya bisa bersama dengan suami, tetapi  juga sedih harus meninggalkan keluarga, sahabat, dan rekan kerja. Namun hidup harus berjalan, kita tidak pernah mengetahui rencana Sang Pencipta. Tanggal 8 Desember 2021  saya tiba di Switzerland, pengurusan semua dokumen pun selesai. Mulailah saya berpikir: “Terus saya ngapain disini? Apa yang bisa saya kerjakan dan juga menghasilkan ?”

Follow us: @ruanita.indonesia

Saya sempat merasa up and down, stres karena tuntutan merasa harus segera mengikuti les bahasa. Sampai pernah ada momen saya takut ketemu kakak ipar karena selalu ditanya update les bahasa. Pengeluaran rutin tetap berjalan sementara pemasukan rutin belum ada. Merasa inferior, tidak berdaya, bergantung parah sampai akhirnya menangis sejadi-jadinya ke suami. 

Alhamdulillah suami sangat mengerti, dia tidak pernah memaksa saya untuk bekerja, bahkan untuk les bahasa. Dia sangat senang ketika saya izin main bertemu teman WNI yang juga tinggal di Zürich. Senyumnya sumringah ketika saya pulang dari Asia Store membawa belanjaan. Hampir setiap minggu saya main bertemu dengan teman-teman, makin banyak kenalan makin banyak pelajaran, ilmu, motivasi bahkan nasehat yang saya dapat. 

Pemahaman saya pada saat itu tidak mudah mendapatkan pekerjaan di Swiss, mostly must be certified dari lembaga atau sekolah di Swiss juga. Pusing lagi kan jadi nya, 😀

Searching di social media, tawaran dari teman yang kerja di restoran, bikin saya tambah bingung. Saya sempat merasa takut antara mau kerja tapi jadi harus bicara sama orang, nah bahasanya saja belum lancar.

Awalnya saya belum pernah mendengar yang namanya Career Gap, tapi mungkin yang saya lalui selama 6 bulan pertama di Switzerland adalah fenomena Career Gap, di mana saya tidak sedang bekerja karena menikah dan harus pindah negara. Menurut saya sebenarnya Career Gap ini sering sekali terjadi. Tidak hanya kaum perempuan, para pria juga mengalami. Hanya saja dilihat dari alasannya, mungkin kaum perempuanlah yang lebih sering mengalami. Beberapa alasan terjadinya Career Gap adalah menikah, memiliki anak, pindah tempat tinggal, pemutusan hubungan kerja, dll.

Pada kasus saya, setelah mencoba aktif di media social dengan belajar buat video dan foto yang aesthetic, soal masakan atau sekedar memperlihatkan keindahan kota tempat saya tinggal, saya merasa jenuh karena menuntut saya harus terus aktif setiap hari untuk benar-benar menghasilkan sesuatu yang dapat dinikmati teman di media social

Sampai akhirnya saya menemukan sebuah platform Babysitting di Switzerland. Bermodal senang dengan anak kecil, dekat dengan semua keponakan dan Bahasa Inggris, saya coba membuat account. Tiga bulan setelahnya tawaran pekerjaan masuk melalui message, mereka berkewarganegaraan USA yang juga tinggal di Switzerland dan berjarak hanya 500m dari rumah. Berkunjung ke kediamannya, bertemu dengan anak dan mendiskusikan banyak hal mengenai pekerjaan. Setelah itu saya diskusikan kembali dengan suami, apakah baik untuk saya lanjutkan atau tidak. 

Memiliki pekerjaan membuat saya lebih mandiri dan percaya diri. Banyak hikmah yang saya pelajari. Perbedaan negara yang signifikan membuat saya harus menyadari saya bukan siapa-siapa di sini. Selalu berdiskusi dengan suami adalah hal penting bagi saya. Apakah pekerjaan saya akan membuatnya malu atau tidak, bagaimana kira-kira pendapat keluarga suami apakah akan memalukan bagi mereka atau tidak. 

Hal itu yang saya ke depankan sebelumnya. Setelah mendapat pekerjaan, kepercayaan dan menyayangi anak kecil seperti keponakan atau anak sendiri adalah cara saya memperlakukan mereka. Saat menemani anak bermain, seringkali kami mengunjungi teman-teman sekolahnya, sehingga para orang tua mengenal saya dengan baik. 

Ini saya dengar karena mereka menceritakannya ke saya 😊. Sampai akhirnya beberapa di antara mereka meminta untuk Occasional Babysitter. Tepat 1,5 bulan pekerjaan tersebut selesai dan lanjut pekerjaan berikutnya tanpa gap, kontrak kerja yang awalnya hanya dua bulan dan sekarang sampai waktu yang tidak ditentukan 😊

Memiliki beberapa kenalan (orang tua anak sekolah) di kota yang sama membuat saya merasa punya teman dan tidak sendiri lagi. Kondisi ini membuat saya semakin berani dan pada akhirnya mendaftar Kursus Bahasa Jerman yang diadakan oleh Gemeinde kota tempat saya tinggal. 

Yap, makin banyak kenalan, makin sering tegur sapa karena bertemu di supermarket, taman bermain, dan public transport. Tidak hanya para orang tua, tetapi kasir supermarket, pegawai restoran dan gerai toko di supermarket, sampai beberapa bus driver dan taxi driver. Masha Allah, senang sekali rasanya saat ini, saya merasa aman karena sudah punya banyak kenalan dan tidak khawatir lagi walaupun pulang malam.

Kembali perihal Career Gap, menurut saya intinya ada self-acceptance. Ketika kita menerima dengan baik kondisi tersebut, maka secara tidak sadar tubuh pun akan merasa rileks. Saat merasa santai, cara pandang dan cara berpikir akan lebih baik. Begitupun dengan pemilihan aktivitas yang ingin dikerjakan, apakah tetap mencari pekerjaan baru atau sekedar menyalurkan hobi. 

Namun peran pasangan, keluarga atau teman dekat juga sangat mempengaruhi. Bagaimana mereka ikut menerima, memotivasi, memberi nasehat, dan atau memberi solusi. Saya bersyukur atas segalanya, tetapi tetap bermimpi suatu saat bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan Bahasa Jerman dan atau Swiss German. Saya juga ingin mendapat pekerjaan sesuai dengan mimpi saya. 

Penulis: Inur Darham, seorang anak bungsu dari tiga bersaudara. Inur memelajari Psikologi Klinis pada jenjang Universitas, mengajar di Fakultas Psikologi, menjadi pembicara pada beberapa Dialogue Interactive, menggeluti bidang Human Resource pada Pest Control dan Oil and Gas Company, menikah lalu mengundurkan diri dan kini tinggal di Switzerland.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s