
Perkenalkan saya Euginia Putri Stederi. Saya mau berbagi pengalaman saya pra dan pasca melahirkan. Cerita saya mungkin dapat mewakili suara beberapa ibu atau orang tua baru yang menetap di luar negeri.
Saya hamil di awal masa Pandemi tahun 2020. Melahirkan di masa pandemi bukan hal yang mudah karena semuanya serba terbatas dan tidak cepat. Namun saya tetap merasa beruntung karena di Jerman banyak sekali sarana yang didukung oleh asuransi seperti biaya bidan, biaya dokter kandungan, biaya rumah sakit dan dokter anak.
Selain sarana yang ditawarkan oleh asuransi, saya juga mengikuti beberapa kegiatan yang biayanya harus saya tanggung sendiri seperti yoga untuk ibu hamil dan akupuntur. Selama masa kehamilan saya juga sudah mendapatkan jadwal tetap dokter kandungan saya. Untuk melakukan check up, kapan saja saya harus ke dokter kandungan. Kurang lebih selama 9 bulan saya mempunyai 20 janji kontrol.
Selama masa kehamilan kami disarankan secepat mungkin untuk mencari bidan dan dokter anak karena jumlah bidan dan dokter anak yang terbatas dan antrian yang panjang. Peran bidan di sini tidak kalah pentingnya, mereka mengontrol ibu hamil untuk pra dan pasca kehamilan dan juga bayi yang baru lahir.
Selain itu kami disarankan untuk mengikuti kursus persiapan kelahiran di mana ada banyak sekali informasi di dalamnya seperti dokumen apa saya yang harus dipersiapkan, ciri-ciri ibu yang sudah mau melahirkan, latihan-latihan untuk memperlancar kelahiran dsb. Ada baiknya bagi orang tua baru untuk mengambil kursus post natal (pasca kelahiran) untuk mengetahui apa saja yang bisa terjadi terhadap anak atau pun orang tua baru setelah proses kelahiran.
Di Jerman pun tidak mengenal mitos yang aneh-aneh. Ibu hamil malah dianjurkan untuk beraktivitas sewajarnya dan senormal mungkin. Namun tentunya sesuai kemampuan masing-masing individu. Yang saya sangat ingat, dokter kandungan memberi tahu saya untuk tidak makan daging atau telur setengah matang. Semua sayur dan buah harus dicuci bersih. Saya diperbolehkan olahraga seperti bersepeda sesuai kapasitas saya.
Namun sayangnya karena pandemi semuanya tidak seindah yang dibayangkan. Suami hanya diperbolehkan hadir beberapa jam sebelum proses kelahiran. Suami boleh berkunjung maximum 1-4 jam sehari. Orang tua tidak dapat hadir, termasuk orang tua dari pihak suami saya.
Saya masih ingat dengan jelas di rumah sakit seperti rumah hantu. Hanya saya dan bayi saya sehingga saya tidak tahu harus melakukan apa. Bolak-balik saya mengebel perawat meminta bantuan dan akhirnya saya sempat dimarahi oleh salah satu perawat. Merasa tidak nyaman, stress dan bingung akhirnya saya memutuskan hanya menetap 1 malam saja. Mungkin para dokter dan perawat pun kewalahan karena di hari itu entah kenapa banyak sekali bayi yang baru dilahirkan.
Setelah itu persiapan yang cukup memakan waktu adalah saat menyelesaikan semua dokumen yang dibutuhkan. Proses itu sangat tidak mudah. Semua serba terbatas. Namun saya bersyukur punya keluarga baru di sini yaitu teman-teman kami yang membantu kami seperti memasak untuk kami dsb. Tanpa mereka mungkin kami akan babak belur, sebagai sepasang orang tua baru yang minim akan pengetahuan tentang rutinitas baru kami.
Secara hukum kami diperbolehkan mengambil cuti maksimum 3 tahun setelah kelahiran anak kami, tetapi kami putuskan untuk mengambil cuti selama 14 bulan. Saya mengambil cuti 12 bulan dan suami saya hanya 2 bulan. Selama masa cuti ini kami masih mendapatkan bantuan keuangan dari negara sebanyak 60% dari gaji kami. Apabila kami mengambil cuti lebih dari 14 bulan kami tidak mendapatkan bantuan dari negara. Selain itu anak kami pun mendapat bantuan keuangan dari negara dari usia 18 tahun hingga 25 tahun.
Lagi-lagi saya tidak merasakan mitos yang aneh-aneh untuk bayi atau ibu yang baru melahirkan. Contohnya, di Indonesia ibu atau anak baru dilarang keluar rumah selama 40 hari. Di Jerman, sepanjang ibu yang baru saja melahirkan sudah mampu maka kami diijinkan untuk keluar rumah. Saya terbilang cukup beruntung baik orang tua saya maupun mertua saya, tidak pernah ada yang memaksakan kehendak mereka. Mereka tetap memberikan saran tetapi pada akhirnya saya dan suami saya yang memutuskan.
Ini sepenggal pengalaman saya tentang pra dan pasca kelahiran anak saya. Saya mau ucapkan banyak terima kasih untuk suami saya yang kuat dan tidak lepas tanggung jawab, teman-teman kami yang selalu ada untuk kami dan pahlawan saya yaitu bidan saya. Tanpa bidan saya, kami mungkin tidak akan cepat belajar dan bangkit. Saya sangat menyarankan juga mengikuti kelas persiapan pasca kelahiran kepada Anda yang ingin melahirkan di luar negeri.
Penulis: Euginia Putri Stederi – Jerman